H. Mas’oed Abidin |
Di Minangkabau, adalah senarai perjuangan pergerakan dakwah Islam oleh para pemimpin bangsa para Ulama Zuama yang di Minangkabau disebut dengan panggilan Alim Ulama Cerdik Pandai Suluh Bendang (Benderang) di Nagari.Oleh : H. Mas’oed Abidin
Pendidikan menurut adat Minangkabau di Sumatera Barat sudah berjalan jauh sebelum kedatangan agama Budha masuk ke Minangkabau.
Pendidikan itu disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi dan keberhasilan pendidikan itu dinilai dari penguasaan adat dan keahlian menyelesaikan masalah kehidupan. Untuk dapat menguasai pengetahuan dan pelaksanaan adat yang luas dan rumit itu dipelajari melalui contoh dan laku perbuatan dalam kehidupan sehari-hari yang disampaikan dalam bentuk prosa lirik.
Minangkabau telah lama dikenal sebagai suatu suku bangsa yang ahli dalam prosa lirik atau sastra lisan. Tiga ratus tahun sebelum Masehi, negeri di bawah angin ini telah dikenal sebagai bangsa ahli sastra yang tercantum dalam buku Kutub Khanah di Mesir. Hubungan itu telah terjalin juga dalam perdagangan kapur barus (kampher, lat.) yang diperlukan untuk pengawetan mummi raja-raja Mesir.
Pada masa kebudayaan Hindu berkembang di India, I-tsing seorang musafir dari Cina, sengaja membawa dua orang teman pada abad ke-7 untuk menyalin 200 buah pepatah-petitih di Malaya Giri (Gunung Malayu) yang terletak di tepi Batang Hari.
Pada masa pemerintahan Adityawarman, didirikan tiga pusat pendidikan agama Budha yang sacral yakni di Biaro, Pariangan, di Baso dan di Petok, Pasaman dengan memanfaatkan bangunan tradisional surau.
Adityawarman ikut memecahkan masalah sosial mengenai remaja di Minangkabau yang tidak mempunyai tempat tinggal di rumah gadang.
Dari Berbagai Sisi dan Penjuru
MASUKNYA AGAMA ISLAM KE RANTAU timur di masa itu tidak terlepas dari persaingan perdagangan dan pengaruh kerajaan-kerajaan, seperti melemahnya kekuasaan Sriwijaya, dan lahirnya kerajaan Islam Perlak dengan sultan pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah yang menganut Islam (840 M).
Berkembangnya Malaka dan Samudera pasai menjadi kota dagang dan kerajaan Islam (1400 M), dan kalahnya Sriwijaya melawan Majapahit, sejak tahun 1477 M itu, pantai timur ranah minang di bawah kendali Majapahit hingga meninggalnya Hayam Wuruk, dan di masa itu kerajaan Pagarruyung di Minangkabau diperintah oleh keturunan Kertanegara dan Dara Petak, putri dari Minang, yaitu Adityawarman.
Ketika itu, rantau Alam Minang sudah mulai dimasuki dan ddominasi oleh pemeluk Islam, walau Adityawarman masih memeluk Budha, tetapi dinastinya berkuasa hingga 1581 M.
Namun pernah tercatat 1411 M, raja-raja turunan Adityawarman sudah memeluk Islam dan mereka berguru kepada Tuanku Maulana Malik Ibrahim. Kekuasaan kerajaan hanya sebatas simbol kekuasaan dan lambang persatuan.
Setelah Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih nan Sabatang meninggal, raja melimpahkan kekuasaannya kepada raja-raja muda, atau penghulu di rantau.
Raja berdaulat dengan tiga kekuasaan serangkai Rajo Tigo Selo, di Pagarruyung, di Luhak Tanah Datar, yang terdiri dari Rajo Alam, Rajo Adat, dan Rajo Ibadat yang mempunyai daerah kedudukan masing-masing di Buo dan di Sumpur Kudus. Tiga serangkai kekuasaan ini diperkuat oleh dewan menteri Basa Ampek Balai, yang terdiri dari Bandaharo dari Sungai Tarab, Tuan Kadi dari Padang Ganting, Mangkudum dari Suruaso, Indomo dari Sumanik, dan diperkuat lagi oleh Tuan Gadang dari Batipuh dalam urusan pertahanan.
Pada masa itu telah terjadi penyesuaian antara Islam dengan adat setempat, seperti adaik mananti, syarak mandaki. Namun kegiatan yang erat dengan budaya Hindu-Budha masih akrab dalam masyarakat Minang kala itu.
GERAKAN PEMBARUAN di dalam kehidupan beradat dan beragama di Minangkabau, dapat dikatakan satu gerakan pembaruan oleh para ulama zuama, yakni para cendekiawan yang hidup dengan latar belakang kehidupan adat Minangkabau yang kuat, dan kemudian menuntut mendalami ilmu pengetahuan agama Islam ke negeri-negeri sumber ilmu, sampai ke Mekah al Mukarramah, yang kemudian diwarisi sambung bersambung membentuk rantai sejarah yang panjang, dan bekelanjutan terus ke abad-abad sesudahnya.
Masuknya Islam dan sejarah perkembangannya di Minangkabau sejajar dengan sejarah pertumbuhan kota-kota dagang di rantau Minang. Awal abad ke-7 M atau abad I Hijriah rantau timur Minangkabau telah menerima dakwah Islam.
Gerakan Dakwah Persuasif
Setelah Islam berkembang di Minangkabau, Syekh Burhanddin mendirikan surau sebagai lembaga pendidikan agama Islam di Ulakan. Syekh Burhanuddin berhasil mendapat kesepakatan dengan Basa Ampek Balai dan Kerajaan Pagaruyung, bahwa adat dan Islam sama terpakai di Alam Minangkabau.
Kedatangan Syekh Burhanuddin (Pono), yang berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkili di Aceh, dan kemudian mengembangkan Islam di Minangkabau dengan membuka surau atau sekolah agama seperti di Ulakan Pariaman, dan di Kapeh Kapeh Pandai Sikek, Padangpanjang, mulai melakukan gerakan pemurnian Islam dari pengaruh budaya Hindu-Budha, serta menghapuskan kebiasaan-kebiasaan anak nagari seperti minum tuak, menyabung ayam atau berkaul ke tempat keramat.
Istana Pagarruyung juga menjadi sasaran dakwahnya dan ia berhasil. Keberhasilan itu membuat dia dikenal sebagai ulama besar di Minang. Murid beliau mulai banyak dari darek atau dari Luhak nan Tigo.
Semasa itu, sudah terjadi juga persilangan paham antara penghulu dalam hal setuju dan yang menentang ulama zuama, ulama cerdik pandai yang pulang dari berguru dan melakukan pemurnian terhadap kebiasaan adat yang salah menurut syarak.
Lambat laun, kesepakatan damai tercipta antara para Penghulu, Tuanku dan Alim Ulama Minang, untuk saling mengakui kedudukan ulama dengan penghulu, sehingga ulama menjadi suluah bendang dalam nagari, tidak menjadi bawahan dari Penghulu seperti kedudukan panungkek, dan manti, dubalang.
Semenjak itu lahir beberapa ungkapan petatah-petitih, syarak mandaki adaik manurun, syarak nan lazim adaik nan kawi, syarak babuhue mati adaik babuhue sintak, syarak balinduang adaik bapaneh, syarak mangato adaik mamakai, syarak batilanjang adaik basisampieng.
Kesepakatan ini lebih mudah dilaksanakan dan disetujui kedua belah pihak, karena Tarapang yang kemudian menjadi Tuan Kadi di Padang Ganting adalah teman seperguruan dengan Syeh Burhanuddin di Aceh. Kesepakatan yang disponsori oleh dua orang seperguruan itu lebih dikenal dengan nama Perjanjian Marapalam. Tamatan pendidikan dari surau Ulakan kemudian mengembangkan surau-surau di pedalaman Minangkabau.
Bukan secara kebetulan, Islam mendapat tanah yang subur untuk berkembang di pedalaman tanah Melayu-Minangkabau. Ajaran Islam melahirkan spesialisasi dalam memperdalam ajaran agama di surau-surau meliputi ibadah, mualamalah dan ilmu alat. Surau di Kamang memperdalam ilmu alat, nahu dan sharaf, Tuanku nan Kecil di Koto Gadang dalam ilmu mantik dan maani, surau Tuanku Sumanik dlam ilmu hadits, tafsir dan ilmu faraidh, surau Tuanku di Talang dalam ilmu sharaf, dan surau Tuanku di Salayo dalam badi’, maani dan bayan. Sedangkan surau Tuanku Nan Tuo dalam tabiyah, hadts, tafsir, dan mantik maaani. Keragaman mempelajari ajaran Islam demikian melahirkan kaum intelektual dengan statigrafi pengetahuan yang tercermin dari gelar yang disandang alumninya, seperti Kari, Pakih, Labai, dan Tuanku. Gelar ini kemudian diterapkan sebagai aparat alim ulama suku di Minangkabau.
Gerakan Kembali ke Syariat (1740 – 1803) di bawah kepemimpinan Tuanku Nan Tuo sebagai pelindung pedagang melahirkan pratagoni sehingga surau dapat memajukan perdagangan yang mendatang kesejahteraan penduduk Minangkabau dan menguasai pusat-pusat perdagangan. Gerakan ini ditunjang oleh Tuanku-tuanku generasi muda, seperti Tuanku Nan Renceh, Tuanku Damansiang Nan Mudo, Tuanku Lintau. Semua tuanku itu ikut memajukan kesejateran masyarakat lingkungannya, sehingga surau-surau mereka menjadi pelopor kemajuan perekonomian masyarakatnmya. Gerakan Kembali ke Syariat menyumbangkan ajaran Islam ke dalam adat Minangkabau. Di samping harta pusaka tinggi, difatwakan harta pencaharian, yang diperdapat dari perdagangan yang diwariskan untuk anak dan isteri.
Semenjak itu terjadilah proses pembauran yang kental antara syariat Islam dengan budaya Adat Minangkabau. Menyebarnya syariat Islam di Minangkabau dengan suasana damai merobah kebiasaan-kebiasaan adat yang bertentangan dengan Islam. Semenjak itu pula proses itu berlangsung sampai saat ini sehingga ulama dapat melibatkan masyarakat Minangkabau di dalam syariat Islam, sehingga melahirkan kepemimpinan adat dan agama dalam setiap lembaga masyarakat. Dalam kaum dan suku mempunyai penghulu (manti dan dubalang) dan malin (imam, khatib, dan bila) dan di nagari terdapat kepemimpinan Kerapatan Adat Nagari yang terdiri dari Penghulu, Imam Khatib dan Cadiak Pandai.
Kepemimpinan ini dikenal dengan Tungku Tigo Sajarangan dengan pegangan masing-masing hukum adat, agama dan peraturan atau undang-undang, yang disebut tali tigo sapilin.
Kehadiran Tuanku Haji Miskin ………………………….
Pelantikan Tuanku Imam menjadi pemimpin pembaruan Islam di daerah pinggiran…………
Kehadiran Belanda di tanah Minanag ……………………..
Reaksi terhadap pendidikan sekuler
Akibat tanaman paksa kopi di Sumatera Barat
SYEKH BURHANUDDIN, ULAKAN (1646 – 1704 )
Syekh Burhanuddin telah banyak dikenal dan diperbincangkan para ilmuwan, baik dalam literatur, maupun dari laporan bangsa Eropah lainnya. Salah satu sumber utama yang menjelaskan dari perkembangan surau-surau dan lahirnya pembaruan Islam di Minangkabau berasal dari sebuah naskah kuno tulisan Arab Melayu. Naskah itu berjudul, Surat Keterangan Saya Faqih Saghir Ulamiyah Tuanku Samiq Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo, yang ditulis pada tahun 1823. Buku ini menjelaskan peranan surau dalam menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau yang dikembangkan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin Ulakan.
Di samping itu, riwayat ulama ini telah diterbitkan dalam tulisan Arab Melayu oleh Syekh Harun At Tobohi al Faryamani (1930) dengah judul Riwayat Syekh Burhanuddin dan Imam Maulana Abdul Manaf al Amin dalam Mubalighul Islam. Buku ini menerangkan dengan jelas mengenai diri Pono, yang kemudian bergelar Syekh Burhanuddin. Diceritakan dengan jelas kehidupan keluarga, masa mengenal Islam dengan Tuanku Madinah kemudian berlayar ke Aceh untuk menimba ilmu kepada Syekh Abdurrauf al Singkli.
Syekh Burhanuddin adalah salah seorang dari murid Syekh Abdur Rauf al Singkli yang dikenal juga dengan panggilan Syekh Kuala. Sekembali dari Aceh, Syekh Burhanuddin membawa ajaran Tharikat Syattariyah ke Ulakan pada bagian kedua abad ke-17. Dari Ulakan ajaran tarikat menyebar melalui jalur perdagangan di Minang-kabau terus ke Kapeh-kapeh dan Pamansiangan, kemudian ke Koto Laweh, Koto Tuo, dan ke Ampek Angkek. Di sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek, berasal dari nama empat orang guru yang teruji kemasyhurannya.
Murid-Murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya adalah karya Abdurrauf yang memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap “syariat”. Beberapa surau Syattariyah mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi spesialisasi pengajaran agama Islam di Minangkabau. Masing-masing surau itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama, seperti: Surau Kamang dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto Gadang dalam mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan hadith), Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadis; Surau di Talang dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab ).
Dalam catatan lain terdapat sederetan para ahli dan penulis yang menyelidiki riwayat dan peranan Syekh Burhanuddin. Dari kisah perjalanan Thomas Diaz tahun 1684 yang diceriterakan de Haan, bahwa ulama ini telah melibatkan rakyat dalam politik agama yang dikenal dengan nama “perjanjian Marapalam” pada tahun 1686, yang kemudian hari melahirkan konsepsi, Adat tidak bertentangan dengan Syarak
Penulis bangsa Indonesia seperti Hamka dalam bukunya, Sejarah Umat Islam (1961), Sidi Gazalba dalam Mesjid, Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (1962) dan Prof. Muhmud Yunus dalam Sejarah Islam di Minangkabau (1969) mengupas peranan ulama Syekh Burhanuddin sebagai pengembang agama Islam yang berpusat di Ulakan..
Semua para penulis tersebut sepakat bahwa Syekh Burhanuddin adalah seorang ulama dan pengembang agama Islam di Minangkabau dilahirkan di Guguk Sikaladi Pariangan Padang Panjang dengan nama kecil Pono. Sebagai seorang mubaligh yang mengembangkan agama Islam setelah memperdalam syariat Islam selama 10 tahun di Aceh, sekembali dari Aceh mendirikan surau di Tanjung Medan dan surau-surau lainnya di Ulakan.
Syekh Burhanuddin meninggal dunia pada hari rabu 10 Syafar tahun 1116H atau 1704 M di Ulakan. Hari kematiannya dirayakan pengikutnya setiap tahun yang dikenal dengan nama “basapa”. Jika 10 Syafar jatuhnya pada hari Rabu, akan diperingati sebagai “basapa gadang” , bersapar besar-besaran.
