Langsung ke konten utama

Perjalanan Syekh Burhanuddin Ulakan.


makam syekh burhanudin ulakan, tapakis. pariaman.
Untuk mencari titik-terang sejarah hidup dan perjuangan Syekh Burhanuddin – Ulakan dalam mengembangkan ajaran Islam di Sumatera Bagian Tengah hingga Semenanjung Malaya dan Brunei Darussalam, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Padang Pariaman melaksanakan muzakarah / seminar sehari yang berlangsung hari Senin (16/7).

Dalam muzakarah itu tampil empat penyaji makah: Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Padang Pariaman Drs H Rustam Jalaluddin, Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang Prof Dr H Duski Samad Tuanku Mudo MA, Ulama Sepuh Syattariyah H Zubir Tuanku Kuniang dan Tokoh Masyarakat Ulakan MZ Dt Rangkayo Rajo Malano atau yang lebih dikenal sebagai Datuk Bungsu.

Berikut makalah yang disajikan Prof Dr H Duski Samad Tuanku Mudo MA (editor: Zakirman Tanjung)

Asal Usul dan Masa Kecilnya

3

Secara pasti waktu kelahiran Syekh Burhanuddin belum dapat ditegaskan.  Namun, dari beberapa penulis sejarah diketahui, ia diperkirakan lahir awal abad ke-17 Masehi. Azyumardi Azra (1999:209), menulis ia hidup 1056-1104 H./1646-92 M. Ia belajar agama di daerah Tapakis Ulakan dengan Tuanku Madinah.

Di Tapakis itu  Burhanuddin yang masa kecilnya itu bernama Pono bertemu  dengan seorang  teman orang Ulakan yang berasal dari Tanjung Medan yang bernama Idris bergelar Khatib Majolelo. Sejak masa itu pula Ia mulai belajar agama sekaligus mengembalakan ternaknya. Seperti yang dikemukakan oleh Tamar Jaya (1965:285) pada masa itu penduduk masih  mempunyai kepercayaan animisme dan belum meyakini adanya Tuhan.


4

Tuanku Madinah atau Syekh Abdullah Arief diduga sebagai pengembang Islam pertama di daerah ini. Syekh Abdullah Arief meninggal dunia pada tahun 1039 H/1619 M di Tapakis.

Pendidikan dan Sejarah Intelektualnya

Setelah mendapatkan pendidikan dasar keagamaan di daerah perantauannya di Tapakis dengan Tuanku Abdullah Arif atau Tuanku Madinah, Pono melanjutkan pelajaran ke Aceh pada Syekh Abdurrauf yang saat itu sedang menjadi ulama dan mufti pada Kerajaan Aceh. Syekh Abdurrauf pulang belajar dari Madinah tahun 1039 H/1619 M dan menetap di Singkil.

Selama 2 tahun, dari tahun 1039-1041 H/1619-1621 M Pono belajar dengan Syekh Abdurrauf di Singkil sebelum ia pindah ke Banda Aceh menduduki jabatan ulama dan mufti Kerajaan Aceh.

Imam Maulana penulis buku Mubâligul Islâm menyebut empat orang yang sama belajar dengan Pono itu adalah pertama Datuk Maruhun Panjang dari Padang Ganting Batu Sangkar, kedua bernama Si Tarapang berasal dari Kubung Tigo Baleh Solok, ketiga Muhamad Nasir dari Koto Tangah Padang, dan keempat Buyung Mudo dari Pulut-pulut Bandar Sepuluh Pesisir Selatan.

Tentang berapa lama Pono belajar di Aceh ada beberapa riwayat menyebutkan, H.B.M Leter menyebut 2 tahun di Sinkil dan 28 tahun di Banda Aceh yang semuanya 30 tahun. 


Sedangkan Mahmud Yunus dalam bukunya, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (1979:18), menyebutkan bahwa Pono belajar ilmu agama pada Syekh Abdurrauf lebih kurang 21 tahun dan pulang ke Minangkabau pada tahun 1680 M, kemudian mengajar agama di Ulakan (Pariaman) dan membuka Madrasah

(Surau) tempat pendidikan dalam pengajaran agama Islam. Sedangkan ilmu yang dipelajarinya boleh dikatakan semua ilmu yang ada pada gurunya, yaitu “Fiqh, Tauhid, Hadîts, Tasawuf dengan jalan Tarekat Syathariyah, ilmu Taqwîm dan ilmu Firasat”.

