Pariaman di zaman lampau merupakan daerah yang cukup dikenal oleh
pedagang bangsa asing semenjak tahun 1500an. Catatan tertua tentang Pariaman ditemukan oleh Tomec Pires (1446-1524), seorang pelaut Portugis yang bekerja untuk kerajaan Portugis di Asia.
Ia mencatat telah ada lalu lintas perdagangan antara India dengan Pariaman, Tiku dan Barus. Dua tiga kapal Gujarat mengunjungi Pariaman
setiap tahunnya membawa kain untuk penduduk asli dibarter dengan emas,
gaharu, kapur barus, lilin dan madu. Pires juga menyebutkan bahwa Pariaman telah mengadakan perdagangan kuda yang dibawa dari Batak ke Tanah Sunda.
Sekitar
tahun 1527 datang bangsa Perancis dibawah komando seorang politikus dan
pengusaha yakni Jean Ango. Dia mengirim dua buah kapal dagang yang
dipimpin oleh dua bersaudara yakni Jean dan Raoul Parmentier. Kedua
kapal ini sempat memasuki lepas pantai Pariaman dan singgah di Tiku dan
Indrapura. Tapi anak buahnya merana terserang penyakit, sehingga catatan
dua bersaudara ini tidak banyak ditemukan.
Tanggal 21 November
1600, untuk pertama kalinya bangsa Belanda singgah di Tiku dan Pariaman,
dengan dua buah kapal di bawah pimpinan Paulus van Cardeen, yang
berlayar dari utara (Aceh dan Pasaman) dan menyusul setelahnya
kapal-kapal Belanda yang lain. Cornelis de Houtman yang sampai di Sunda
Kelapa tahun 1596, dalam perjalanannya juga sempat melewati perairan
Pariaman.
Pada tahun 1686, orang Pariaman ("Pryaman'" seperti
yang tertulis dalam catatan W. Marsden) mulai berhubungan dengan
Inggris. Sebagai daerah yang terletak di pinggir pantai, Pariaman sudah
menjadi tujuan perdagangan dan rebutan bangsa asing yang melakukan
pelayaran kapal laut beberapa abad silam. Pelabuhan (entreport)
Pariaman saat itu sangat maju. Namun seiring dengan perjalanan masa,
pelabuhan itu semakin sepi karena salah satu penyebabnya dengan
dimulainya pembangunan jalan kereta api dari Padang ke Pariaman pada
tahun 1908.
Secara historis, sebagai pusat pengembangan ajaran
Islam yang tertua di pantai Barat Sumatera, masyarakat Pariaman sangat
agamis, yang tercermin dalam sikap dan prilaku yang memegang teguh
ajaran Islam dan rasa tanggung jawab untuk mensyiarkan agama.
Sebagai
pusat penyebaran Islam di Minangkabau, Pariaman memiliki ulama terkenal
seperti Syekh Burhanuddin, yang salah seorang gurunya bernama Khatib
Sangko bermakam di Pulau Anso Duo, yang saat ini dikenal dengan "Kuburan
Panjang". Beliau adalah pendiri perguruan tinggi Islam pertama di
kawasan pantai barat Sumatera. Dari pengikut-pengikutnya, ajaran Islam
berkembang pesat ke seluruh wilayah Minangkabau dan daerah tetangga.
Bahkan, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, pelaksanaan
pendidikan bernuansa agama Islam telah berkembang sehingga menjadikan
kota ini sebagai kota tempat memperdalam ilmu agama bagi kebanyakan
pemuda yang ada di wilayah Sumatera.
Dengan lika liku perjuangan
yang amat panjang menuju kota yang definitif, Kota Pariaman akhirnya
resmi terbentuk sebagai Kota Otonom pada tanggal 2 Juli 2002 berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kota Pariaman di
Sumatera Barat.
Sebelumnya, Kota Pariaman berstatus Kota
Administratif (Kotif), berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun
1986 dan menjadi bagian dari Kabupaten Padangpariaman se-kaligus Ibukota
Kabupaten. Kotif Pariaman diresmikan tanggal 29 Oktober 1987 oleh
Menteri Dalam Negeri Soepardjo Roestam dengan Walikota Administratif
pertamanya Drs. Adlis Legan. Perjuangan menuju kota administratif inipun
cukup berat. Namun berkat kegigihan dan upaya Bupati Padangpariaman
saat itu, H. Anas Malik, Kotif Pariaman pun dapat diwujudkan.
Komentar
Posting Komentar