Menurut perhitungan Prof. Mahmud Yunus, Pono lahir pada tahun 1066 H atau tahun 1641 M di Sintuk, Lubuk Alung, dan memperdalam agama pada Syekh Abdur Rauf selama 10 tahun, dan meninggal pada tahun 1116 H dalam usia 53 tahun.
Ilmu pengetahuan agama yang dalam serta pengalaman kenegaraan yang diperdapat bersama gurunya, Syek Abdur Rauf yang menjadi seorang mufti pada Kerajaan Aceh, menciptakankan sistem pendidikan surau. Murid-murid yang diasuhnya kemudian menyebar di seluruh pelosok Minangkabau yang mendirikankan surau-surau sebagai pusat studi yang melahirkan cendekiawan ke pedalaman Minangkabau.
Bahkan Syekh Burhanuddin mencapai kesepakatan dengan Yang Dipertuan Kerajaan Minangkabau yang menyatakan bahwa hukum adat dan hukum agama sama-sama dipakai sebagai pedoman hidup dalam masyarakat di Minangkabau. Ketentuan adat dan hukum agama Islam dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal sebagai suatu proses integrasi lebih dikenal dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
. Peninggalan Syekh Burhanuddin saat ini yang terpelihara dengan baik, seperti bangunan Surau Tanjung Medan dan Makam Ulakan yang dapat menjadi monumen sejarah dalam membantu menelusuri jejak sejarah yang dikandung monumen itu. Peninggalan sejarah itu dapat dijadikan salah satu sumber penulisan sejarah Syekh Burhanuddin.
Surau Syekh Burhanuddin
Peninggalan utama Syekh Burhanuddin yang sampai saat ini masih terpelihara dengan baik adalah bangunan surau di Tanjung Medan dan komplek makam di Ulakan yang menjadi tujuan ziarah bagi pengikutnya sebagai rasa hormat kepada guru dan pengembang agama Islam di Minangkabau.
Dari segi geografis, nagari Ulakan terletak di muara sungai Ulakan di tepi pantai barat Sumatra. Suatu kampung atau nagari yang terletak di tepi pantai paling cepat menerima perkembangan dan pertumbuhan.
Secara alamiah Nagari Ulakan berbatas:
a. Sebelah utara dengan Nagari Sunur dan Nagari Pauh KambarNagari Tapakis terdiri dari 19 jorong, yakni Padang Toboh, Maransi, Sungai Gimbar Ganting, Lubuk Kandang, Sikabu, Tiram, Kampung Ladang, Kampung Gelapung, Kampung Koto, Bungo Padang, Pasar Ulakan, Tengah Padang, Palak Gadang, Tanjung Medan, Binuang, Koto Panjang, Manggopoh Dalam, Manggopoh Ujung, dan Padang Pauh. Letak Jorong ini umumnya terletak sepanjang pantai atau pesisir, penduduknya sebagian besar terdiri dari nelayan. Di lingkungan seperti inilah peninggalan Syekh Burhanuddin berupa makam di Ulakan dan Surau di Tanjung Medan.
b. Sebelah selatan dengan Nagari Tapakis
c. Sebelah barat dengan Samudra Indonesia
d. Sebelah timur dengan Nagari Tapakis
Setelah bandar Malaka diduduki oleh Portugis pada tahun 1511, jalan dagang berpindah dari Aceh, pantai barat Sumatra, Banten, Giri di Jawa Timur, Goa dan Tello di Sulawesi, dan Ternate Tidore di Maluku.
Di pantai barat Sumatra tumbuh kota-kota perdagangan seperti Meulaboh, Sibolga, Tiku Pariaman, Indrapura. Ulakan, sebagai kota pelabuhan dagang, mengalami kemajuan karena disinggahi oleh para pedagang berbagai daerah dan dari luar negeri seperti saudagar Gujarat, India, Arab dan Cina.Ulakan menjadi suatu pelabuhan penting dan pintu gerbang bagi daerah Minangkabau di masa itu, dan tempat bertemu saudagar-saudagar yang beragama Islam.
Peninggalan Syekh Burhanuddin
Pada batu nisan Syekh Burhanuddin tercantum hari wafatnya pada tanggal 10 Syafar 1116 H bertepatan dengan hari Rabu atau 1704 H. Ia meninggal pada umur yang masih muda, 45 tahun, karena ia dilahirkan pada tahun 1646.
Ketika berangkat ke Aceh ia berumur 15 tahun dan masa belajar di Aceh selama 10 tahun, kegiatan dakwah berlangsung selama 20 tahun.
Di kiri kanan makam Syekh Burhanuddin terdapat makam penggantinya yang disebut khalipah bernama Abdur Rahman dan khatib pertama nagari Ulakan, Idris Majolelo. Ketiga makam ini terletak di bawah bangunan empat persegi 2,5 x 2,5 m. Bangunan ini seolah-oleh sebuah masjid kecil yang mempunyai sebuah kubah berdinding teralis besi. Pada loteng tergantung tirai-tirai, hadiah dari para peziarah Setiap datang rombongan baru tirai itupun diganti.
Pengganti-pengganti Syekh Burhanuddin adalah Tuanku-tuanku yang menjadi khalipah, mulai dari Abdur Rahman, Mukhsin sampai khalipah ke-16, Tuanku Mudo. Di halaman bangunan berkubah terdapat beberapa makam para pengikutnya, khalipah-khalipah atau pewarisnya. Kebanyakan telah rata dengan tanah. Sebagai pertanda bahwa semuanya itu makam ialah adanya batu nisan terbuat dari batu alam berbentuk persegi panjang. Di bagian muka makam terdapat sepuluh lokan besar 20 x 30 m tersusun di sebelah kiri kanan jalan yang menghubungkan makam dengan bangunan 100 x 80 cm. Lokan-lokan ini dianggap para pengikutnya mempunyai berkah yang dapat menyembuhan berbagai penyakit. Dekat makam terdapat pula sebuah bangunan yang berguna celengan bagi orang yang berwakaf.
Lokasi bangunan ini dipagar dengan tembok lebih kurang 1 m. Luas areal yang terpagar adalah 8 x 7.5 m.
Di luar pagar terdapat pula makam-makam yang banyak, yang dipagar dengan tembok tinggi 1,5 m dan luasnya 8,5 x 12,5 m. Di luar pagar ini baru terdapat halaman yang luas dikelilingi oleh kira-kira 200 buah surau dan di tengahnya terletak sebuah masjid. Surau-surau ini merupakan perwakilan dari daerah atau nagari di Sumatra Barat yang juga berfungsi sebagai tempat menginap para peziarah.
Makam Syekh Burhanuddin dan makam lainnya, sangatlah sederhana, ditandai oleh dua buah nisan dari batu andesit dengan pengerjaan sederhana tanpa variasi yang penting sebagai monumen sejarah
Surau Syekh Burhanuddin terletak di desa Tanjung Medan, 6 km dari makam Ulakan. Lokasi surau agak masuk ke dalam dari jalan raya melalui jalan tanah yang cukup baik. Surau terletak di atas tanah yang datar dengan halaman yang luas.
Tanah lokasi surau Syekh Burhanuddin adalah tanah yang dihadiahkan oleh Raja Ulakan bergelar Mangkuto Alam kepada Idris Majolelo atas jasanya semasa Syekh Burhanuddin belajar di Aceh. Surau, semacam pesantren, ialah bangunan tempat mengaji dan belajar ilmu agama Islam. Syekh Burhanuddin seorang ulama dan mubaligh, maka Surau Syekh Burhanuddin terdiri dari dua bangunan, yaitu:
Masa Kecil Syekh Burhanuddin
- Bangunan serambi berdenah segi empat panjang sebagai bangunan tambahan yang dibuat kemudian. Bangunan ini beratap gonjong dan berfungsi sebagai entrance hall dan keseluruhan bangunan itu terbuka. Lantainya beralaskan plesteran semen dan bukan beralaskan papan sebagai halnya rumah gadang.
Bangunan berdenah segi empat bujur sangkar yang terletak di belakang serambi. Pada prinsipnya bangunan ini dengan struktur konstruksi joglo, sebagaimana masjid kuno di Jawa, di antaranya masjid Demak. Namun sesuai dengan keadaan dan kebiasaan orang Minangkabau, bangunan ini dengan struktur berkolong (loteng dan panggung). Dengan struktur bangunan joglo ini, dalam surau terdapat empat tiang utama dikelilingi dua deretan anak tiang. Pada deretan pertama berjumlah 12 tiang dan pada deretan kedua 20 anak tiang. Dengan empat tiang utama atau tiang panjang (soko guru, Jawa) di tengah dengan dua deretan anak tiang disekelilingnya, maka struktur bangunan ini dengan atap bersusun tiga, dinding ruangan melekat pada deretan anak tiang kedua ( 20 tiang). Tiang sesamanya dihubungkan dengan kayu yang disambung dengan rotan yang disimpai.- Atap surau Syekh Burhanuddin ada persamaannya dengan beberapa surau lainnya di Minangkabau, di antaranya surau Koto Nan Ampek di Payakumbuh dan surau Lima Kaum di Tanah Datar. Masih terlihat perkembangan arsiterktur konstruksi atap tumpang dengan bentuk berpuncak dengan hiasan mahkota, sama dengan masjid Demak yang dibangun dalam abad ke-16.
- Arsitektur surau Syekh Burhanuddin masih mempunyai persamaan dengan masjid di Kota Waringin lama di Kalimantan yang dibangun sekitar abad ke-17. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai prototip masjid Demak.
Dengan perbandingan tersebut, arsitektur surau Syekh Burhanuddin pembangunannya dalam abad ke-17. Hal ini diperkuat dengan mihrab tanpa atap tersendiri sebagaimana masjid Demak. Berbeda dengan mihrab masjid lainnya di Minangkabau yang selalu dengan atap tersendiri.- Bahan bangunan Syekh Burhanuddin seluruhnya dari kayu, baik tiang maupun konstruksi atap dan dinding. Atapnya dulu terdiri dari ijuk yang kemudian diganti dengan atap seng pada tahun 1920. Struktur bangunan surau dikerjakan dengan kayu yang sederhana tanpa pengerjaan yang sempurna menurut ukuran sekarang. Masih terlihat bentuk asli kayu dengan lengkung-lengannya. Hal ini menunjukkan, bagaimana pekerjaan bangunan masa itu. Tiang utama terdiri dari kayu seutuhnya dengan sedikit dikerja mengambil bentuk segi-8, dan hubungan antara tiang dengan kayu lainnya diikat dengan rotan tanpa paku. Artinya bangunan ini tidak mempergunakan paku kayu.
- Tiang-tiang terletak di atas sandi dari batu umpak seutuhnya yang terletak di atas tanah yang ditinggikan. Pada beberapa bagian ada perbaikan yang sifatnya mencegah kerusakan, namun masih nampak keasliannya. Bangunan surau Syekh Burhanuddin belum pernah mengalami perubahan, selain penambahan serambi.
Tidak banyak keterangan mengenai masa kecil dan latar belakang kehidupan Syekh Burhanuddin yang berkubur di Ulakan itu. Nama kecilnya adalah Pono. Lahir di Pariangan Padang Panjang tahun 1066H (1646 M). Ayahnya bernama Pampak Sakti gelar Karimun Merah, suku Koto. Ibunya bernama Cukup Bilang Pandai, suku Guci. Kehidupan kedua orang tuanya beternak sapi.
Keluarga Pampak Sati gelar Karimun Merah meninggalkan kampung halamannya, Pariangan Padang Panjang. Perjalanan dari Pariangan turun ke Malalo, terus ke Bukit Punggung Jawi terus ke Asam Pulau, dekat Kayu Tanam. Dengan menghilirkan batang Tapakis sampai keluarga ini di Sintuk. Jalan ini merupakan jalan dagang yang diawasi oleh Tuan Gadang dari Batipuh.
Di tempat inilah keluarga Pampak memulai kehidupan baru. Usaha lama dikembangkannya karena daerah Sintuk mempunyai padang rumput yang subur. Pono dengan rajin dan patuh menggembalakan ternak ayahnya sehingga berkembang biak yang membawa keluarga Pampak termasuk keluarga terpandang di daerah baru ini.
Pono berjalan menghiliri Batang Tapakis mencari padang rumput baru. Di nagari Tapakis, bersebelahan dengan nagari Ulakan, Pono mendapat teman baru, seorang pemuda sebaya dengan dia. Teman itu ialah Idris Majolelo, suku Koto, berasal dari Tanjung Medan. Beliau mempunyai budi pekerti yang halus.
Di nagari Tapakis berdiam seorang ulama berasal dari Aceh yang bernama Syekh Abdul Arif yang terkenal dengan gelar Tuanku Madinah yang disebut juga Tuanku Air Sirah. Air Sirah adalah nama jorong di nagari Tapakis, tempat Syekh Abdul Arif bermukim dan mengajar. Pembantu utamanya adalah Syahbuddin, Syamsuddin dan Basyaruddin.Ulama ini seangkatan dengan Syekh Abdur Rauf al Singkli dan sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad Kosasih dan Syekh Abdul Qadir al Jailani di Madinah. Syekh Abdul Arif dengan sabar dan gigih mengajar agama Islam kepada anak nagari. Hasilnya belum menggembirakan. Anak nagari lebih teguh memegang adat istiadat jahiliyah dan kepercayaan lama.
Dengan ajakan Idris Majolelo akhirnya Pono berkenalan dengan agama Islam dan langsung mengucapkan dua kalimat tauhid menjadi penganut agama yang khalis di hadapan Tuanku Madinah Beliau belajar dengan tekun dan rajin serta mengamalkan segala fatwa gurunya. Pono termasuk murid yang terpandai karena ketekunan dan kecerdasan otaknya.
Tidak berapa lama, tiba-tiba Tuanku Madinah meninggal dunia. Pono sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Alangkah sedihnya Pono karena secara tidak diduga sama sekali guru yang dihormati dan disayanginya telah tiada. Harapan Pono untuk mengeruk sebanyak mungkin ilmu gurunya itu menjadi gagal.
Dengan perasaan hiba dan putus harap, Pono kembali ke Sintuk. Beliau sering bermenung dan terharu atas kepergian Tuanku Madinah. Beliau menyendiri dari pergaulan ramai, mengingat kemungkaran yang sering dilakukan anak nagari. Untuk mengobati hati yang luluh beliau dengan tekun dan sepenuh hati mengamalkan fatwa gurunya dan ajaran Islam yang diperoleh selama belajar dengan almarhum Tuanku Madinah.
Dengan sembunyi-sembunyi, Pono sempat mengajar serta meyakinkan teman-teman dekatnya akan hakekat kebenaran ajaran Islam. Lambat laun agama Islam mulai meresap di hati sebahagian kecil penduduk Sintuk.