Sementara itu, Ambas Mahkota dalam bukunya, Sejarah Syekh Burhanuddin Ulakan, Penerbit CV Indo Jati menuturkan bahwa setelah Pono selesai mempelajari ilmu yang dirasanya perlu dalam agama Islam, maka pada suatu hari diadakanlah perpisahan antara guru dengan murid.

Kata perpisahan itu berbunyi sebagai berikut: “Malam ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui, sekarang pulanglah engkau ke tanah Minang untuk mengembangkan agama Islam.” 


Tamar Jaya penulis buku Pusaka Indonesia (1965:128) menuliskan bahwa di waktu hari keberangkatan Pono Pulang ke Minangkabau juga diberikan nama baru oleh gurunya Syekh Abdurrauf dengan Burhanuddin  (Pembela agama). Sejak masa itu resmilah nama Pono menjadi Burhanuddin.

Surau Tanjung Medan inilah surau pertama yang menjadi cikal bakal lembaga pendidikan agama di Minangkabau -sejenis Pesantren di Jawa- yang pada masa belakangan berkembang luas dan disebarluaskan oleh pengikut dan murid Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan. Surau Tanjung Medan juga menjadi suatu kampus Universitas yang disekitarnya didirikan surau-surau kecil yang dihuni oleh pelajar dari berbagai daerah di Minangkabau, Riau, dan Jambi.3)

Paham keagamaan yang ia pelajari dan kemudian dikembangkan di ranah Minangkabau melalui pusat pendidikan di surau Tanjung Medan Ulakan sudah dapat diduga bermazhab Syafii dalam ibadah dan muamalah serta Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Itikad. 


Sedangkan dalam tarekat Ia jelas memakai tarekat Syathariyah yang memang dalam sejarah intelektual Syekh Abdurrauf, Ia adalah seorang khalifah tarekat Syathariyah yang diterima dari gurunya Syekh Ahmad Qusyasi di Madinah.

Perjuangan dan Gerakannya

Berbicara tentang perjuangan Syekh Burhanuddin dalam Islamisasi di Minangkabau terlebih dahulu harus dipahami bagaimana perjalanan sejarah Da’wah Islamiyah di Ranah yang terkenal dengan adat dan istiadatnya yang bersandar pada alam, Alam takabambang jadi guru. Beberapa ahli dan penulis sejarah  selalu mengklasifikasikan perkembangan Islam pada masyarakat Minangkabau menjadi dua tahapan:

Pertama, melalui saudagar Arab dan India yang berkunjung untuk berdagang rempah-rempah dengan orang-orang di pulau Sumatera. Pada umumnya mereka beragama Islam dan pada saat yang sama mereka juga memperkenalkan Islam kepada penduduk setempat. Mereka menyiarkan Islam belum lagi secara terencana tetapi masih bersifat perseorangan dengan cara sembunyi-sembunyi.

Kedua, melalui pengaruh kerajaan Aceh yang memiliki  pengaruh cukup luas di daerah Pesisir Barat Pulau Sumatera, tak terkecuali daerah Minangkabau. Daerah yang mendapat pengaruh langsung dari Aceh, misalnya Pelabuhan Laut Tiku, Pariaman, Padang, dan Pesisir Selatan. Pengaruh kerajaan Aceh ini telah terjadi jauh sebelum Syekh Burhanuddin berkunjung untuk belajar ke Aceh. Sebab, kejayaan Aceh telah ada sebelum kedatangan Syekh Burhanuddin belajar pada Syekh Abdurrauf.

Amir Azli dalam tulisannya yang berjudul, “Pariaman Erat dengan Aceh Diperkirakan Berusia 420 Tahun” dalam Harian Haluan, Kamis 16 Januari 1992 mengungkapkan bahwa Pariaman dalam kajian Sejarah sekurang-kurangnya mempunyai tiga peranan penting pada zaman dahulu.

