Perkenalan
 pertama Minangkabau dengan Islam, sebagai yang masih diasumsikan, 
adalah melalui dua jalur yaitu : pertama, pesisir timur Minangkabau atau
 Minangkabau Timur antara abad ke-7 dan 8 Masehi, kedua, melalui pesisir
 barat Minangkabau pada abad ke 16 Masehi
Teori
 jalur timur didasarkan oleh intensifnya jalur perdagangan melalui 
sungai-sungai yang mengalir dari gugusan bukit barisan ke selat Malaka 
yang dapat dilayari oleh pedagang untuk memperoleh komoditi lada dan 
emas. Bahkan diperkirakan sudah ada pedagang-pedagang Arab muslim yang 
mencapai wilayah pedalaman ini sejak abad ke 7/8 Masehi (lihat : 
Mansoer,dkk., 1970 : 44-45). Kegiatan perdagangan ini, diperkirakan, 
adalah awal terjadinya kontak antara budaya Minangkabau dengan Islam. 
Kontak budaya ini kemudian lebih intensif pada abad ke 13 pada saat mana
 munculnya kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai kekuatan baru dalam 
wilayah perdagangan selat Malaka. Pada waktu ini,Samudra Pasai bahkan 
telah menguasai sebagian wilayah penghasil lada dan emas di Minangkabau 
Timur.
Sedangkan
 asumsi masuknya Islam melalui pesisir barat didasari oleh intensifnya 
kegiatan perdagangan pantai barat Sumatera pada abad ke 16 M sebagai 
akibat dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada waktu ini, 
pengaruh kekuasan Aceh Darussalam (pelanjut kekuasan Pasai) sangat 
besar, terutama pada wilayah pesisir barat Sumatera. Intensifnya 
pengembangan Islam pada waktu inilah yang --oleh beberapa 
penelitian,-dijadikan sebagai dasar analisis bagi awal masuknya Islam di
 Minangkabau dan menghubungkan dengan nama Syekh Burhanuddin Ulakan yang
 –oleh beberapa penulis- dianggap sebagai tokoh 
“pembawa†Islam pertama ke wilayah ini. Syekh Burhanuddin 
adalah murid Syekh Abdur Rauf Singkil, ulama tarikat Syatariyah Aceh. 
Syekh Burhanuddin dikenal sebagai pembawa aliran tarikat Syatariyah ke 
Minangkabau untuk pertama kalinya. Tarikat ini kemudian berkembang di 
Minangkabau dengan persebaran surau-surau Syatariyah yang didirikan oleh
 murid-murid Burhanuddin sendiri. Jalur pengembangan tarikat Syatariah 
yang berawal dari pesisir barat ini --oleh beberapa penulis-- sering 
dijadikan titik tolak kajian tentang Islam di Minangkabau, termasuk 
pengembangannya ke wilayah pedalaman.
Perkembangan
 agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat diwarnai oleh 
aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan adalah Syatariyah
 dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah, sebagai yang disebutkan 
terdahulu, telah menyebar melalui surau-surau yang didirikan oleh 
murid-murid Syekh Burhanuddin. Di samping Ulakan sendiri, sentra-sentra 
tarikat inipun kemudian berkembang di pesisir barat Sumatera Barat dan 
di beberapa wilayah pedalaman Minangkabau.
Perkembangan
 tarikat Syatariyah di wilayah pedalaman ini, menarik untuk dicermati, 
karena peran yang dimainkannya dalam melahirkan gagasan-gagasan yang 
melampaui batas-batas implementasi ajaran sufistik itu sendiri ; suatu 
perkembangan yang sangat berbeda dengan daerah pesisir barat, dari mana 
tarikat ini pada awalnya dikembangkan. Para tokoh sufi pedalaman lebih 
banyak melibatkan diri dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya. 
Keterlibatan mereka inilah yang telah memberi warna tersendiri bagi 
perkembangan Islam di Minangkabau, bahkan dari sinilah juga, kemudian 
dalam perkembangannya, telah melahirkan ide-ide pemurnian dan 
pembaharuan.
Perkembangan aliran sufistik di pedalaman sebagai yang disebutkan, memunculkan asumsi bahwa perkembangan Syatariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ternyata melahirkan sintesis-sintesis Islam yang baru sebagai akibat pertemuannya dengan tradisi keislaman yang telah menjadi basis kultural masyarakat di daerah ini, atau mungkin oleh pertemuannya dengan tarikat Naqsyabandiyah, karena tarikat ini juga memperoleh pijakan yang kuat di beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di banding Syathariyah sendiri sebagaimana asumsi yang dikemukakan oleh beberapa penulis (lihat : Dobbin, 1992 :146 ; Azra, 1995 : 291).