Dakwah Pono demikian tidak berlangsung lama. Tantangan demi tantangan datang dari anak nagari, terutama para penghulu suku dan pimpinan nagari. Mereka merasa wibawa mereka akan berkurang karenanya. Akhirnya mereka menasehati Pono agar segera meninggalkan kegiatan dakwahnya. Namun Pono tetap melaksanakannnya. Akibatnya tantangan semakin menjadi. Mula-mula mereka menganiaya ternak ayahnya dan kemudian dengan ancaman pengusiran. Puncak tantangan adalah ketika keputusan musyawarah nagari untuk membunuh Pono apabila tidak segera menghentikan dakwahnya. Pono tidak mendapat tempat berpijak lagi di Sintuk.
Memperdalam Ilmu ke Aceh
Pada saat krisis ini menyadarkan Pono dari kekhawatirannya. Kembali segar dalam ingatannya pesan almarhum gurunya, Tuanku Madinah, agar memperdalam ilmu agama kepada seorang ulama besar Abdur Rauf al Singkli. Pesan guru ini disampaikan dengan khidmat kepada kedua orang tuanya dan mereka merestuinya.
Secara diam-diam mereka berserah diri ke hadapan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam usia muda, 15 tahun, malam hari Pono meningalkan negari Sintuk menuju Aceh guna memenuhi pesan gurunaya, Tuanku Madinah
Dengan berat hati kedua orang tuanya melepas kepergian anak tercinta. Kemudian Pono sujud dan mohon maaf. Air mata terus membasahi pipinya. Pada saat itu Pono dan bangkit keluar rumah. Langkah pertama menuju Aceh kelak mempunyai nilai tersendiri dalam peristiwa perkembangan Islam di Minangkabau.
Dia berangkat secara diam-diam, khawatir diketahui oleh mata-mata pemimpin nagari itu. Bekalnya adalah semangat dan tekad yang bulat serta penyerahan diri kepada Allah.
Tujuannya ke Singkil di Aceh Selatan berguru kepada Syekh Abdur Rauf al Singkli, seorang ulama yang masyhur waktu itu memenuhi amanat almarhum gurunya yang pertama, Tuanku Madinah. Pono sudah berangkat. Nagari Sintuk sudah jauh ditinggalkan. Tanpa kawan ia menyusuri pesisir Samudra Indonesia. Secara kebetulan, dalam perjalanan ia bertemu dengan empat orang pemuda sebaya dengan dia. Mereka lalu berkenalan, dan ternyata mereka mempunyai niat yang sama, hendak pergi ke Aceh untuk menuntut ilmu agama kepada Syekh Abdur Rauf. Mereka adalah Datuk Maruhum dari Padang Ganting, Tarapang dari Kubuang Tigo Baleh, Muhammad Nasir dari Koto Tangah, dan Buyung Mudo dari Bayang Tarusan.
Terjadilah persahabatan di antara mereka. Setelah melalui musyawarah didapat kata sepakat, Pono diangkat menjadi kepala rombongan yang diterimanya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Melalui suka dan duka selama dalam perjalanan, akhirnya dengan selamat mereka sampai di Singkil langsung menghadap dan memperkenalkan diri kepada Syekh Abdur Rauf. Niat yang dikandung semenjak dari kampung halaman disampaikan dengan sopan.
Dengan segala senang hati Syekh Abdur Rauf menerima dan mengabulkan permohonan calon muridnya.
Pengaruh Syekh Abdurrauf al Singkli (1620 -1693)
Syekh Abdurauf Singkel adalah seorang ulama terkenal dalam abad ke-17. Ia dilahirkan pada tahun 1620 di Singkel, Kabupaten Aceh Selatan sekarang. Nama lengkapnya ialah Abdurrauf al Ali al Jawi al Fansuri al Singkel.
Syekh Abdurauf Singkel dimuliakan oleh rakyat Aceh sejak dahulu hingga sekarang. Banyak legenda mengenai Syekh Abduurauf yang terus hidupdan dikenal turun temurun. Archer dalam bukunya, Muhammadan Mysticism in Sumatera mengatakan, “Syekh Abdurauf Singkel, seorang cendekiawan muslim Aceh yang sekarang dikenal dengan nama Tengku Dikuala. Nama tertancap dalam lubuk hati rakyat sebagai ulama dan intelektual yang jenius pada zamannya.
Sesudah mendapat pendidikan di kampung halamannya dan diibu kota Kerajaan Aceh, ia melanjutkan studinya ke tanah Arab. Pada tahun 16423, ia berangkat ke Mekah. Selama 19 tahun lamanya di tanah Arab, di antaranya Mekkah, Madinah, Jeddah, Mokka, Zebid, Batalfakih dan beberapa tempat lainnya. Syekh Abdurauf menyelesaikan studinya pada seorang ulama Tharikat Syattariah yang bernama Molla Ibrahim, pengikut Ahmad Qusyasyi. Pada tahun 1661, ia kembali ke Aceh.
Sesampainya di Aceh, ia mendirikan rangkang (pesantren) dekat muara sungai Aceh. Dari berbagai penjuru Asia Tenggara orang datang ke tempatnya untuk belajar. Atas usaha murid-muridnya, Tharikat Syattariah yang kemudian tersebar ke seluruh Indonesia dan Semenanjung Malaya. Di antara muridnya yang terkenal ialah Syekh Burhanuddin di Ulakan seorang mubaligh yang terkenal di Minangkabau yang menyiarkan agama Islam secara intensif ke pedalaman Minangkabau.
Di samping sebagai mubaligh dan ulama, Syekh Abdurauf terus menerus memperdalam ilmunya dalam lapangan hukum. Sebuah karyanya dalam lapangan hukum berjudul, ” Hudayah Balighah ala Jum’at al Mukhasaman” yaitu sebuah kupasan mengenai hukum Islam tentang bukti, persaksian dan sumpah palsu. Pendapat Syekh Abdurauf di lapangan hukum syariat sangat dipatuhi rakyat Aceh dan buah pikirannya terus hidup sampai sekarang dan lebur menjadi kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh. Kesanggupan Syekh Abdurauf merumuskan hukum-hukum Islam sangat dikagumi sehingga syariat Islam dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat Aceh saat ini. Syariat Islam telah dijadikan Peraturan Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Karyanya yang berjudul, Miratul Tullab fi tasyil Makrifatul Ahkam Asysyar’iyah li Malikul Wahhab, merupakan sebuah buku pengantar Ilmu Fikih menurut Mazhab Syafi’i. Buku ini hampir sama dengan karya Nuruddin Ar Raniri yang berjudul Sirathul Mustaqim. Bedanya buku Nuruddin ar raniri hanya berisi soal-soal ibadah saja, tetapi buku Syekh Abdurauf berisi juga tentang mu’amalah.
Kupasannya mengenai pokok-pokok ajaran tasauf termuat dalam bukunya berjudul Kifayat al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, dan Umdat al Muhtadin. Tafsir al Quran dalam bahasa Melayu telah diterbitkan di Istambul pada tahun 1882.
Kegiatannya sebagai ulama dan mubaligh sebagian besar dilakukan pada masa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin, seorang sultan yang memerintah selama 34 tahun. Masa pemerintahan pemerintahannya adalah masa yang penuh luka-luka karena kekalahan armada Aceh ketika menyerang Malaka pada tahun 1629. Sementara pertentangan faham agama tindakan kekerasan yang dilakukan semasa pemerintahan Sulthanah Syafiatuddin dalam membasmi ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani dalam ajaran Syattariah tentang Wihdatul wujud.
Bentuk dan sifat pertentangan antara Syekh Abdurrauf dan Ar Raniri dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani berpangkal pada adanya dua aliran dalam ilmu tasauf. Aliran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani bernama wihdatulwujud atau kesatuan ujud.
Wihdatusysyuhud ialah faham umum umat Islam yang menyatakan bahwa alam yang baru iniadalah sebagai kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi, bukkanlah alam itu sebagian dari Tuhan, melainkan sebagai tanda adanya Tuhan.
Pertentangan ini telah ada pada masa Iskandar Muda, namun atas kebijaksanaan Iskandar Muda tidak menimbulkan kekacauan. Namun dalam bidang kebudayaan, sinar kerajaan Aceh semakin bersinar. Aceh masyhur sebagai pusat kebudayaan dan intektual Islam di Asia Tenggara. Syekh Abdurauf adalah seorang ulama dan mubaligh yang membenarkan seorang wanita menjadi Sulthanah yang menunjukkan pikirannya yang maju untuk masanya. Bahkan sampai sekarang masih ada ulama yang tidak membenarkan wanita menjadi pemimpin bangsa.
Pada hari Jum’at tanggal 4 Sya’ban 114 H atau 1698 M, Syekh Abdurauf berpulang ke rahmatullah. Pada batu nisannya terlukis Al Waliyul Malki Syekh Abdurrauf bin Ali. Namanya kemudian lebih dikenal dengan sebutan Syiah Kuala. Sesudah ia meninggal dikenal dengan nama Tengku di Kuala atau Syiah Kuala. Ia mengambil tempat untuk mengajar di kuala (muara) Krueng (sungai) Aceh dan di sana pula ia dikuburkan.
Syekh Abdur Rauf berhasil menyelesaikan studinya dengan baik. Kemudian beliau kembali ke Aceh langsung mendirikan rangkang (pesantren) dekat muara Krueng Aceh. Kegiatan rangkang ini maju pesat. Kemampuan Syekh Abdur Rauf merumuskan hukum-hukum Islam dalam bentuk sederhana dan mudah dicernakan, menyebabkan syariat Islam dapat diterima dan dilaksanakan masyarakat Aceh. Atas dasar pengetahuannya di bidang hukum agama, ia diangkat menjadi mufti kerajaan Aceh.
Syekh Abdur Rauf adalah seorang sufi dari aliran Syattariah dan bermazhab Syafe’i. Fahamnya dalam tasauf tergolong dalam faham yang dinamakan Wihdatusysyuhud, jadi tidak berbeda faham pendirian Nuruddin Ar Raniri. Dalam polemik beliau menentang ajaran-ajaran Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin As Sumatrani cukup tegas dan keras, tetapi tetap bijaksana sehingga kekacauan dan peperangan agama tidak terjadi dalam masyarakat .
Sejak masa Sulthan Iskandar Muda telah tinggi perbincangan ulama-ulama dalam hal agama, yang terpenting pertentangan antara faham wihdatul ujud,”alam ini adalah ciptaan dari bahagian ketuhanan sendiri, laksana buih pada puncak ombak. Maka dalam alam zahir ini sebagai bahagian dari pada ketuhanan yang besar. Menurut ahli tasauf dari aliran ini, duania adalah hanya emanasi atau pancaran dari inti sari yang tidak tercipta
Wihdatusyuhud ialah paham yang rata pada umat Islam, bahwa alam yang baharu ini adalah sebagai kesaksian dari pada adanya Tuhan. Jadi bukanlah alam ini sebagaian dari Tuhan, melainkan sebagai tanda dari pada adanya Tuhan.
Karya-karya yang pernah beliau tulis, antara lain:
- Hudayah Balighah ‘ala Jum’at al muchasanah, suatu pembahasan mengani hukum Islam tentang: bukti, kesaksian dan sumpah palsu. Buah pikirannya ini menjadi pedoman dan kaedah hukum adat dalam masyarakat Aceh hingga dewasa ini.
- Miratul Tullab fi Tasyl Ma’rifatul Asysyariah li makhluk Wahhab kupasan mengenai pengantar Imu Fiqih menurut mazahab Syafii.
- Kifayat al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, suatu kupasan mengenai pokok-pokok ajaran tasauf dan dasar-dasar pendiriannya dalam lapangan ini.
- Syair makrifat, karangan dalam bentuk puisi.
- Tafsir al Qur an, dalam bahasa Melayu.
Syekh Abdurrauf wafat tahun 1114 Hijriyah dimakamkan dekat muara sungai Aceh. Pada makam beliau dibuat orang hiasan tulisan yang berbunyi Al Waliyul mulki Syekh Abdur Rauf bin Ali, menunjukkan betapa besar peranannya dalam kerajaan Aceh pada waktu itu Setelah meninggal dunia beliau lebih dikenal dengan sebutan Tengku di Kuala atau Syekh Kuala.
Kepada ulama dan mubaligh inilah Pono menuntut ilmu dan memperdalam ajaan Islam selama 10 tahun. Lebih-lebih ketika Syekh Abdur Rauf al Singkli diangkat Sulthanat Syafiatuddin sebagai mufti Aceh, Pono dapat belajar tentang kehidupan istana dalam hubungannya dengan kegiatan masyarakat Aceh.
Syekh Abdur Rauf memberikan perhatian istimewa pula kepada Pono. Hubungan antara murid dengan guru terlihat sangat intim. Di samping belajar, Pono membantu guru menggembalakan ternaknya. Membuat dan memelihara kolam ikan sebagai bagian dari kegiatan rangkang ini. Murid-murid di rangkang Syekh Abdur Rauf harus berusaha sendiri dan mempunyai ketrampilan untuk memenuhi keperluan hidup.
Pono diajak tinggal serumah dengan guru. Tugas Pono bertambah dengan mengasuh anak-anak sang guru. Pono sudah dianggap sebagai keluarga sendiri oleh Syekh Abdur Rauf.
Minat serta perhatiannya sungguh luar biasa diikuti dengan daya tangkap yang tinggi. Tidak mengherankan Pono termasuk murid yang terpandai di antara pelajar di sana. Karena itulah Syekh Abdur Rauf mencurahkan sekalian ilmu yang pernah dimilikinya, dan kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Pono. Ilmu yang dipelajarinya ialah ilmu syariat Islam dengan cabang-cabangnya tauhid, tasauf, nahu, sharaf, hadits dan juga ilmu taqwim (hisab).
Setelah melalui ujian-ujian berat dilengkapi dengan berkhalwat selama 40 hari di gua hulu sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan, sebelah selatan Beureun, akhirnya Pono berhasil lulus dengan baik.
Syekh Burhanuddin kembali ke Minangkabau
Setelah cukup menerima ilmu pengetahuan selama beberapa than tibalah masanya Syekh Burhanuddin meninggalkan Aceh. Masa pendidikan diakhiri dengan perpisahan antara guru dan murid dengan penuh kasih sayang.Terjadi percakapan antara Syekh Abdur Rauf dengan Syekh Burhanuddin yang berbunyi sebagai berikut:
“Malam ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui dengan sepenuh hati. Berbahagialah Engkau, dengan rahmat dan karunia Tuhan, telah selamat menempuh masa khalwat 40 hari lamanya. Engkau beruntung di dunia dan berbahagia di akhirat kelak. Sekarang pulanglah engkau ke tanah tumpah darahmu menemui ibu bapamu yang telah lama engkau tinggalkan. Di samping itu tugas berat dan mulia menantimu untuk mengembangkan Islam di sana.”
“Syukur Alhamdulillah”, kata Syekh Burhanuddin.
“Hatimu telah terbuka dan aku mendoa ke hadhirat Allah subhanahu wata’ala, semoga cahaya hatimu menyinari seluruh alam Minangkabau. Kini, engkau, aku lepaskan. Namun dengar baik-baik! Guru di Madinah ada empat orang, yakni Syekh Ahmad al Kusasi, Syekh Qadir al Jailani, Syekh Laumawi. Ketika aku berangkat ke tanah Jawi ini beliau memberi amanat yang harus kusampaikan kepadamu.