Pertama, sebagai basis kekuatan militer, kedua sebagai pusat perdagangan dan ketiga sebagai pusat pengembangan agama Islam di pesisir pantai Barat Sumatera. 


Sebagai bagian dari basis kekuatan armada laut, kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa ketika Aceh menyerang Portugis pada bulan Oktober 1556 M (di masa pemerintahan Sultan  al-Kahhar) mengalami ketidak berhasilan, maka putra Husein –kemudian bergelar Sultan Ria’yat Syah- meminta bantuan ke Pariaman, yang ketika itu diperintah oleh Sultan Sri Alam. Setelah ia wafat diganti oleh Zainal Abidin yang juga terbunuh tanggal 5 Oktober 1579 M.

Kemudian A.I.Mc.Gregor yang mengutip “Vida de Mathias de Albuer-querquer” dalam buku Seaflight near singapore  in the 1570’s menyebut bahwa tanggal 1 Januari 1577 M telah terjadi pertempuran antara armada Aceh yang dipimpin oleh Laksamana Serimaharaja berkekuatan 10.000 (sepuluh ribu) prajurit dan banyak meriam dengan Portugis di Selat Malaka. Pada pertempuran tersebut ikut juga Raja Ali Ria’yat Syah dari Pariaman. Diberitakan pihak Portugis mempunyai 12 kapal perang 1 batalion, 2 geleses, 3 geliot dan 3 briganyines.

Pariaman sebagai pusat perdagangan rempah-rempah menurut catatan dan laporan dari pelaut Inggris Sir James Lancaster bahwa penghormatan yang diterimanya dari Raja Aceh adalah sangat memuaskan, sebagai tanda bahwa orang Aceh adalah orang sopan dan suka pada tamu. Penghormatan ini dilakukan dengan memberikan jamuan yang terhidang dari bejana emas.

Selain itu, Sir Jame Lancaster pernah meminta kesempatan untuk membeli langsung lada ke Pariaman. Ia minta agar Sultan memberinya surat untuk dibawa ke Pariaman dengan mengunakan kapal Susanna. Surat tersebut masih tersimpan dalam Boendalan Library oxford, bernomor M.S e.4 ditandatangani dan dicap dengan huruf arab Assultan Alauddinsyah Bin Firman.

Sedangkan peranan Pariaman sebagai pusat pengembangan agama Islam dapat disimak dari tulisan DR. Schrieke dengan judul, “Atjehasche Invioed  was dan ook niet te onderschatien.” Pengaruh Aceh di Pantai Barat tidaklah dapat dipandang kecil. Daghregister 1661,1663 dan 1664 M, mencatat pengaruh itu di beberapa tempat diantaranya jelas di Pariaman, Pauh, dan Ulakan yang merupakan pusat pengembangan agama Islam.

Hampir semua penulis sejarah sepakat bahwa masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau melukiskan betapa  Pesisir Barat Minangkabau seperti Tiku, Pariaman sampai Indrapura telah berada dibawah pengaruh Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang pada waktu itu mencapai puncak kejayaannya dengan menguasai pantai Sumatera dari Barat sampai ke Timur. 


Dari penjelasan sejarah di atas dapat dicatat bahwa jauh sebelum kedatangan Syekh Burhanuddin ke Ulakan pengaruh Aceh  bersamaan dengan pengembangan Agama Islam sudah berjalan juga, meskipun itu baru sebatas masyarakat pedagang dan orang-orang pesisir pantai saja.

Sedangkan dalam catatan H.B.M Leter, Pono yang kemudian namanya diganti oleh Syekh Abdurrauf dengan Burhanuddin baru pulang ke Minangkabau tepatnya ke Ulakan pada tahun 1069 H/1649 M pada masa pemerintahan Aceh di bawah Raja Sultanah Tajul Alam Safyatuddin (1641-1675 M).

Dalam kondisi keagamaan sudah mulai terbentuk di Ulakan, Syekh Burhanuddin memulai perjuangannya menegakan Islam melalui pendekatan persuasif dengan menggunakan lembaga surau yang didirikan oleh sahabatnya Idris Khatib Majolelo di Tanjung Medan. 