Perkembangan aliran sufistik di pedalaman sebagai yang disebutkan, memunculkan asumsi bahwa perkembangan Syatariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ternyata melahirkan sintesis-sintesis Islam yang baru sebagai akibat pertemuannya dengan tradisi keislaman yang telah menjadi basis kultural masyarakat di daerah ini, atau mungkin oleh pertemuannya dengan tarikat Naqsyabandiyah, karena tarikat ini juga memperoleh pijakan yang kuat di beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di banding Syathariyah sendiri sebagaimana asumsi yang dikemukakan oleh beberapa penulis (lihat : Dobbin, 1992 :146 ; Azra, 1995 : 291).
Penemuan
 naskah-naskah keagamaan di Sumatera Barat pada dasa warsa terakhir, 
menunjukkan kecendrungan beralihnya dominasi jumlah temuan ke wilayah 
darek (M. Yusuf, 1995), tepatnya bagian timur Sumatera Barat seperti 
Agam dan 50 Kota. Keadaan ini memberi indikasi baru tentang intensitas 
pengembangan Islam di Minangkabau melalui jalur perdagangan pesisir 
timur, karena secara geografis daerah ini lebih dekat dan lebih mudah 
dijangkau oleh pelayaran dagang di jalur sungai-sungai yang bermuara ke 
pantai timur Sumatera. Hal yang demikian sekaligus juga akan 
memperlihatkan satu kemungkinan bagi peran salah satu ordo tarikat 
(Naqsyabandi) dalam proses perkembangan budaya masyarakat Minangkabau. 
Kedua indikasi ini paling tidak akan memperkaya temuan tentang jaringan 
aktifitas intelektual Islam yang selama ini lebih banyak mengungkap 
tentang besarnya peranan pesisir barat Sumatera dalam penyebaran agama 
Islam di daerah ini pada tahap awal.
Perkembangan
 Islam melalui kegiatan sentra-sentra tarikat ini, telah meninggalkan 
jejaknya melalui naskah-naskah dengan topik-topik yang meliputi hampir 
semua aspek keislaman. Salah satu kenyataan yang dapat terlihat dari 
perkembangan sentra-sentra tarikat, baik Syatariyah, maupun 
Naqsyabandiyah di Minangkabau, ialah praktek pengamalan tasauf dengan 
menekankan pentingnya syari'ah (Azra, 1995 : 288) dan tidak terdapat 
indikasi bahwa ajaran tarikat di wilayah ini mengarah pada pantheisme 
sebagaimana yang terdapat di Aceh pada abad ke 17. Oleh karena itu 
pemikiran keagamaan yang ditinggalkan oleh kedua aliran tasauf ini tidak
 hanya berisikan ajaran tasauf semata, akan tetapi meliputi hampir semua
 cabang ilmu-ilmu keislaman, bahkan upaya pencarian solusi 
kemasyarakatan dan urusan dunia lainnya memperoleh tempat dalam 
kajian-kajian mereka, seperti yang dikembangkan oleh Jalaluddin murid 
Tuanku nan Tuo di wilayah Agam (lihat :Dobbin, 1992:151-152).
Keluasan
 cakupan implementasi ajaran tasauf di Minangkabau sebagai dikemukakan, 
memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh tasauf dalam 
mentranformasikan inti ajarannya terhadap persoalan-persoalan 
kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai 
aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di 
wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Perkembangan Islam di sini -dalam
 perjalanannya memang di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti 
yang terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20
 dan hal ini sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang 
dapat dipahami pada akar kultural masyarakat Minangkabau sendiri. Akan 
tetapi, keadaan konflik ini juga, justru sekaligus memiliki potensi 
memunculkan berbagai praksis kultural dalam dinamika perkembangan 
masyarakatnya. Konflik keagamaan yang terjadi, baik antara Syathariyah 
dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah dengan golongan 
pembaharu, telah melahirkan dinamika polemik pemikiran keagamaan yang 
berimplikasi terhadap intensitas kegiatan intelektual yang ditandai 
banyaknya dihasilkan naskah keagamaan. Naskah mana tentu tidak bisa 
diabaikan dalam melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah 
ini.