Sesungguhnya nama Burhanuddin yang engkau pakai adalah nama pemberian guruku itu dan ia mengirimkan sepasang jubah dan kopiah. Terimalah ini dari padaku supaya sempurna amanat yang kubawa dan suatu kemuliaan bagi engkau dengan sepasang pakaian ini tanda kebesaran ilmu yang penuh di dadamu!”
Hari ini adalah saat perpisahan antara guru dengan murid dan meninggalkan mesjid Singkil untuk selama-lamanya bagi Syekh Burhanuddin. Syekh Abdur Rauf melepas Syekh Burhanuddin dengan sebuah taufah dan menyediakan perahu disertai sembilan orang yang akan mengawalnya selama dalam perjalanan. Rombongan ini dipimpin oleh Tuanku Nan Basarung dengan pesan supaya mengantarkan Syekh Burhanuddin sampai di kampung halamannya.
Pada saat itu telah terjadi perubahan hubungan antara Aceh dengan Minangkabau. Daerah yang selama ini berada di bawah kekuasaan Aceh satu persatu ingin melepaskan diri. Demikian juga halnya dengan Minangkabau. Telah terjadi beberapa kali perkelahian dan peperangan yang banyak memakan korban. Di antaranya gugur seorang panglima bernama Sisangko, kemenakan panglima Kacang Hitam, cucu Ami Said yang berkubur di Pulau Angso.
Perahu Syekh Burhanuddin mendarat di Pulau Angso di muka pantai Pariaman untuk beristirahat dan meninjau keadaan di darat. Bersama dengan pengawalnya kemudian mereka mendekati pantai Ulakan. Perahu Syekh Burhanuddin adalah perahu Aceh, sehingga penduduk di sekitar pantai telah siap berjaga-jaga lengkap dengan senjata menunggu kemungkinan yang akan terjadi. Melihat keadaan seperti itu Syekh Burhanuddin berpendapat lebih baik kembali ke Pulau Angso menunggu saat yang baik.
Namun, Tuanku Nan Basarung berpendapat lain. Tugasnya adalah mengantarkan orang kampung mereka sendiri yang telah merantau ke Aceh beberapa tahun. Dengan keras hati ia mendayung sendiri ke pantai. Ia disambut dengan perkelahian melawan orang banyak. Walaupun ia memperlihatkan keberaniannya, namun akhirnya ia gugur dalam melakukan tugas yang diembannya. Syekh Burhanuddin tinggal sendirian di Pulau Angso setelah pengawalnya yang delapan orang itu disuruhnya kembali ke Aceh. Ia berpesan kepada Syekh Abdur Rauf bahwa ia telah sampai di kampung halamannya dan akan menyelamatkan jenazah Tuanku Nan Basarung.
Melalui seorang nelayan, Syekh Burhanuddin mengirimkan sepucuk surat kepada teman akrabnya, Idris Majo Lelo yang menyatakan beliau sudah kembali dari Aceh dan sekarang berada di Pulau Angso. Perahu yang mendekati pantai Ulakan kemarin adalah perahu saya yang sengaja dikirim oleh Syekh Abdur Rauf.
Setelah menerima surat tersebut, Idris Majo Lelo menyampaikan isi dan maksud surat tersebut kepada pemimpin dan rakyat Ulakan. Besoknya, Idris Majo Lelo diiringi beberapa orang menjemput ulama ini ke pantai Kenaur dekat Pariaman. Kedua teman ini berjabat tangan setelah sekian lama berpisah.
Sesaat kemudian mereka berangkat ke Padang Langgundi, Ulakan. Di sanalah mereka bermalam. Sebagai tanda kenang-kenangan kembali dari menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin menanam ranting pinago biru yang dibawa dari Aceh. Beliau berpesan kepada Idris Majo Lelo bila ajal sampai kelak ia dikuburkan dekat pinago biru ini.
Menyebarkan Ajaran Islam
Di Tanjung Medan ada sebidang tanah milik Idris Majo Lelo, pemberian dari Raja Ulakan. Ke sanalah Syekh Burhanuddin dibawanya. Dimulainyalah tugas suci mengajar dan menyebarkan ajaran Islam. Usaha pertama dilakukannya di lingkungan keluarga Idris Majo Lelo. Kemudian diikuti oleh tetangga terdekat.
Walaupun mendapat tantangan dari golongan ninik mamak dan pemimpin mesyarakat lainnya yang khawatir pengaruhnya akan berkurang, namun akhirnya sebagian besar masyarakat Tanjung Medan sudah menganut agama Islam yang taat.
Syekh Burhanuddin meresapkan agama Islam dengan cara lunak dan berangsur-angsur.
Jalan yang dilakukan adalah menerapkan salah satu ayat al Quran yang berbunyi la iqraha fiddin, tidak ada paksaan dalam menjalan agama.
Kegagalan sewaktu di Sintuk dulu diperbaikinya sekarang setelah mendapat ilmu dakwah dari gurunya, Syekh Abdur rauf.
Ternyata cara baru ini berhasil dilaksanakan dengan baik. Beliau yakin bahwa kegagalan di Sintuk merupakan keberhasilan yang tertunda, yang baru menampakkan hasil setelah beliau melakukan dakwah islamiyah di dalam dan di luar nagari Ulakan.
Dalam usaha meresapkan ajaran Islam terutama diarahkan kepada anak-anak yang masih “bersih” dan mudah dipengaruhi. Diusahakan oleh Syekh Burhanuddin agar anak-anak bermain di halaman surau.
Syekh Burhanuddin ikut pula bermain bersama-sama dengan anak-anak tersebut. Setiap memulai permainan Syekh Burhanuddin selalu mengucapkan nama Tuhan, bismillahir rahmanir rahim dan bacaan doa-doa lain.
Itulah sebabnya anak-anak tertarik ingin belajar dan ingin mengetahui isi doa yang dibaca beliau. Setelah murid-murid makin banyak mengaji, akhirnya setelah dimusyawarahkan secara gotong royong dibangun sebuah surau di Tanjung Medan yang sampai sekarang dapat kita saksikan tempat mengaji bagi anak-anak dan santri.
Kesepakatan Bukit Marapalam
Berita kegiatan Syekh Burhanuddin di Ulakan ini meluas sampai ke daerah lain, ke Gadur Pakandangan, Sicincin, Kapalo Hilalang, Guguk Kayu Tanam terus ke Pariangan Padang Panjang dan akhirnya sampai ke Basa Ampek Balai dan raja Pagaruyung sendiri.
Alam Minangkabau waktu itu menjadi goncang dan perhatian tertuju ke Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyiaran Islam dengan mengintensifkan ke seluruh pelosok Minangkabau. Cara yang dilakukan ialah, dengan meminta restu kepada Raja Pagaruyung. Apabila Raja telah yakin akan kebenaran agama Islam ini Alam Minangkabau akan mudah dipengaruhi. Secara kebetulan, salah seorang temannya belajar di Aceh, Datuk Maruhum Basa, diangkat oleh Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung sebagai Tuan Kadhi di Padang Ganting.
Dengan diiringkan oleh Idris Majo Lelo, Syekh Burhanuddin menemui Raja Ulakan yang bergelar Mangkuto Alam, kemenakan Datuk Maninjun Nan Sabatang dan Ami Said, cucu Kacang Hitam dengan maksud menyampaikan niatnya memperluas ruang lingkup kegiatan dakwah. Dengan kepandaian berbicara akhirnya Mangkuto Alam ditunjuk menghadap Daulat Raja Pagaruyung. Ajakan ini diterima baik oleh Mangkuto Alam setelah dimusyawarahkan dengan “Orang Nan Sebelas di Ulakan.”
Berangkatlah Syekh Burhanuddin dan Idris Majo Lelo bersama dengan Mangkuto Alam dan Orang Nan Sebelas Ulakan dengan diiringkan hulubalang seperlunya menghadap Daulat Yang DipetuanRaja pagaruyung. Pertama yang ditemui Datuk Bandaharo di Sungai Tarab. Atas inisiatif Datuk Bandaro diundanglah basa Ampek balai untuk membicarakan maksud dan tujuan “orang Ulakan” tersebut., minta izin menyebarluaskan ajaran Islam di Minangkabau.
Tempat sidang diadakan di sebuah bukit yang dikenal dengan nama “Bukit Marapalam” Keduanya merupakan norma hukum dan saling isi mengisi yang akan jadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau. Inti sari konsepsi Marapalam melahirkan ungkapan “adat basandi syarak, sebagaimana disinggung oleh Scherieke dalam bukunya “Pergolakan Agama di Sumatra Barat (terjemahan) sejak tahun 1668 konsepsi Marapalam itu dicetuskan sehingga alim ulama di Minangkabau telah dapat melibatkan rakyat dalam suatu aksi politik agama.
Konsepsi Marapalam ini dengan kerendahan hati disampaikan ke hadapan daulat Raja Pagaruyung. Kepada pembesar kerajaan dimintakan pertimbangan yang diterima dengan suara bulat.
Syekh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan kebebasan seluas-luasnya mengembang agama Islam di seluruh Alam Minangkabau.
Dalam pepatah adat disebutkan batas-batasnya, ” di dalam lareh nan duo, luhak nan tigo, dari ikue darek kapalo rantau sampai ke riak nan badabue” Syekh Burhanuddin dengan gerakannya dilindungi oleh kerajaan Pagaruyung.
Bagaimana usaha Syekh Burhanuddin berhasil mencapai kesepakatan dalam waktu yang singkat dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung? Tak heran peranan gurunya di Aceh dengan filsafah “adat bak po teumeureuhum, huköm bak syiah kuala”, (adat kembali pada raja, Iskandar Muda, hukum agama pada Syiah Kuala) teralir dalam pikiran muridnya Syekh Burhanuddin di Ulakan.
Daerah pesisir sebagai bagian dari rantau Yang Dipertuan Pagaruyung menentang kehadiran Persatuan Dagang Belanda (VOC) yang mencoba menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan memecah belah rantau pesisir. Di antaranya dengan menciptakan Perjanjian Painan tahun 1662.
Sedang di daerah pesisir mulai berkembang surau-surau yang mengadakan perlawanan terhadap monopoli dagang, seperti Muhammad Nasir dari Koto Tangah, Tuanku Surau Gadang di Nanggalo.
Antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Raja Pagaruyung mempunyai kepentingan yang sama yaitu keutuhan Alam Minangkabau.
Dengan kedua kepentingan antara keutuhan daerah rantau kesepakatan mudah dicapai antara Syekh Burhanuddin dengan Yang Dipertuan Pagaruyung. Kesepakatan inilah yang sering disebut dengan Perjanjian Marapalam. Kemudian usaha Belanda ingin memasuki pedalaman Minangkabau dirintis oleh Thomas Diaz yang berangkat dari Patapahan menembus hutan rimba dan tiba di Buo (1680) disambut Raja Malio. Pengalaman Syekh Burhanuddin bersama gurunya, Syekh Abdur Rauf sebagai mufti kerajaan Aceh, menambah wawasan Syekh Burhanuddin dalam politik keagamaan di Minangkabau.
Peristiwa bersejarah di Bukit Marapalam dan Titah Sungai Tarab menghadap kepada Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung telah tersiar di seluruh pelosok Alam Minangkabau dan menerima agama Islam dengan kesadaran. Islam diakui sebagai agama resmi. Adat dan agama telah dijadikan pedoman hidup dan saling melengkapi. Saat itu lahirlah ungkapan “adat menurun, syarak mendaki. Artinya adat datang dari pedalaman Minangkabau dan agama berkembang dari daerah pesisir.
Syariat Islam yang dibawa dan dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin telah menyinari Alam Minangkabau banyaklah orang yang menuntut ilmu agama. Dari mana-mana orang berdatangan ke Tanjung Medan. Nama Tanjung Medan sebagai pusat pendidikan dan pengajaran ilmu Islam sudah masyhur. Surau Tanjung Medan penuh sesak dengan murid-murid beliau.
Untuk menampung mereka dibangun lagi surau-surau disekeliling surau asal. Menurut catatan terdapat 101 buah surau baru di Tanjung Medan yang merupakan satu kampus, permulaan sistem pesantren yang kita kenal sekarang.
Perjanjian Marapalam kemudian berkembang menjadi suatu proses penyesuaian terus menerus antara adat dan agama Islam, saling menopang sebagai pedoman hidup masyarakat Minangkabau.
Syekh Burhanuddin telah meninggalkan jasa yang gilang gemilang. Namanya senantiasa akan hidup terus dan tak terlupakan sepanjang masa. Sebelum meninggal dunia, Syekh Burhanuddin tidak lupa mendidik kader penerus dalam usaha menyebarluaskan ajaran Islam yang dilakukan melalui latihan dan pendidikan.
Untuk meneruskan perjuangan beliau, Syekh Burhanuddin melatih dan mendidik dua orang pemuda Tanjung Medan, Abdul Rahman dan Jalaluddin yang akan menggantikan kedudukan, “khalipah” kelak. Menurut penilaiannya kedua anak muda ini memenuhi pesyaratan dalam mengemban tugasnya, baik dari akhlak, kecerdaan serta ketrampilan dakwah. Untuk itu ditetapkan Abdul Rahman sebagai khalipah I.
Idris Majo Lelo, teman akrab Syekh Burhanuddin sedari muda bekerja bahu membahu dalam menegakkan agama Islam.
Sebagai kehormatan atas jasanya, Idris Majo Lelo diangkat menjadi Khatib nagari Tanjung Medan dan jabatan itu berlangsung sampai sekarang.
Tharekat Ulakan
Ajaran yang dikembangkan Syekh Burhanuddin sebagai penganut mazhab Sjafii adalah tharikat Syattariyah, yang dinamakan juga tharikat Ulakan atau “martabat yang tujuh”.
Martabat yang tujuh adalah mengenai ketujuh tahap pancaran dari “ada yang mutlak”, bersumber dari ajaran al Halaj, Ibnu Arabi. Menurut ajaran ini semua yang di alam merupakan pancaran dari Allah. Pikiran ini dikembangkan dari ajaran Wihdatul wujud, bersatu dengan Tuhan. Penganjur faham wihdatul wujud di Aceh adalah Syamsuddin Pasai al Sumatrani dan Hamzah Fansuri. Menurut Syamsuddin al Sumatrani, bahwa Allah itu roh, dan wujud kita ini roh dan wujud Tuhan.
Sedangkan Hamzah Fansuri mengatakan bahwa asal roh itu qadin, yakni roh Muhammad s.a.w. karena ia dijadikan Allah dari pada nur zatnya yang qadin. Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu (siapa yang mengenal dirinya, berarti mengenal Tuhannya), yang oleh Hamzah Fansuri diartikan bahwa manusia bersatu dengan Tuhan, bersatu sifat dengan zat.
Adapun ajaran tharikat Syattariyah mempunyai ciri-ciri khusus, antara lain:
a. tentang lafadz bahasa Arab dari pada imam dan upacara-upacara berdasarkan bahasa Arab yang kuno dan kurang murni.
b. Permulaan dan akhir puasa dilaksanakan semata-mata atas rukyah, dalam arti dapat dilihat dengan mata adanya bulan.