Perjuangan Syekh Burhanuddin dalam mengembangkan Islam melalui surau dibantu oleh empat orang teman dekatnya yang dulu sama-sama belajar dengannya di Aceh. Keempat orang inipun dibuatkan pula surau untuk mempercepat proses pendidikan dan penyebaran Islam bagi masyarakat sekitarnya.

Kegigihan Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan Islam di tengah masyarakat yang masih buta agama menjadi buah bibir dan catatan sejarah bagi pengikutnya dikemudian hari. Ada beberapa cara yang ditempuh Syekh Burhanuddin dalam meneruskan perjuangan agama bagi masyarakat,  yaitu:

Pertama, mengislamkan anak-anak dan remaja melalui permainan anak nagari yang masyhur dikala itu, antara lain main kelereng, gundu, main patuk lele (terbuat dari kayu yang dipukul dalam sebuah lobang, kemudian dilempar lagi untuk masuk ke lobang tersebut), dan main layang-layang.


Setiap kali main Burhanuddin selalu menang, akhirnya pemuda  bertanya bagaimana caranya beliau main sehingga selalu menang. Burhanuddin menjelaskan dengan membaca Bismillah setiap akan main. Melalui permainan ini ia diterima oleh anak-anak dan remaja atau pemuda dan pada gilirannya mereka inilah yang mengajak orang tuanya masing-masing untuk belajar ke surau. Karena memang surau dalam tradisi di Minangkabau, bahkan sampai saat ini masih berfungsi utuh sebagai pusat pembinaan pemuda sekaligus tempat tidur mereka.

Kedua, Mengikuti permainan anak nagari, seperti main layang-layang dan main lainnya dengan tidak merusak nilai-nilai agama yang dimilikinya. Melalui permainan itu ia dapat memasuki semua lapisan masyarakat tanpa mengalami kesulitan yang berarti. 


Banyak kisah menarik yang dituturkan oleh pengikutnya tentang kemampuan beliau berinteraksi dalam suatu pergaulan yang memuaskan semua lapisan masyarakat tanpa canggung. Pendekatan sosial yang diterapkan beliau sangat efektif bagi masyarakat yang memang sudah mengalami kemajuan berpikir yang baik dan memadai dengan adat dan budaya yang dimiliki setiap orang Minang.

Ketiga, menyampaikan Islam secara perlahan-lahan dan mencari persesuaian antara norma-norma agama dengan kultur masyarakat. Gerakannya dalam penobatan gelar setiap pemegang kekuasaan agama dalam masyarakat adalah bentuk nyata dari usaha beliau ke arah harmonisasi hubungan di dalam masyarakat, bahkan sampai sekarang kesan positifnya masih dirasakan. 


Hasil dari gerakan tersebut terlihat dari tumbuhnya ratusan ulama (imam, khatib, labai dan tuanku) yang akhirnya  memberikan corak tersendiri bagi struktur budaya dan kultural serta nuansa Islam di Minangkabau. Gerakan ini sekaligus mendorong timbulnya beratus-ratus ribu surau, mesjid  dan rumah ibadah. Dan kemudian institusi ini menjadi cikal bakal dari lembaga pendidikan Islam dan kajian-kajian keislaman lainnya di bawah pimpinan ulama. Hampir setiap Jorong, (sekarang dusun), Desa (dulu korong), dan Nagari  memiliki surau berikut dengan ulama yang memimpinnya.

Paham dan Karya Syekh Burhanuddin

Seperti telah dijelaskan di atas, jaringan intelektual Syekh Burhanuddin sejak dari guru pertamanya Syekh Abdullah Arif (lebih populer dengan panggilan Syekh Madinah) di Tapakis Ulakan sampai belajar dengan Syekh Abdurrauf di Aceh masih berasal dari rumpun yang sama. 


Kedua guru ini sama-sama belajar dengan Syekh Ahmad Qusyasi di Madinah. Ulama Madinah ini merupakan tokoh yang menjadi sentral dalam jaringan Ulama Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18 M. Sebab memalui Ahmad Qusyasilah para ulama Nusantara menemukan warisan intelektual Islam Fiqh, Tafsîr, tak terkecuali juga tasawuf baik yang sudah melembaga menjadi tarekat maupun yang masih menjadi anutan dari pribadi muslim.