Latar
 depan fenomena keagamaan abad ke 19 dan ke 20, di saat mana lahirnya 
gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau, tidak dapat 
dilepaskan dari fenomena historis yang terjadi sejak abad ke 16 atau 
mungkin sejak abad ke 13 seperti yang diasumsikan sebagai awal kontak 
budaya Islam di wilayah ini. Kontak awal Islam ini, demikian juga proses
 serta bentuk konversi terhadap Islam pada tahap-tahap awal itu, tentu 
akan menjadi salah satu determinan yang memberi warna terhadap berbagai 
karakteristik yang muncul dalam perkembangan historis masyarakat di 
wilayah ini. Akan tetapi beberapa penjelasan sejarah yang banyak 
ditulis, sering memandang fenomena tersebut dari perspektif sosial 
struktural semata, sehingga kenyataan historis Islam itu sendiri luput 
diperhatikan. Apalagi pula kenyataan sumber-sumber yang terbatas serta 
paradigma sejarah yang barat sentris, menjadikan beberapa dimensi dari 
pengalaman historis agama ini menjadi terabaikan.
Gerakan
 pembaharuan Islam di Sumatera Barat dimulai ketika Tuanku Nan Tuo 
bersama murid-muridnya di surau Koto Tuo mengambil peran pemasyarakatan 
syari'ah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat agraris di wilayah 
pedalaman pada akhir abad ke-18. Gerakan yang merupakan aksi penataan 
kehidupan masyarakat dengan norma-norma keislaman pada fase pertama ini 
berjalan tanpa gesekan-gesekan. Namun pada fase kedua lebih meruncing 
karena menguatnya resistensi kaum adat. Kalangan adat merasa bahwa 
otoritas mereka terganggu oleh aksi beberapa kalangan ulama murid Tuanku
 Nan Tuo yang tidak sabar dalam menjalankan aksi syariyyah yang 
dihadapkan pada praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran 
agama Islam. Pertikaian adat dan agama yang terjadi pada awal abad ke 19
 ini, oleh beberapa penulis  terutama penulis asing--, dianggap sebagai 
aksi radikalisme yang dibawa dari pusat agama Islam sendiri. Berbagai 
interpretasi atas konflik inipun kemudian menjadi bahasan menarik untuk 
memberikan gambaran “kelabu seba-gai militansi golongan Islam dalam 
masyarakat Minangkabau, sebagaimana kita saksikan pada akhir tahun 2007 
yang lalu.
Pertikaian
 adat dan agama yang terjadi di wilayah pedalaman pada paruh pertama 
abad ke-19 menjadi jalan masuk bagi Belanda ke wilayah ini. Belanda, 
pada waktu sebelumnya hanya dapat menguasai wilayah pesisir karena 
kuatnya pertahanan wilayah pedalaman di bawah kaum agama, namun dengan 
politik belah bambu, Belanda mencoba memanfaatkan kedekatannya dengan 
kaum aristokrasi adat untuk secara berangsur-angsur menguasai 
wilayah-wilayah mereka sambil menekan golongan Islam. Kaum agama yang 
telah menguasai banyak nagari di wilayah pedalaman berusaha 
mempertahankan wilayah mereka dari intervensi asing. Ketika tujuan apa 
yang ada dibalik kerjasama Belanda dengan aristokrasi adat disadari, 
maka perjuangan kaum agama ini beralih menjadi perlawanan terhadap 
penjajahan (disebut : Perang Paderi).
Selain
 itu, gerakan keagamaan yang telah berlangsung pada peralihan abad ke-18
 dan ke-19 juga diwarnai dengan konflik keagamaan antara Syathariyah dan
 Naqsyabandiah. Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837, perdebatan 
internal seputar paham tarikat ini ternyata tidak makin mereda, meski 
perhatian pada perbedaan pendapat itu teralihkan pada saat menghadapi 
musuh bersama. Polemik keagamaan ini kembali meruncing dan bahkan 
berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat untuk 
berangkat ke Mekkah memperdalam pengetahuan agama Islam sambil 
menunaikan ibadah Haji. Kontak kedua kalangan ulama Minangkabau dengan 
Timur Tengah ini telah membawa pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat
 berpengaruh bagi perubahan-perubahan sosial di Minangkabau pada 
waktu-waktu berikutnya.
Ahmad
 Khatib Al-Minangkabawy, salah seorang putera Minangkabau yang tidak 
merasa betah dengan kondisi sosial di daerah kelahirannya ini, mencoba 
untuk menetap di Mekkah dalam rangka mendalami ilmu-ilmu agama. 