Pengaruh tharikat ini masih dapat disaksikan sekarang lewat “basapa” ke makam Syekh Burhanuddin di Ulakan. Dalam komplek makam tersebut, pengikutnya melakukan ratib semalam suntuk. Dalam ajaran tharikat, pendekatan dan penghormatan kepada guru diutamakan sekali. Jalan pikiran manusia dalam ajaran tharikat turut mempengaruhi akan peningkatan amalannya melalui makrifat (ilmu) dan hakikat (kebenaran sejati = Tuhan).
Untuk memperoleh makrifat, perlu guru atau khalipah. Tanpa guru, makrifat tidak akan berhasil mencapai hakikat. Fungsi guru di sini adalah sebagai perantara (rabuthah). Guru menjadi komponen utama dalam menghubungkan seseorang dengan Tuhannya (hakikat), karenanya doa guru perlu disebut. Menyebut nama guru ialah memudahkan doa diperkenankan.
Proses pencapaian hakikat yang telah diajarkan guru menuntut penghormatan kepada guru, sehingga setelah meninggal jasa guru perlu diingat dalam bentuk ziarah ke makamnya. Dalam pikiran si murid, ulama dan guru tharikat dianggap mempunyai kelebihan yang luar biasa hingga dianggap keramat.
Tanah dan tempat-tempat yang pernah dipakai oleh ulama tersebut perlu dihormat dan dikunjungi.
Banyak di antara murid-murid Syekh Burhanuddin yang mengembangkan ajaran tharikat ini di Minangkabau. Salah seorang murid yang terkenal ialah Tuanku Mansiang di Paninjauan.
Setelah Syekh Burhanuddin wafat, banyak pula orang yang berguru kepada Tuanku Mansiang ini. Perkembangan kemudian cepat berubah sesuai dengan perkembangan pedalaman Minangkabau, Murid-murid Tuanku Mansiang ini mendirikan surau-surau di kampungnya dalam mengembangkan keahliannya masing-masing.
Pada pertengahan kedua abad ke-18 terjadi perkembangan ilmu pengetahuan, politik dan lahirnya cendekiawan sebagai salah satu unsur kepemimpinan tali Tigo Sapilin.
Sejalan dengan itu lahir pula pembaharuan pemikiran agama Gerakan “kembali ke syariat” yang lebih dikenal dengan sebutan Gerakan Padri (1784 – 1821) untuk mengatasi kemajuan kehidupan masyarakat pada masanya.
Semuanya hasil pendidikan surau Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan, Ulakan.
AJARAN TARIKAT DI MINANGKABAU
Pada awal perkembangan Islam lahir suatu kelompok persaudaraan (tarikat) sebagai suatu cara mendekatkan diri kepada Allah. Tarikat adalah cabang ilmu agama yang disampaikan filosof Islam. Penganutnya yang taat disebut sufi. Seorang sufi menuntut ilmu agama bertahun-tahun yang diajarkan seorang guru.
Pada masa itu, tarikat dan surau dapat menyesuaikan diri dengan lembaga yang ada di Minangkabau, tanpa menimbulkan pertentangan. Pesantren (surau) lahir dan diterima seluruh masyarakat sebagai tambahan lembaga kehidupan di desa. Kelompok tarikat mahir menanggapi situasi dan lebih menekan ajaran pada usaha ketentraman batin sebagai hamba Allah. Latihan kejiwaan dan zikir diselenggarakan untuk mengingat Allah sehingga terpelihara kesinambungan kehidupan di desa.
Pada abad ke-18, di Minangkabau terdapat tiga kelompok tarikat: Naqsyabandiyah, Syattariyah dan Kadiriyah. Ciri ketiga kelompok itu sama, yaitu kepatuhan sepenuhnya yang dituntut dari seorang murid kepada gurunya.
Di tempat belajar, mereka mengenal ajaran Islam, disiplin dan latihan yang diterapkan masing-masing guru.
Guru dan guru tuo (guru pembantu) mengajar membaca Qur’an, tafsir dan kaedah agama serta praktek lainnya untuk mencari keridhaan Allah dengan tertib. Pada sore hari para santri berkumpul sambil melaksanakan zikir dengan menyebut asma Allah.
Organisasi sekelompok surau, kadang-kadang terdiri dari 20 bangunan yang ditempati santri dari berbagai daerah. Setiap surau berada di bawah pengawasan seorang guru tuo. Murid-murid harus ikut membantu guru bekerja di kebun atau sawahnya. Pada masa sibuk bertani, belajar sering terganggu. Di samping itu, murid menanam pisang atau buah-buahan di sekitar surau mereka. Kehidupan mereka tergantung dari hasil pertanian yang dijual ke pasar setiap minggu. Surau-surau besar, biasanya berdiri di desa-desa pusat perbelanjaan, yang disebut pakan.
Seorang murid harus berpegang teguh pada kepatuhan diri kepada guru. Kepatuhan ini merupakan dasar sebelum melangkah mempelajari ajaran Islam.
Pengajaran dasar bagi seorang muslim ialah membaca Al Qur’an yang lebih menekankan pada tajwid, bunyi (fonem) yang benar menurut tata bahasa Arab. Sebelum memperdalam kitab suci Al Qur’an, mereka harus pula mempelajari nahu sharaf, tata bahasa Arab.
Bagi yang mendapat kesulitan mempelajarinya, dapat beralih mempelajari hukum Islam, syariat. Kajian syariat disebut fikih.
Buku fikih yang dipakai di semua surau tarikat umumnya sama yaitu mengajarkan tiang Islam, arkanul khamsah, yang digolongkan ke dalam ibadah sebagai dasar kewajiban seorang muslim. Kemudian diikuti dengan bimbingan berperilaku yang benar. Lanjutannya ialah mempelajari hukum yang berkaitan dengan pengendalian hubungan sesama manusia, seperti hukum warisan, dan lain-lain.
Surau-surau yang memperdalam kajian pokok tentang hukum tersebut umumnya menjadi surau yang mempunyai nama baik di Minangkabau. Surau-surau Naksyah-bandiyah umumnya terletak di desa-desa persimpangan jalan perniagaan atau desa-desa pertanian yang makmur.
Guru-guru tarikat bekerja sebagai petani untuk nafkahnya sehari-hari. Sebagai guru, ia harus pula menyiapkan suatu buku fikih dan doa-doa upacara dalam bahasa Melayu berdasarkan sumber-sumber dari bahasa arab.
Tarikat Syattariyah lebih banyak dikenal pada akhir abad ke-18, yang diperkenalkan di Sumatera oleh Abdur Rauf dari Singkil, Aceh (1605-1693). Salah seorang muridnya bergelar Syekh Burhanuddin, membawanya ke Ulakan pada bagian ke dua abad ke-17. Dari Ulakan, tarikat itu bersebar melalui jalur perdagangan sampai ke Paninjauan dan Pamansiangan, kemudian ke Koto Tuo, di daerah Agam bagian selatan yang kaya dengan sawah.
Di sebelah barat Koto Tuo berdiri surau-surau tarikat yang banyak menghasilkan ulama. Daerah ini dikenal dengan nama Ampek Angkek berasal dari nama empat orang guru yang terpuji kemasyhurannya dalam tarikat Syattariyah.
Murid-murid di surau Syattariyah mempelajari rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang pedoman dalam kajian Syattariyah adalah karya Abdul Rauf.
Surau- surau lain di pedalaman Minangkabau memperdalam suatu cabang ilmu agama tertentu, sehingga terdapat spesialisasi pengajaran.
Tuanku di Kamang tempat memperdalam ilmu alat, nahu shraf, tata bahasa Arab; Koto Gadang dan Rao (Pasaman) dalam ilmu mantik maani, ilmu logika Islam; Tuanku di Koto Tuo dalam ilmu tafsir Qur’an, tarbiyah, pendidikan; Tuanku di Sumanik dalam ilmu hadith, tafsir dan faraidh (ilmu warisan); Tuanku di Talang (Solok) dalam ilmu sharaf, dan Tuanku Salayo dalam badi’, maani dan bayan.
Seorang santri dapat pula memperdalam ilmu kepada guru lainnya. Dengan demikian, terjadi mobilitasi sosial yang tinggi di Minangkabau.
Pada tahun 1803, terjadi suatu peristiwa yang kelak membawa akibat yang lebih jauh.
HAJI MISKIN ( ± 1860 – 1830)
Haji Miskin berasal dari Batu Tebal, Ampek Angkek, telah ikut serta bersama Tuanku nan Tuo memperbaiki keamanan para pedagang. Ia berangkat menunaikan ibadah haji pada tahun 1803 bersama Haji Sumanik dan Haji Piobang. Pada saat berada di Mekah, ia berkenalan dengan aliran Zahiriyah yang dipelopori Muhammad Abdul Ibnu Wahab ( 1703-1792), sebagai lanjutan dari pemikiran Ibnu Taimiyah (1263- 1308). Gerakan ini dikenal dengan nama Gerakan Wahabi yang dapat mempergunakan pengaruh keluarga Su’ud dari Nejd.
Ketiga haji itu menerangkan pengalaman mereka masing-masing selama di Mekah kepada tuanku-tuanku dan alim ulama di Luhak Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh. Pada setiap kesempatan, Haji Miskin menjelaskan aliran Wahabi di Mekah dalam melaksanakan pembaruan agama. Ia menganjurkan kembali ke syariat berdasakan al Quran.
Mereka menentang menafsirkan fikih untuk kepentingan dunia. Menentang bid’ah dan khurafat yang dimasukkan ke dalam Islam.
Kembali ke ajaran yang murni, menurut ajaran Wahabi, ialah menentang fatwa-fatwa ulama yang mendasarkannya pada Qur an dan Hadis.
Di dalam fikih, kaum Wahabi menentang segala macam qiyas. Di dalam kehidupan sehari-hari, mereka menentang pemujaan orang keramat. Hukumnya disamakan dengan menyembah berhala. Mereka menentang minum khamar, memakai pakaian dari sutra dan memakai perhiasan emas.
Sekembali dari Mekah, Haji Miskin melengkapi gagasan-gagasan pembaruan untuk mesyarakat Minangkabau dengan ajaran-ajaran Al Quran sebagai sumber hukumnya. Ia pindah ke daerah IV Koto yang berbatasan dengan Agam bagian selatan, suatu desa makmur di lereng Gunung Singgalang. Ia menerapkan tuntunan hidup berlandaskan kaidah agama dalam setiap sikap hidup.
Haji Miskin meninggalkan Pandai Sikek dan pindah ke Koto Laweh, suatu desa yang bersih, di lereng Gunung Singgalang( 1805). Di desa ini tinggal Fakih Saghir. Bersama Haji Miskin, Fakih Saghir menerapkan hukum syariat pendamping adat Minangkabau.
Dari Koto Laweh, Haji Miskin datang ke Bukit Kamang. Kemudian ia tinggal bersama Tuanku Nan Renceh di Surau Bansa (1807).
Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh mulai mengatur rencana pembaruan secara menyeluruh untuk menerapkan hukum perdagangan Islam dalam melengkapi hukum adat Minangkabau.
Para pedagang dapat menerimanya, baik yang tinggal di Kamang atau maupun yang datang ke sana. Mereka berjanji saling membantu dalam transaksi antar pedagang.
Selama berada di Surau Bansa, Kamang, Datuk Bandaro dan Malin Mudo dari Alahan Panjang mendengar langsung ide pembaruan dari pencetusnya, Haji Miskin. Tidak lama kemudian Malin Mudo kelak dilantik menjadi Tuanku Imam Bonjol* (1807).
Daerah Tuanku Nan Salapan dibentuk bersama Tuanku nan Renceh terdiri dari Kamang, Candung, Ampek Angkek, Kubu Sanang, Banuhampu, Sungai Puar, dan Padang Laweh. Di daerah ini memancarkan kesejahteraan penduduknya. Kekerasan dan perkelahian yang terjadi akibat pengembangan pembaruan untuk mengembalikan desa-desa melaksanakan syariat Islam.
Kemudian Haji Miskin berunding dengan Tuanku Nan Salapan. Mereka sepakat menunjuk Tuanku Nan Renceh sebagai pemimpin Gerakan Pembaruan, dan mencari seorang yang berpengaruh untuk melindungi usaha pembaruan. Pilihan jatuh kepada guru mereka, Tuanku Nan Tuo
Tuanku Nan Tuo menyetujui maksud mereka, tetapi tidak menyetujui kekerasan yang dilakukan dalam pelaksanaannya. Kalau pekerjaan mulia dilakukan dengan kekerasan, akan menimbulkan kekacauan.
Cara ini dianggap menyimpang dari roh Muhammad yang bijaksana. Inilah ajaran yang tertera dalam ‘Taufah mursala ila ruhun nabi.’ Sedangkan Tuanku Nan Renceh ingin menerapkan gagasan-gagasan pembaruan yang berbeda dengan cara yang dilakukannya dahulu bersama Tuanku Nan Tuo.
Haji Miskin melanjutkan usaha pembaruan di Luhak Lima Puluh. Pada tahun 1811, ia berangkat ke ranah ini untuk menggugah ulama muda, Malin Putih di Air Tabik, untuk melakukan pembaruan. Ia berhasil baik. AiaTabit, suatu daerah subur di kaki Gunung Sago. Fakih Saghir datang kedaerah ini membantu Malin Putih yang kemudian bergelar Tuanku Nan Pahit. Mereka mendirikan sebuah benteng Bukit Kawi. Haji. Miskin pindah ke Mesjid Sungai Lundi di nagari aia Tabik. khutbahnya berhasil menjadi sebab lahirnya rencana perubahan.
Pembaruan yang dilancarkan Haji Miskin di Aia Tabik bergema ke Halaban. Seorang ulama yang mengikuti ajaran baru ini ialah Tuanku Luak di Halaban.
Haji Miskin penyebar cita-cita dan ide pembaruan masyarakat Minangkabau yang terhunjam kuat dalam hati setiap tuanku- tuanku atau ulama Muda di Tanah Minangkabau.
Dalam suasana ribut Haji Miskin mati terbunuh dan dikuburkan di atas Bukit Kawi. (1830).
TUANKU
Dalam tradisi adat yang diadatkan di Minangkabau, gelar Tuanku adalah, gelar pemimpin agama yang diberikan kepada seorang ulama terkemuka, yang telah menguasai ilmu agama (Islam) paripurna. Lazimnya dibelakang gelar itu diikuti dengan surau tempat ia mengajar. Gelar tuanku sebagai pemimpin surau diresmikan dalam suatu upacara.
Sedangkan gelar Syekh* sebagai gelar tertinggi seorang ulama di Minangkabau, merupakan “guru gadang” yang masih langka pada awal Gerakan Kembali ke Syariat. Gelar syekh diberikan oleh guru kepada muridnya secara beranting sebagai kepercayaan telah diakui mempunyai ilmu agama paripurna, seperti halnya Pono diberi gelar Syekh Burhanuddin Ulakan oleh gurunya, Abdurauf al Singkli. Penobatannya dilakukan dengan memberikan pakaian (jubah) pemberian guru Abdurrauf di Mekah. Dengan demikian secara berantai terjadi hubungan guru-murid yang tidak putus-putusnya.