Satu di antara murid Ahmad Qusyasi yang dikenal luas dalam jaringan ulama nusantara adalah Abdurrauf al-Sinkili. Nama lengkapnya Amin al-Din Abdurrauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili, ia lahir diperkirakan sekitar tahun 1024/1615 M. di sebuah kota kecil di pantai Barat pulau Sumatera. Ia berasal dari keluarga ulama, ayahnya Syekh al-Fansuri adalah  seorang Arab yang mengawini seorang wanita setempat dari Fansur (Barus) dan bertempat tinggal di Singkil, di mana Abdurrauf dilahirkan.4)

Sistem dan pola pemikiran Syekh Burhanuddin tidak dapat ditunjukkan secara konkrit, karena tulisannya yang dapat dijadikan acuan tidak ditemukan. Meskipun ada dua manuskrip yang oleh pengikutnya dikaitkan dengan Syekh Burhanuddin dan disebut sebagai karya Syekh Burhanuddin, tetapi manuskrip ini hanyalah merupakan mukhtasar (ringkasan) dari beberapa kitab tasawuf yang disebut pada penutup manuskrip itu.

Pertama, manuskrip yang ditulis tangan oleh Syekh Burhanuddin sendiri yang oleh pengikutnya dinamakan dengan Kitab Tahqîq  (Kitab Hakikat). Kitab aslinya masih tersimpan di tangan khalifah Syahril Luthan Tuanku Kuning, khalifah yang ke-42 bertempat di Surau Syekh Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan. 


Kitab yang ditulis dengan mengunakan bahasa Arab ini ditulis dengan tinta kanji dan kertas lama berwarna kuning lebih tebal dari kertas biasa yang ada sekarang. Dilihat dari tulisan, tinta, dan kertas yang dipergunakan dapat diduga bahwa memang kitab ini sudah berusia sekitar 4 abad (zamannya Syekh Burhanuddin).

Satu hal yang menjadi catatan penting bahwa kitab Tahqîq tersebut tidak bisa dilihat oleh sembarang orang dan juga tidak boleh dibawa keluar dari Surau, karena hal itu merupakan amanah, demikianlah seperti dikemukakan oleh khalifah yang memegang kitab ini. Pada bagian pendahuluan kitab Tahqîq  penulis dengan jelas menyatakan bahwa kitab ini (Mukhtasar) diringkaskan dari 20 (dua puluh) kitab tasawuf yang populer dan dipakai luas di lingkungan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamâah.

Kemudian kitab-kitab sumber tersebut oleh penulis dituliskan nama-namanya saja, seperti : Kitâb Tuhfah al-Mursalah ilâ rûhin Nabî, Kitâb al-Ma`lûmât, Kitâb al-Jawâhir al-Haqâiq, Kitâb al-Mulahzhah, Kitâb Khâtimah, Kitâb Fath al-Rahmân, Kitâb Maj al-Bahraiin, Kitâb Mi`dân al-Asrâr, Kitâb Fusûs al-Ma`rifah, Kitâb Bayân al-Allâh, Bahr al-Lahût, Asrâr al-Shalâh, Kitâb al-Wahdah, Kitâb Futûhat, Kitâb Syarh al-Hikâm, Kitâb al-Asrâr al-Insân, Kitâb al-Anwâr al-Haqâiq, Kitâb al-Baitîn, Kitâb Tanbîh al-Masyi’ dan  Kitâb Adab ‘Asyik wa Khalwat.

Memperhatikan kitab sumber yang dipakai oleh penulis kitab Tahqîq dapat dipastikan bahwa kitab ini merupakan manuskrip tasawuf yang menjadi paham keagamaan yang dianut oleh penulisnya.

Kedua, manuskrip tulisan tangan berbahasa Arab dan bahasa Arab melayu terdiri dari lima kitab yang juga tidak dicantumkan nama penulisnya. Kitab ini lebih sedikit maju karena dicantumkan masa penulisannya. Pada bahagian akhirnya tertulis, ‘‘Alhamdulilah  tamatlah kitab ini ditulis pada hari Selasa bertepatan dengan tahun 1223 hijriah Nabi Muhamad SAW bersamaan dengan 1788 M.’’