Ketekunan serta tekadnya yang kuat menyebabkan Ahmad Khatib akhirnya 
mampu berdiri sejajar dengan ulama-ulama Timur Tengah lainnya, bahkan, 
dialah ulama asing pertama yang mampu menduduki posisi Mufti mazhab 
Syafi’i di Mekkah. Banyak kalangan ulama Indonesia yang belajar 
ke pusat Islam ini dikader langsung oleh Ahmad Khatib sendiri. 
Kepulangan murid-murid Ahmad Khatib ke Indonesia inilah, --menurut 
banyak kalangan--, telah memberikan kontribusi bagi pembaharuan 
keagamaan tahap kedua serta tumbuhnya pemikiran kebangsaan yang menjadi 
pemicu perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia pada awal abad 
ke-20.
Munculnya
 generasi baru intelektual Islam Minangkabau pada akhir abad ke 19 dan 
awal abad ke 20 ini ternyata mampu menjadi penyeimbang aksi politik etis
 Belanda yang telah memperluas jalur pendidikan barat bagi masyarakat 
pribumi. Surau-surau yang menjadi sentra pendidikan anak nagari di 
Minangkabau memperoleh nafas baru untuk bangkit bersaing dengan sistem 
pendidikan barat.
Namun,
 seiring dengan kembalinya generasi baru intelektual Islam yang belajar 
di Timur Tengah ini ke Minangkabau, tercipta pula sebuah dinamika 
konflik keagamaan baru yang dipicu oleh munculnya pemikiran baru seputar
 keterikatan kepada mazhab dan kebolehan berijtihad. Konflik internal 
kedua ini lebih dikenal dalam sejarah dengan polemik Kaum Tua dan Kaum 
Muda. Persoalan pertama yang menjadi tema perdebatan kaum ulama ini 
adalah masalah praktek pengamalan tarikat Naqsyabandiyah yang oleh 
sebagian ulama pembaharu dianggap banyak yang keluar dari ajaran Islam 
yang sebenarnya, seperti praktek wasilah yang dianggap tidak sesuai 
dengan sunnah (Hamka, 1967:79). Persoalan ini kemudian berkembang kepada
 masalah yang menyangkut kebolehan ijtihad serta perbedaan pendapat 
tentang masalah-masalah lainnya.
Ulama-ulama
 kedua golongan ini pada dasarnya adalah produk Timur Tengah dan hampir 
semuanya adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy.
Dari konflik yang muncul ini dapat diasumsikan dua hal : pertama : Ahmad Khatib dalam halaqah pengajian yang diberikan kepada murid-muridnya sewaktu belajar di Timur Tengah, tidak atau belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut masalah ijtihad, namun ia tidak melarang sekaligus juga tidak menganjurkan murid-muridnya untuk belajar ke Mesir, di mana gagasan awal pembaharuan Islam ini tumbuh dan berkembang. Kedua : Latar belakang kultural masyarakat Minangkabau yang memelihara konflik sebagai sebuah dialektika dalam rangka melahirkan sintesis pemikiran pemikiran yang dinamis dan progresif. Bagi masyarakat Minangkabau, dinamika konflik diperlukan dan dipelihara agar kehidupan itu tidak menjadi statis, dan pengalaman sejarah juga telah mengajarkan bahwa dinamika konflik di Minangkabau tidaklah mengarah pada disintegrasi. Sebaliknya situasi konflik berpotensi dalam melahirkan tokoh-tokoh Minangkabau pada masa-masa selanjutnya, sebagaimana sejarah masyarakat ini telah membuktikannya. Tokoh pembaharuan keagamaan awal semisal Tuanku Nan Tuo yang alim dan bijaksana sekaligus pedagang ulet berhasil menjadikan hukum Islam sebagai landasan kehidupan masyarakat di pedalaman. Surau Tuanku Nan Tuo banyak melahirkan murid yang alim seperti yang kemudian dikenal dengan Syekh Jalaluddin Faqih Shaghir, atau yang cendikia namun tegas seperti Tuanku nan Renceh, demikian juga murid yang memiliki semangat juang membara semisal Tuanku Imam Bonjol dan banyak yang lainnya. Mereka ini tentulah merupakan produk situasi Minangkabau akhir abad ke 18. Pada akhir abad ke 19 muncul pula tokoh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, yang juga berasal dari daerah pedalaman. Tokoh ini tak kalah penting dari yang disebut terdahulu ; dari halaqahnya telah muncul ulama-ulama kharismatis dan piawai semisal H.M. Thaib Umar, H. Abdul Karim Amarullah, H. Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jambek. Theher Jalaluddin, dan lain-lainnya.