Setingkat di bawah Tuanku ialah gelar Peto dan Labai*, bila seseorang yang telah menguasai fikih, tarikat dan ilmu hakekat. Gelar ini berasal dari Turki. Seorang labai atau peto hanya diberi hak memimpin jamaahnya, dan belum berhak memimpin surau sendiri.
Tingkat ketiga, Malin, gelar seorang guru bantu (guru tuo) yang dipercaya tuanku memberikan bimbingan kepada murid-murid pada suatu surau. Seorang malin (maulana atau mu’allim)* telah memiliki pengetahuan agama yang lebih luas dari murid-murid lainnya.
Setelah bertahun-tahun belajar pada seorang ulama (surau), seorang murid yang telah menguasai ilmu fikih dan sanggup membaca do’a-doa, lalu diberi gelar Pakih. Sedangkan yang sanggup membaca Al Qur’an, diberi gelar Kari.
TUANKU NAN TUO1750 – l830)
Tuanku Nan Tuo adalah seorang ulama pembaru Islam di pedalaman Minangkabau yang memimpin surau di Koto Tuo*, Ampek Angkek pada pertengahan a bad ke-18.
Murid-Murid yang belajar di surau Syattariah terbuka untuk mempelajari seluruh rangkaian pengetahuan Islam. Salah satu buku yang dipelajari adalah karya Abdurrauf yang memperlihatkan penghargaan yang tertinggi terhadap “syariat”. Ajaran ini dibawa Syekh Burhanuddin Ulakan sekembalinya belajar pada Syekh Abdurrauf al Singkli di Aceh. Beberapa surau Syattariyah mempelajari cabang ilmu agama, sehingga terjadi spesialisasi pengajaran agama Islam di Minangkabau.
Masing-masing surau itu memperdalam salah satu cabang ilmu agama, seperti: Surau Kamang dalam ilmu alat (nahu sharaf dan tata bahasa Arab), Koto Gadang dalam mantik ma’ani, Koto Tuo dalam ilmu tafsir Quran, tarbiyah dan hadith), Surau Sumanik dalam ilmu faraidh (pewarisan) hadis; Surau di Talang dalam badi’, maani dan bayan (tata bahasa Arab ), Tuanku di Sumanik dalam ilmu hadis, tafsir dan faraidh, Tuanku di Talang dalam ilmu sharaf, sedangkan Tuanku di Salayo dalam ilmu nahu nan tiga (badi’, maani dan bayan. Kedua ulama terakhir mencapai derajat yang tinggi sebagai ulamiyah.
Dalam hal ini Tuanku Nan Tuo mempelajari ilmu-ilmu itu dari tuanku-tuanku itu, akhirnya lebih dikenal sebagai ulama yang kisyaf yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam mantik, maani, hadis, tafsir, tarbiyah, danu agama lainnya.
Pada akhir abad ke-18, surau Koto Tuo memperkenalkan pembaruan berdasarkan hukum Islam kepada masyarakat luas. Murid surau Koto Tuo kira-kira seribu orang berasal dari pelosok Minangkabau dan daerah rantau.
Ajaran Syattariah yang diperkenalkan mengenai ilmu hakekat, ilmu pengetahuan tentang tauhid dalam ‘mencari Tuhan’. Murid dan guru melibatkan diri dalam perdagangan yang berasal dari langganan luar negeri, seperti Amerika, Inggeris, Tamil dan Gujarat.
Tuanku Nan Tuo berfatwa tentang perlindungan terhadap pedagang dan menguraikan syariat Islam yang berhubungan dengan keamanan pedagang. Fatwa ini dikenal dengan nama gerakan kembali ke syariat. Ia mengajarkan murid-muridnya cara menggalang persatuan bagi masyarakat Minangkabau menurut perintah Tuhan. Inti ajarannya ialah ketaatan pada ajaran-ajaran Al Quran dalam mengatur harta warisan, penceraian dan jual beli barang. Semenjak itu Tuanku Nan Tuo terkenal sebagai pelindung pedagang.
Tuanku Nan Tuo bersama Haji Miskin, sebelum menunaikan ibadah haji ke Mekah, mencari jawaban tentang pembagian harta warisan menurut fikih.
Menurut Tuanku Nan Tuo harta dibagi atas harta pusaka dan harta pencaharian. Harta pusaka diwariskan menurut hukum adat Minangkabau. Harta pencaharian jatuh ke tangan anak, dengan perbandingan antara anak laki dengan anak perempuan 2: 1.
Tuanku Nan Tuo melihat banyak hal yang sesuai antara adat dengan syariat menurut mazhab Syafei, terutama yang berhubungan dengan harta pusaka.
Semenjak tahun 1784, hukum Islam menjadi kajian yang penting dari surau Koto Tuo. Murid-murid Tuanku Nan Tuo yang terbaik ditugaskan melaksanakan dakwah ke luar Ampek Angkek, terutama desa yang menghalangi usaha perdagangan. Semenjak itu Tuanku Nan Tuo dikenal sebagai pelindung pedagang di Minangkabau.
Jalaluddin gelar Fakih Saghir yang kemudian mendirikan surau di Koto Laweh, gerbang jalan ke Pariaman melalui Mudik Padang; Tuanku Bandaro dari Alahan Panjang meneruskan pembaruan di Bonjol bersama Tuanku Imam Bonjol; Pakih Muhammad bergelar Tuanku Rao di Rao Mandahiling, Saidi Muning bergelar Tuanku Pasaman kemudian bergelar Tuanku Lintau di Lintau.
Pendidikan lainnya di surau Tuanku Nan Tuo ialah ilmu bela diri, silat dan pencak sehingga setiap murid siaga serempak menjadi pemuda trampil dan mampu menggunakan senjata di medan laga.
. Menjelang tahun 1790 daerah Ampek Angkek mengalami kemajuan besar atas usaha Tuanku Nan Tuo. Pedagang lebih senang membawa barang dagangannya melalui Agam terus ke Koto Laweh, kemudian meneruskan perjalanannya melalui bukit antara Gunung Singgalang dan Gunung Tandikek menuju Mudik Padang dan terus ke Pariaman. Mereka dapat bergerak dengan leluasa, yang belum pernah dialami sebelumnya.
Pembaruan Islam dilaksanakan di surau-surau yang memajukan pendidikan surau dan memajukan perdagangan.
Pusat-pusat perdagangan di pedalaman Minangkabau dikuasai oleh surau-surau, seperti Tuanku Damansiang di Pandai Sikek, Jalaluddin di Koto Laweh, Tuanku Nan Renceh di Kamang;Tuanku Nan Tuo di Ampek Angkek, dan kemudian Tuanku Bandaro dan Tuanku Imam Bonjol di lembah Alahan Panjang Panjang, Tuanku Rao di Rao, Tuanku Barumun di Kota Pinang dan Barumun..
Telah terjadi pratagoni di daerah Islam berkembang dengan pembaruan dan perbaikan moral masyarakatnya yang memancarkan kemakmuran..
Pemerasan yang sering terjadi terhadap pedagang dan pemungutan pajak pengawasan pada jalan dagang tradisional dari Jaho Tambangan ke Bukit Punggung Jawi terus ke Kayu Tanam dan Lubuk Alung yang diawasi dubalang Tuanku Gadang dari Batipuh.
Dengan adanya perubahan itu di pedalaman Minangkabau berlaku pertanian pola rakyat, menggantikan pola raja yang dikuasai kerajaan Pagaruyung.
Belanda memasuki Minangkabau pada tahun 1821 dan ingin menguasai pusat perdagangan di pedalaman Minangkabau. Kemudian Belanda mendirikan benteng Gedung Batu di Koto Tuo. Selama enam tahun hulubalang Tuanku Mudo, pangka tuo (pemimpin ) hulubalang Tuanku Imam Bonjol tinggal di daerah Ampek Angkek.
Peperangan tak terelakkan antara pro golongan pembaruan dengan pengikut Tuanku Nan Tuo. Tuanku Nan Tuo meninggal dunia pada tahun 1830 berlumuran darah di surau yang dibangunnya dengan Qur an tetap dipegangnya.
TUANKU LINTAU ( ± 1770 -1832 )
Tuanku Lintau seorang ulama di Tanah Datar. Ia anak seorang penghulu bergelar Datuk Sinaro. Nama kecilnya Saidi Muning dan belajar di surau Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, melanjutkan pelajarannya di Natal dan Pasaman. Kemudian memimpin suraunya yang terletak di pantai di Pasaman. Semenjak itu ia dipanggil orang Tuanku Pasaman.
Pada tahun 1813, Tuanku Pasaman kembali ke kampung halamannya di Lintau, di lembah Sinamar. Ia berpendapat, misinya harus diarahkan pada pembaruan tingkah laku masyarakat di sekitar kerajaan Pagaruyung. Ia sangat terkesan dengan pembaruan yang dilakukan Tuanku Nan Renceh, di Kamang.
Muningsyah, Raja Pagaruyung, tidak menentang gerakan pembaruan yang dilakukan Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Pasaman di Lintau untuk perbaikan moral masyarakat Tanah Datar. Tetapi, kerajaan Pagaruyung dan beberapa desa-desa sekitarnya, acuh tak acuh terhadap kehidupan masyarakat. Mereka bahkan menunjukkan permusuhan, sehingga timbul pertentangan di tengah masyarakat.
Kerusuhan menjalar ke desa-desa sebelah timur Tanah Datar.
Tuanku Pasaman memutuskan mengakhiri sifat otonomi desa yang berlaku selama ini. Raja Pagaruyung tidak mempunyai niat untuk melakukan pembaruan. Sesungguhnya Pagaruyung telah lumpuh. Tuanku Pasaman berkesimpulan, prasyarat berhasilnya pelaksanaan idenya, ialah dengan jalan melaksanakan administrasi pemerintahan yang seragam di Tanah Datar. Tindakan yang akan dilakukannya ialah menyingkirkan keluarga kerajaan, dan menyerang desa-desa yang paling erat dengan kerajaan Pagaruyung. Ia yakin bahwa sistem kerajaan Pagaruyung menjadi penghalang cita-citanya.
Pada tahun 1815, ia mengajak Raja Alam beserta keluarga kerajaan lainnya untuk bermusyawarah di Koto Tangah, antara Barulak dengan Saruaso. Pada pertemuan itu tiba-tiba Tuanku Pasaman menuduh Raja Alam kurop dan tidak beragama. Ia memerintahkan menyerang raja. Banyak anggota keluarga Pagaruyung mati terbunuh dalam peristiwa itu, termasuk dua orang anak Raja Alam Pagaruyung. Raja Muningsyah bersama cucunya dapat meloloskan diri ke Lubuk Jambi. setelah terjadi Peristiwa Koto Tangah itu.
Tuanku Pasaman menyerang Lubuk Jambi pada tahun 1823 untuk dapat menguasai kota dagang di pantai timur melalui Sinamar. Tuanku Pasaman berusaha memperkuat kedudukannya di mata penduduk pusat kerajaan. Ia mengawini anak Raja Ibadat terakhir yang meninggal pada tahun 1817.
Kemudian ia memindahkan kedudukannya dari Sumpur Kudus ke Lintau dan menyatakan dirinya sebagai pemegang waris Raja Adat dan Raja Ibadat. Semenjak itu pula ia lebih dikenal dengan gelar Tuanku Lintau.
Tuanku Lintau dapat meluaskan sistem administrasi Padri di daerahnya dengan dukungan hulubalang yang berpakaian merah untuk membedakannya dengan dubalang yang berwarna hitam. Di daerah bukit sebelah timur Lintau, sistem Padri diterima dengan baik. Penduduk Buo dan Kumanis menganut ajaran Padri. Di sebelah utara Lintau, di lereng Gunung Sago, berada di bawah hulubalang Tuanku Lintau yang bernama Tuanku Halaban.
Sehubungan dengan serangan itu, dasar-dasar ekonomi dan politik Kerajaan Pagaruyung lumpuh. Keluarga kerajaan berusaha menyelamatkan diri dari kehancuran dengan kembali kepada sekutu lama, Belanda. Semua nagari yang terletak pada jalur Koto Piliang ke pantai barat ikut menandatangani perjanjian dengan Belanda pada tahun 1819. Nagari-nagari ini diwakili dua beradik Sultan Saruaso dan Raja Alam Bagagarsyah dari Pagaruyung dan Nagari Duo Puluh Koto dan Batipuh. Mulai saat itu Gerakan Pembaruan Padri berhadapan dengan Belanda yang kemudian berubah menjadi Perang Padri.
Kawasan Lintau dipisahkan dengan pusat Tanah Datar oleh punggung bukit barisan dengan lembah-lembah yang dalam. Bukit pemisah ini ialah Bukit Marapalam dipergunakan sebagai benteng perlindungan yang sulit ditembus dari arah Tanah Datar. Punggung bukit di sekitar Lintau ditanam dengan kopi.
Kawasan ini merupakan pertemuan bukit yang membentuk lereng-lereng yang mendaki. Di sela-sela bukit ini mengalir mata air yang dapat dimanfaatkan untuk mengairi sawah-sawah yang terletak di tengah kebun kopi, dikelilingi oleh sawah yang subur, yang mendatangkan kesejahteraan penduduknya.
Halaban dan Lintau semenjak lama mempunyai hubungan dagang dengan pantai timur, di hulu Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Pada tahun 1813, ia membenahi desanya, Lintau. Semenjak tahun 1820 melakukan upaya mengawasi lalu lintas perdagangan jalur Indragiri. Sejak itu pula ia terkenal sebagai Tuanku Lintau. Penduduk Lintau melakukan penukaran kopi dengan barang-barang katun dan garam. Terbukti bahwa terdapat hubungan antara kemakmuran dengan diterimanya asas pembaruan Islam (Protagoni).
Kedatangan serdadu Belanda ke Tanah Datar dilaporkan kepada Tuanku Imam Bonjol oleh Tuanku Kacik. Utusan itu menyatakan bahwa pasukan Belanda dengan sekutunya akan menyerang Lintau.
Pasukan Belanda menyerang Bukit Marapalam, bergerak dari Pagaruyung dengan kekuatan 8 pucuk meriam. Pasukan ini dapat dipukul mundur sampai ke desa Tanjung. Empat pucuk meriam dapat dirampas hulubalang Lintau. Empat hari kemudian, Belanda kembali mencoba menyerang Bukit Marapalam dari arah desa Tanjung. Peristiwa ini terjadi pada 13 April 1823.
Pasukan hulubalang Bonjol di bawah pimpinan Tuanku Mudo yang sedang berada di Ampek Angkek, mendengar serangan Belanda ke Bukit Marapalam itu, segera bergerak ke lembah Bukit Marapalam. Pasukan Bonjol menyerang dari arah utara sehingga hulubalang Lintau dapat menguasai medan pertempuran. Pasukan Lintau dan hulubalang Bonjol dapat menguasai lapangan pertempuran.