Jelaslah bahwa kitab ini ditulis setelah satu abad Syekh Burhanuddin wafat.
Kitab ini sekarang dipegang oleh Khalifah Syekh Burhanuddin yang berada di Sikabu Ulakan melalui Tuanku Karimun, yaitu Tuanku Ali Bakri S.Ag (Sarjana Agama) Alumni S.1 Universitas Muhammadiyah Jakarta dan sekarang tinggal di Jakarta. 


Buku ini dapat dipinjamkan dan diperlihatkan kepada pihak lain tanpa harus melalui tata cara ibadah zikir seperti buku Tahqîq yang dipegang Syahril Lutan Tuanku Kuning tersebut di atas. Buku ini oleh khalifah yang lain termasuk oleh Tuanku Kuning Syahril Luthan dikatakan ditulis oleh Syekh Abdurrahman khalifah Syekh Burhanuddin ketiga dan buku itu tidak lengkap dan bukan buku asli dari Syekh Burhanuddin.

Tuanku Ali Bakri yang memegang buku kedua saat ini menceritakan bahwa buku ini diperoleh dari gurunya Tuanku Karimun Ulakan. Pada saat gurunya akan meninggal ia berwasiat agar buku ini harus dipegang oleh orang yang tahu dengan kitab, maka Ali Bakri kemudian ditunjuk karena dialah murid sekaligus kemenakannya yang relatif bisa  membaca kitab. Jadi buku tersebut juga amanat yang mesti dijaga dan rasanya sulit untuk diserahkan kepada pihak lain.

Buku  ini terdiri dari lima  kitab yang digabung dalam satu buku yang cukup tebal dengan jumlah 315 halaman, diawali dengan pembukaan dan dilanjutkan dengan tulisan dalam bentuk esei panjang. Tiga dari kitab itu ditulis dengan menggunakan bahasa Arab murni dan dua yang lain ditulis dengan huruf Arab Melayu. Kitab pertama ditulis dengan bahasa Arab berisikan ringkasan dari Kitab Tanbîh al-Masyi,  buah karya Syekh Abdurrauf al-Sinkili ini dicantumkan secara jelas.

Empat kitab sesudahnya tidak diterangkan  dari kitab apa diringkas dan siapa pengarangnya pun tidak dinukilkan. Dari isinya dapat ditangkap isyarat bahwa kitab ini jelas memiliki hubungan yang erat dengan kajian tasawuf, khususnya tarekat Syathariyah. Misalnya pada kitab ketiga ada ungkapan yang menjelaskan hubungan murid dengan guru. Hubungan murid dengan guru itu laksana mayyat di tangan orang yang memandikannya. Murid harus patuh terhadap semua perintah guru, kepatuhan murid pada guru itu haruslah ikhlas.

Keterangan

[1]) Disampaikan pada Muzakarah (Seminar) Perjalanan Syekh Burhanuddin, Hall Pemda Padang Pariaman, 16 Juli 2012.

2) Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang dan Penulis Buku Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau, TMF Press, 2002

3) Khatib Munaf Imam Maulana, Mubaligul Islam, (Bahasa Arab Melayu) Th.119-130

4) Azyumardi Azra, 1995, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan  Nusantara  abad 17-18, Bandung: Mizan, h.190


(dari berbagai sumber dan keterangan dari:
Prof Dr H Duski Samad Tuanku Mudo MA 2)

Komentar

Top Populer:

Sejarah awal datangnya islam di sumatera barat

TUANKU RAO dalam pandangan buya HAMKA.

' catatan mesjid tertua di sumatera barat"

Asal usul sejarah 'indang rang piaman".

Sejarah Pemikiran Islam Di Minangkabau, setelah kepergian syekh burhanudin.

Kalimat Alm Anas Malik Tentang Pariaman Menjelang Ajal..

"siapa tuanku nan renceh??"

"SEJARAH PARIAMAN"

Buku ‘Greget tuanku rao dan tuanku tambunsai yang kontroversi.