Dari konflik yang muncul ini dapat diasumsikan dua hal : pertama : Ahmad Khatib dalam halaqah pengajian yang diberikan kepada murid-muridnya sewaktu belajar di Timur Tengah, tidak atau belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut masalah ijtihad, namun ia tidak melarang sekaligus juga tidak menganjurkan murid-muridnya untuk belajar ke Mesir, di mana gagasan awal pembaharuan Islam ini tumbuh dan berkembang. Kedua : Latar belakang kultural masyarakat Minangkabau yang memelihara konflik sebagai sebuah dialektika dalam rangka melahirkan sintesis pemikiran pemikiran yang dinamis dan progresif. Bagi masyarakat Minangkabau, dinamika konflik diperlukan dan dipelihara agar kehidupan itu tidak menjadi statis, dan pengalaman sejarah juga telah mengajarkan bahwa dinamika konflik di Minangkabau tidaklah mengarah pada disintegrasi. Sebaliknya situasi konflik berpotensi dalam melahirkan tokoh-tokoh Minangkabau pada masa-masa selanjutnya, sebagaimana sejarah masyarakat ini telah membuktikannya. Tokoh pembaharuan keagamaan awal semisal Tuanku Nan Tuo yang alim dan bijaksana sekaligus pedagang ulet berhasil menjadikan hukum Islam sebagai landasan kehidupan masyarakat di pedalaman. Surau Tuanku Nan Tuo banyak melahirkan murid yang alim seperti yang kemudian dikenal dengan Syekh Jalaluddin Faqih Shaghir, atau yang cendikia namun tegas seperti Tuanku nan Renceh, demikian juga murid yang memiliki semangat juang membara semisal Tuanku Imam Bonjol dan banyak yang lainnya. Mereka ini tentulah merupakan produk situasi Minangkabau akhir abad ke 18. Pada akhir abad ke 19 muncul pula tokoh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, yang juga berasal dari daerah pedalaman. Tokoh ini tak kalah penting dari yang disebut terdahulu ; dari halaqahnya telah muncul ulama-ulama kharismatis dan piawai semisal H.M. Thaib Umar, H. Abdul Karim Amarullah, H. Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jambek. Theher Jalaluddin, dan lain-lainnya.
Pendek
 kata, situasi Minangkabau dengan keunikan kulturalnya telah melahirkan 
banyak tokoh intelektual dan pejuang yang responsif terhadap berbagai 
persoalan sosial yang dihadapi di zamannya ; tokoh wanita semisal Rohana
 Kudus, Siti Manggopoh, Rahmah el-Yunusiyyah, Ratna Sari, dan lain-lain 
dari kalangan wanita di negeri ini, demikianpun di bidang politik 
kenegaraan seperti Syahrir, Mohammad Yamin, H. Agus Salim, Natsir, Hamka
 dan lainnya yang terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Setidaknya 
sampai zaman kemerdekaan tokoh-tokoh dalam berbagai bidang telah 
terlahir dari ranah Minang ini.
Dari
 catatan sejarah setelah kemerdekaan, kita menyaksikan suatu perubahan 
yang cendrung memperlihatkan gejala penurunan yang drastis yaitu tidak 
banyaknya muncul tokoh intelektual sebagaimana waktu sebelumnya. Hingga 
masa akhir Orde Baru, produk intelektual Minangkabau semakin tidak 
banyak yang mampu mewarnai khazanah pemikiran di negeri ini, 
gagasan-gagasan segar dari kalangan intelektual, politisi dan ulama 
tidak lagi menggema di seantero nusantara ini. Demikian juga dalam 
bidang pendidikan Islam,--setidaknya dalam tiga dasa warsa terakhir--, 
madrasah-madrasah jelmaan dari surau-surau yang dulunya didatangi oleh 
murid dari berbagai pelosok tanah air, untuk sebahagian hanya tinggal 
nama. Banyak madrasah yang sudah kehilangan tokoh kharismatis, akibat 
mandegnya proses regenerasi dikalangan mereka. Inilah realitas 
Minangkabau hingga waktu ini.
sumber :http://irhashshamad.blogspot.com

Komentar
Posting Komentar