Kekalahan ketiga kalinya bagi pasukan Belanda terjadi pada tanggal 16 April 1823 yang dikenal sebagai Hari Keprajuritan Perlawanan Lintau. Peristiwa serangan Belanda dan perlawanan hulubalang Lintau tercantum pada relief Museum Perjuangan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Pada serangan itu Belanda mendapat kekalahan tiga orang perwira, 45 serdadu Belanda mati, 9 perwira luka dan 178 prajurit menderita luka. Empat buah meriam Belanda dapat dirampas.
Pertahanan Tuanku Lintau (1813-1830) baru ditembus pasukan Belanda melalui pengkhianatan yang dilakukan dalam malam pekat ketika hujan turun dengan deras.
TUANKU NAN RENCEH ( ± 1780 – 1832)
Seorang ulama yang cerdas, murid Tuanku Nan Tuo. Setelah menyelesaikan pendidikan di Koto Tuo, ia kembali ke kampung halamannya, di Bansa, Kamang. Tuanku Nan Renceh mengundangkan jihad dari Surau Bansa, Kamang.
Walau sebagai seorang petani, ia mampu memberikan pelajaran dengan semangat perjuangan di suraunya. Ia melakukan penyerangan terhadap nagari sekitarnya, seperti Kamang, Tilatang, Padang Tarok, Ujung Guguk, Candung, kemudian Matur dan Lima Puluh. Dengan tubuhnya yang kurus tinggi dan pandangan mata yang menyala ia memberi contoh bagaimana ajaran agama ditegakkan tanpa ditawar-tawar.
Masyarakat ingin ditegakkan adalah masyarakat muslim yang tidak mengenal menyabung ayam, minuman keras, menghisap candu, makan sirih dan tidak meminta doa ke kuburan dan melarang laki-laki memakai sutra dan perhiasan emas. Siapa yang tidak taat dihukumnya.. Ia ingin menegakkan agama di tengah masyarakat, dan tampak pengaruh Wahabi dalam tindakannya.
Tuanku nan Renceh dapat menundukkan seluruh daerah Kamang. Kemudian Magek, Salo, Koto Baru. Di nagari yang mengakuinya disusun pemerintahan menurut Islam dikepalai oleh seorang imam dibantu oleh seorang kadhi.
Berangsur-angsur Tuanku Nan Renceh menaklukkan nagari yang keras menantangnya. Nagari itu dibakar dan dibinasakan. Pembaruan yang dicanangkan itu akhirnya disetujui surau-surau di Agam, antaranya tuanku nan salapan.
Haji Miskin kemudian berunding dengan Tuanku Nan Renceh dari Surau Bansa (1807). Tuanku Nan Renceh bersama Haji Miskin mulai mengatur rencana pembaruan secara menyeluruh. Mereka menghapuskan kebiasaan buruk yang dilarang agama Islam.
Gagasan kedua orang pembaru ini untuk menerapkan hukum perdagangan Islam melengkapi hukum adat Minangkabau yang diterima baik oleh pedagang, baik yang tinggal di kamang, maupun yang datang ke Kamang
Musyawarah dengan tuanku nan salapan, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Kalung, Tuanku Ladang Laweh, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambalau, dan Tuanku Lubuk Aur, menghasilkan kesepakatan menunjuk Tuanku Nan Renceh sebagai pemimpin geralan pembaruan dan mencari seorang yang berpengaruh untuk melindungi usaha pembaruan yang akan dilakukan. Pilihan jatuh kepada guru mereka, Tuanku Nan Tuo.
Perbedaan pendapat antara Tuanku nan Renceh dengan Tuanku nan Tuo, tidak dapat dielakkan. Tindakan Tuanku Nan Renceh tidak disetujui Tuanku nan Tuo Tuanku Nan Tuo melarang Tuanku Nan Renceh dengan beribu-ribu orang Kamang yang ingin menyerang Kurai.
Akhirnya Tuanku Nan Tuo memanggil Tuanku Nan Renceh musyawarah menghentikan pembakaran dan pembunuhan sesama orang Islam. Tuanku Nan Renceh mengemukakan jihad berdasarkan fikih. Orang yang tidak menjalankan perintah agama dapat dirampas harta dan jiwanya.
Tuanku Nan Tuo mendasarkan pikirannya pada tarikat, Tindakan kekerasan hanya boleh dilakukan terhadap orang yang terang terangan menentang ajaran Islam. Akhirnya perbedaan pendapat diselesaikan dengan sumpah disaksikan Quran.
Di beberapa nagari, seorang ulama ditempatkan dalam pemerintahan adat. Wadah lain hasil perjuangannya jabatan Imam, yang pada mulanya pemimpin sembahyang berjamaah, dan kemudian ikut memimpin pertahanan nagari, dan Tuan Kadi, mengatur akad nikah, talak rujuk dan pengawasan hukum dalam nagari.
Perjuangan para ulama dikoordinasi ke dalam Tuanku nan Salapan yang terdiri dari :
1. Tuanku nan Renceh dari Kamang
2. Tuanku Kubu Sanang
3. Tuanku Ladang Laweh di Banuhampu
4. Tuanku Padang Luar
5. Tuanku Galung di Sungai Puar
6. Tuanku Koto Ambalau
7. Tuanku Lubuk Aur
8. Tuanku Pamansiangan nan Mudo di Mansiangan
Munculnya kelompok militan bukan ide pembaruan yang dikembangkan. Tatkala kelompok ini ingin melaksanakan aksinya, mereka menghadap orang arif di Koto Tuo lebih dahulu. Pengaruhnya atas masyarakat luas merupakan faktor penentu. Apalagi sebagian besar para ulama itu pernah menjadi murid ulama besar ini. Pada awal gerakan pembaruan ini dibina atas hubungan pemimpin kharismatik dengan pengikutnya. Inilah yang disebut hubungan guru murid.
Usulan Tuanku Nan Renceh beserta kelompoknya untuk melaksanakan aksi gerakan dengan kekerasan tidak dapat diterima Tuanku nan Tuo. Beliau sependapat dengan gagasan untuk terus menegakkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang murni.
Dalam segala hal, Tuanku nan Tuo menyediakan diri dan mencurahkan tenaganya guna pembaruan, seperti telah dilaksanakannya jauh sebelumnya. Tetapi ia berbeda pendapat mengenai cara mencapai tujuan.
Maka dinasehatkannya agar mereka menempuh jalan yang lebih lunak untuk menghindarkan kerugian yang tidak diperlukan. Dalam pengambilan keputusan mereka menemukan jalan bersimpang dua. Tuanku nan Tuo beserta murid-muridnya yang setia, tetap melaksanakan pembaruan dengan cara lunak.
Sedangkan Tuanku nan Renceh dengan kelompoknya mengambil jalan kekerasan. Ternyata, Tuanku nan Renceh pula yang memikul beban langkah pertama untuk melaksanakan perubahan itu. Ia memulai gerakan di kampung halamannya.
Pergolakan-pergolakan umum segera menyebar ke nagari-nagari di seluruh Minangkabau. Tuanku nan Renceh mengemukakan jihad berdasarkan fikih. Orang yang tidak menjalankan perintah agama dapat dirampas jiwa dan hartanya.
Tuanku nan Tuo mendasarkan fikirannya menurut ajaran tarikat. Tindakan kekerasan hanya boleh dilakukan terhadap orang yang terang terangan menentang ajaran Islam. Akhirnya perbedaan pendapat diselesaikan dengan sumpah disaksikan Quran. Namun demikian kelompok Tuanku nan Renceh meminta Tuanku Pamansiangan nan Mudo sebagai penasihat mereka.
Serangan Belanda, untuk menguasai perdagangan kopi dan kulit manis dari Kamang, di Koto Baru dan Kapau mendapat perlawanan yang gigih dari hulubalang Tuanku nan Renceh.
Banyak korban yang berjatuhan di pihak Belanda sehingga dipaksa mundur ke Bukittinggi. Beberapa pucuk meriam Belanda dapat direbut di Kapau. Serangan-serangan Belanda merupakan pengalaman baru rakyat Minangkabau berhadapan dengan penguasa bangsa asing. Perlawanan semesta dengan menggunakan parit dan rintangan alam seperti bukit, lembah dan gunung.
Sentot, seorang bekas pemimpin pasukan Diponegoro yang dikirim Belanda ke Minangkabau bersama 300 orang pasukannya.(1829). Pasukan Raden Noto Prawiro dan T. Prawiro Sabiro menyerang kedudukan Tuanku Nan Renceh. Dalam pertempuran itu, Tuanku nan Renceh menghembuskan nafas penghabisan (Juni 1832).
Namun Raden Noto Prawiro dan Sabiro melihat masyarakat Kamang yang Islami dan keberanian hulubalang Tuanku nan Renceh di Kamang berjuang seperti dilakukannya bersama Diponegoro dulunya.
Tuanku Imam Bonjol (1772 – 1854)
Seorang tokoh gerakan pembaru Islam, dan seorang pemimpin Padri yang berhasil mengembangkan perdagangan di pantai barat, pantai timur sampai ke Tapanuli Selatan. Ia juga seorang ahli benteng yang terkenal dengan nama Bonjol di Minangkabau. Nama kecilnya Muhammad Syahab. Keluarganya berasal dari batas Rimbang, Agam.
Sebagai pendatang di Tanjung Bungo, Alahan Panjang, dua orang bersaudara, Syekh Usman dan Hamatun diterima sebagai anak kemenakan dengan “mengisi adat” pada salah seorang Rajo Ampek Selo Alahan Panjang, Datuk Sati, di Ganggo Hilir.
Kaumnya diizinkan pula mengangkat Syekh Usman sebagai penghulu kaum Koto, bergelar Datuk Sajatinyo. Hamatun, adiknya dikawinkan dengan Khatib Bayanuddin, seorang guru agama berasal dari Kampung Batas Rimbang, Palupuh Kabupaten Agam. Mereka menetap di Tanjung Bungo.
Dari perkawinannya, mereka dikaruniai tiga orang putri, Sinik, Santun dan Halimatun dan seorang anak laki-laki bernama Muhammad Sahab, yang kemudian terkenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Muhammad Sahab dilahirkan di kampung Tanjung Bungo pada tahun 1772.
Pada usia 7 tahun, ia belajar mengaji al Quran di Kampung bakonya di Batas Rimbang, Luhak Agam. Pada tahun 1792 -1800, belajar pengetahuan agama di Surau Tuanku Bandaro di Padang Laweh. Tuanku Bandaro adalah seorang murid Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampek Angkek. Semenjak tahun 1802, Muhammad Syahab menjadi guru tuo (pembantu) di surau gurunya dengan bergelar Malin Basa.
Pada tahun 1805, selama tiga bulan, Tuanku Datuk Bandaro bersama Malin Basa belajar ke Surau Bansa di Kamang. Mereka mengenal langsung pembaruan agama Islam yang dicetuskan oleh Tuanku Nan Renceh bersama Tuanku Haji Miskin.
Dari Tuanku Nan Renceh, ia mendapat pengetahuan memajukan kesejahteraan masyarakat dengan melindungi pedagang dan mempergunakan bedil yang diperdapatnya dari Tuanku Sumanik.
Dari Tuanku Haji Miskin, mereka mendapat dasar pengetahuan fikih tentang hak warisan dan hukum perdagangan.
Sebagai salah seorang murid Tuanku Nan Tuo, Datuk Bandaro bersama Malin Basa memperkenalkan pembaruan berdasarkan hukum Islam yang mengatur hak masyarakat dalam perdagangan dan warisan. Datuk Bandaro mempergunakan wibawanya mengumpulkan seluruh rakyatnya untuk melaksanakan pembaruan itu. Semenjak itu, Malin Basa bergelar Peto Syarif.
Pada tahun 1807, Peto Syarif dan pengikutnya pindah dan mendirikan Koto di bawah Bukik Tajadi yang kemudian bernama Bonjol (1807). Ia diangkat oleh Nyiak Angku menjadi Tuanku Imam. Bonjol dipimpin oleh Tuanku nan Barampek yangdipimpin oleh Tuanku Imam dan diresmikan oleh sebagai pemimpin pembaruan Islam oleh rombongan dari Kamang (1808).
Tuanku Nan Gapuk dan Tuanku Nan Hitam ditugaskan belajar silat ke Tuanku Andaleh di Palembayan. Keduanya menjadi pelatih hulubalang Bonjol. Tuanku Nan Hitam sebagai Tuanku Kadi memimpin hukum Islam. Hulubalang dipimpin pangka tuo, di bawah pimpinan Tuanku Mudo.
Tuanku Imam Bonjol berusaha mengamankan jalan perdagangan di pantai barat dan pantai timur Sumatra dengan bantuan hulubalang. Pembaruan sejalan dengan perlindungan pedagang dari Kumpulan terus ke Sasak dan Tiagan.
Peto Magek, mantu Yang Dipertuan Parik Batu, seorang pedagang kaya, memasok keperluan Bonjol dengan meriam Inggeris. Pembaruan Islam berlanjut ke Suliki, Mahek, terus ke Kuok, Bangkinang dan Salo.
Di tiap-tiap nagari-nagari ditanam imam khatib dan kadi. Tuanku Imam meresmikan Pakih Muhammad menjadi Imam Besar bergelar *Tuanku Rao berkedudukan di Padang Mattinggi, Rao.
Bersama Tuanku Mudo, Tuanku Rao mengamankan jalan dagang menuju Sosa dan Barumun di pantai timur, dan mengangkat menantu Tuanku Rao sebagai Tuanku Barumun. Tuanku Gadubang dari Huta Na Godang menyebarkan pembaruan Islam di Tapanuli Selatan.
Bonjol menjadi pusat pembaruan Islam dan perdagangan di Minangkabau. Banyak harta rampasan dibawa ke Bonjol dan perilaku hulubalang banyak yang tidak dsenangi masyarakat. Tuanku Imam Bonjol berundang dengan Tuanku Rao, Tuanku Barumum dan Tuanku Kadi untuk mencari hukum ke sumber asli, di Mekah dan di Madinah. Mereka sepakat mengirim anak kemenakan dipimpin oleh Tuanku Barumun.(1811).
Kembali dari Mekah, Tuanku Imam Bonjol mengakui kesalahan dengan menyatakan bahwa kesalahan harus diperbaiki. Penyelesaian adat dikembalikan kepada Basa dan penghulu, dan urusan agama diselesaikan oleh alim ulama. Semenjak itu berlaku adat basandi syarak (1813) dan berlaku di Minangkabau, Agam, Tanah Datar dan Negeri Danau. Segala harta rampasan (ghanimah) dikembalikan kepada pemiliknya.
Selama 25 tahun, Imam Bonjol menjadi basis gerakan pembaruan berdasarkan ajaran adat dan syarak. Selama itu pula perdagangan Minangkabau berjalan dengan baik. Amerika dan Inggeris menjadi langganan komoditi pertanian Minangkabau, seperti kopi, lada, dan kulit manis.
Pada tahun 1820, Tuanku Nan Renceh meninggal dunia dan kepemimpinan pindah kepada Tuanku Imam Bonjol.
Pengaruh kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol makin terasa di seluruh Minangkabau sampai ke Tapanuli.
Ketika Belanda memasuki pedalaman Minangkabau pada tahun 1821 berkali-kali hulubalang Bonjol dibantu hulubalang Rao-Mandahiling menyerang kedudukan Belanda di Agam dan Tanah Datar.
Pandai Sikek direbut kembali (1825) dan Tuanku Pamansiangan kembali dari Bonjol. Kurai dibakar karena Belanda mendirikan Fort de Kock.
Ampek Angkek diduduki karena Belanda mendirikan benteng di Gedung Batu, di Koto Tuo Ampek. Serangan ke Lintau dapat dipatahkan atas bantuan hulubalang Bonjol di bawah pimpinan Tuanku Mudo (16 April 1823).
Tuanku Imam Bonjol mengungsi ke Lubuk Sikaping, karena Rajo Ampek Selo, Datuk Bandaro dengan Datuk Sati tidak sependapat atas permintaan Belanda untuk menyerahkan Bonjol (1832).
Alangkah tercengangnya Tuanku Imam Bonjol, ketika Tuanku Nan Cadiak dari Nareh menjadi juru bicara perdamaian Belanda dengan Tuanku Imam Bonjol. Kepemimpinan Bonjol diserahkannya kepada Tuanku Mudo atas permintaan Elout.
Serangan serentak atas kedudukan Belanda (11 Januari 1833) di Minangkaau terjadi karena Sikap Tuanku Imam yang mencintai persatuan dan musyawarah, meyakinkan pemimpin-pemimpin Minangkabau, seperti Sultan Bagagarsyah, Sentot Prawirodirjo, Tuanku Nan Cadiak dari Naras dan masyarakat Minangkabau. Serangan balik Belanda dapat ditahan atas kepercayaan Tuanku Imam, bahwa setiap nagari mempertahankan nagarinya masing-masing.
Kepercaayaan itu masih tetap dipertahankan oleh Tuanku Imam di saat perang mati-matian di lembah Alahan Panjang (1835 -1837). Berbagai bantuan mengalir dari seluruh Minangkabau, seperti mensiu, bahan kain, dan tenaga perang. Dengan dorongan agar teruskan melawan Belanda.
Di tengah perang itulah datang surat Residen Francis agar Tuanku Imam menyerah. Surat itu dibicarakan dengan seluruh penghulu di Alahan Panjang. Semua penghulu menolak dan bertekad membantu Tuanku Imam. Tuanku Imam bersama keluarganya diantarkan penghuku ke pengungsiannya di Koto Marapak dan Bukit Gadang. Atas musyawarah penghulu, Sultan Caniago dan *Bagindo Tan Labih diutus sebagai wakil Tuanku Imam berunding dengan Residen Belanda, Arbacht, ke Bukit Tinggi. Setelah berjuang selama 15 tahun, Tuanku Imam ditangkap 28 Oktober 1837,Tuanku Imam dengan alasan diajak berunding.
Ia diasingkan semula ke Cianjur (20 Januari 1938) bersama Bagindo Tan Labih, semenda dan dubalang, Sutan Saidi anaknya dari Padang Laweh, dan si Gelek, tukang meriam Sentot yang setia padanya. Ia dipindahkan ke Manado, Koka, dan terakhir di Lota Pineleng, 9 km dari Manado.
Imam Bonjol meninggalkan dunia pada 17 November 1854 di Lotak, dan baru disiarkan 10 tahun kemudian, sehingga kematiannya tercatat pada tahun 1864. Sebelum meninggal dunia, ia membeli sebidang tanah di Koka dari seorang Bwlanda bernama Agisir.
Tanah itu diberikan untuk mahar perkawinan Bagindo Tan Labih dengan Watok Pantaow. Sampai sekarang, tanah kalekeran menjadi simbol pemersatu keluarga Baginda di Sulawesi.
Tuanku Imam Bonjol diakui sebagai pahalawan dalam perjuangan pembaruan masyarakat berdasarkan syariat Islam dan menentang kolonialisme Belanda. Namanya terkenal sebagai ahli pembangunan benteng dan strategi perang rakyat semesta. Ia diangkat sebagai pahlawan nasional dengan Surat keputusan Presiden No. 087/TK, 6 Novembember 1973.
Tuanku Rao ( ……- 1830)
Murid Tuanku Imam yang terkenal bergelar Fakih Muhammad, seorang pemuda yang berasal dari Padang Mattinggi, Rao (Naskah Tuanku Imam Bonjol, tulisan Naali Sutan Caniago ). Ayahnya berasal dari Huta na Godang.
Dalam tradisi Batak, Tuanku Rao adalah kemenakan dari Singamaraja X yang menguasai daerah Bangkara Toba. Nama kecilnya Pongki na Ngolngolan Ia belajar di Koto Tuo sampai mencapai gelar Fakih Muhammad. Kemudian ia belajar di Bonjol dengan Tuanku Imam.
Setelah menyelesaikan pengajiannya di Bonjol, Fakih Muhammad diiringkan oleh Tuanku Nan Barampek berangkat ke Rao. Kedatangan rombongan mulanya disambut dengan perang. Kemudian orang Rao dapat dikejar sampai ke Langsek Kodok. Dalam peperangan ini Rajo Dubalang Rao kena tembak, sehingga mereka berdamai.
Yang Pituan Padang Unang berjanji akan menjalankan hukum syarak di nagari Rao dan akan menanam imam dan khatib. Tuanku nan Barampek dijemput Datuk Manjunjung Alam dari Padang Mattinggi untuk meresmikan Pakih Muhammad menjadi Imam Besar di nagari Rao dan bergelar Tuanku Rao yang disetujui Yang Dipertuan Padang Nunang dan penghulu Nan Lima Belas.
Semenjak itu Fakih Muhammad lebih dikenal sebagai Tuanku Rao. Ia dibantu kemenakannya, Bagindo Suman, sebagai kepala hulubalang.
Selama Perang Agama (1807 -1812) di Bonjol, Tuanku Rao ikut membantu Tuanku Imam Bonjol bersama Tuanku Mudo dan hulubalang meluaskan pembaruan ke daerah sekitarnya Rao sampai ke Rambah Kapanuhan dan ke Rokan, sehingga jalan dagang terbuka melalui Barumum.
Gerakan pembaruan ke kawasan Mandahiling Julu dan Mandahiling Godang semenjak tahun 1820 dapat diawasi Tuanku Rao dibantu oleh Raja Alam Pakantan dan Tuanku Natal. Daerah ini menghasilkan emas dan penduduknya berdagang melalui pelabuhan Natal.
Gerakan pembaruan ke timur menuju Rokan dilanjutkan sampai ke Barumun, Rambah Kapanuhan, Kota Pinang dan Tanah Tumbuh. oleh Tuanku Tambusai, menantu Tuanku Rao, sehingga kawasan Batang Barumun dan Sosa, daerah penghasil emas dan jalur perdagang ke Kota Pinang dan Pedir dapat diawasi oleh Tuanku Tambusai.
Tuanku Rao bersama hulubalang Tuanku Imam meluaskan pembaruan ke negeri Mahek, Kuok, Bangkinang sampai Salo dan Air Tiris. Di tempat itu disusun pemerintahan agama seperti menanam imam, khatib dan kadhi.
Dua orang utusan Tuanku Natal, Tuanku Di Danau Air dan Tuanku Diukur melaporkannya kepada Tuanku Imam Bonjol. Untuk menghadapinya, Tuanku Imam menugaskan Tuanku Rao dan Bagindo Suman membantu Tuanku Natal menyerang kedudukan Belanda. Pertempuran ini mendapat bantuan kapal-kapal Trumon dari Aceh.
Pelabuhan Natal dikepung 10.000 orang pasukan Rao Mandahiling selama 12 hari. Pasukan Rao dipimpinan Bagindo Suman menarik diri setelah perahu Saidi Marah kena tembakan kapal Nakhoda Langkap, sekutu Belanda.
Ketika serangan ke Air Bangis, Tuanku Rao meninggal dunia (1830).
TUANKU NAN CADIAK (…..-1851)
Semenjak dahulu, Naras merupakan jalan niaga dan jalan agama tradisional dalam pengembangan surau di Minangkabau.. Tuanku Nan Cadiak, Kampuang Dalam, dikenal sebagai Bagindo Maganti. Tuanku Nan Cadiak sangat disenangi karena selalu melindungi rakyat yang membuat garam di daerah pantai.
Di Kampung Dalam, di daerah Naras ia dikenal bergelar Bagindo Maganti. Setelah memimpin surau di Kampung Dalam, ia dipanggil muridnya Tuanku Nan Cadiak. Di kalangan rakyat Naras dan Tujuh Koto, ia seorang ulama yang disegani, karena selalu menjadi pelindung rakyat yang membuat garam di daerah pantai di daerahnya.. Berkali-kali Belanda menyerang rakyat Naras dan melarang membuat garam, selalu dipertahankan Tuanku Nan Cadiak sebagai pelindung pedagang di daerah pantai..
Pada tahun 1814, Raja Dihulu atau Rajo Nando, mamak Tuanku Nan Cadiak, meninggal dunia. Rajo Nando tidak mempunyai anak laki-laki yang akan menggantikannya. Tuanku Dihilir di Pariaman, Amar Bangso Dirajo, lebih senang apabila Bagindo Molek diangkat menjadi Raja manggung, daerah yang berbatasan dengan Pariaman.
Rakyat Naras dan penduduk Agam yang membawa barang melalui Malalak terus ke Agam dan Pandai Sikek dan Koto Laweh. Ia juga menjadi pelindung fakih dan malin yang belajar di derah pantai, seperti Ampalu Tinggi dan Ulakan. Naras semenjak dahulu merupakan jalan niaga dan jalan agama tradisional dalam pengembangan surau di Minangkabau.. Tuanku Nan Cadiak adalah orang yang cerdas dan berhasil mengembalikan daerah Manggung menjadi pusat perdagangan dan pembaruan agama di daerah pantai, sekitar Pariaman..
Elout, Residen Belanda untuk Sumatra’s Westkust, mengirim surat kepada Tuanku Nan Cadiak, Tuanku Limo Koto Kampung Dalam dan Tuanku Tujuh Koto, menganjurkan mereka menyerah kepada Belanda, dengan perantaraan In’t Veld, seorang saudagar di Pariaman. Dikatakannya, segala ‘kesalahan’yang dilakukan selama ini, akan dimaafkan.
Tuanku Nan Cadiak membalas surat Elout itu yang bunyinya, dengan senang hati ia membaca surat itu dan minta maaf ia tak bisa datang ke Pariaman, karena terlalu sibuk mengerjakan benteng.
Tuanku Nan Cadiak mengundang In”t Velt dan akan menerima Veld di Naras sambil melihat-lihat pertahanan kampung yang telah diperkuat parit dan pertahanan meriam. Surat yang sama yang dikirim kepada Tuanku Limo Koto. Tuanku Limo Koto menjawab, bahwa ia akan menyerah, bila Tuanku Nan Cadiak telah menyerah diri.
Jawaban yang keras datang dari Tuanku Tujuh Koto menyatakan tidak akan datang kepada Anda, tetapi apabila orang Eropah mau datang, akan kami nanti karena kami merasa puas dengan pemerintah dan pemimpin kami. Sawah kami subur dan hasilnya mencukupi untuk keperluan kami.
Sejak semula Belanda ingin menguasai komoditi perdagangan dari Minangkabau. Untuk itu, Belanda berusaha menguasai pelabuhan-pelabuhan di pantai barat, seperti Naras, Tiagan dan Air Bangis. Dengan menguasai ketiga pelabuhan itu, Belanda beranggapan akan dapat menguasai komoditi Sumatera Barat yang sangat menguntungkannya. Usaha itu terlihat dari beberapa kegiatan pasukan Belanda untuk menguasai pelabuhan Naras, kunci jalan dagang dari Agam melalui Malalak.
Tiagan dan Sasak di utara Tiku, suatu pelabuhan yang dilindungi bukit-bukit sebagai saluran komoditi dari daerah Kinali dan Bonjol. Demikian juga halnya dengan Air Bangis, pintu perdagangan dari Rao dan sekitarnya yang kaya dengan komoditi emas.
Pasukan Bonjol bergerak ke pantai untuk memutuskan hubungan antara pedalaman dengan daerah pantai. Dua buah meriam yang direbut di Air Bangis, diserahkan kepada Tuanku Nan Cadiak. Bantuan itu menambah semangat Tuanku Nan Cadiak menentang kekuasaan Belanda.
Pertarungan hebat terjadi antara pasukan Belanda yang menyerang kubu pertahanan Tuanku Nan Cadiak yang terjadi selama bulan Desember 1830. Pasukan Bonjol membantu Tuanku Nan Cadiak setelah mengundurkan diri ke Manggopoh.
Pada tahun 1831, pasukan Belanda mencoba menyerang Naras dan Tujuh Koto di bawah pimpinan Jendral Michiels. Naras, sebuah kampung yang bagus terbakar oleh serangan meriam Belanda. Tuanku Nan Cadiak dan pengikutnya ingin mengungsi ke Bonjol melalui Danau Maninjau. Pada waktu pasukan Belanda mengejarnya rombongan Tuanku Nan Cadiak. Ibu, isteri dan putri Tuanku Nan Cadiak mati terbunuh. Kepala isterinya dipancung dan dipertontonkan kepada rakyat di Pariaman. Belanda mengumumkan akan memberi hadiah kepada orang yang dapat menangkap Tuanku Nan Cadiak. Dua orang putri Tuanku Nan Cadiak disandra Elout sehingga memaksanya menyerah kepada Belanda.
Setelah menyerah kepada Belanda, Tuanku Nan Cadiak datang ke Bonjol sebagai juru bicara Belanda pada tahun 1832. Tuanku Imam sangat kecewa ketika Tuanku Nan Cadiak datang sebagai juru bicara Belanda..
Beberapa bulan setelah Tuanku Imam Bonjol menyerah pada akhir tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berhasil mengadakan Kesepakatan Tandikek, hanya beberapa ratus meter dari pasukan Belanda di Bonjol.
Pertemuan itu merundingan untuk melakukan serangan serentak kepada setiap pos Belanda di seluruh Minangkabau. Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Pamansiangan dan penghulu Lawang Tanah Duo Baleh (Palembayan), negeri Danau (Maninjau), Lubuk Sikaping dan Sipisang sepakat dengan orang Alahan Panjang melancarkan serangan serentak terhadap setiap pos Belanda pada tanggal 11 Januari 1833.
Tuanku Imam dapat pula mempertemukan kedua pemimpin, Bagarsyah, raja Pagaruyung dan Sentot Ali Basyah. Tuanku Imam mengharapkan Sentot bersedia menjadi Sultan di Minangkabau. Pada saat lebaran Sentot bersama isterinya datang ke Pagaruyung. Sebagai seorang Islam, dia ingin berlebaran dan membayarkan zakat fitrahnya di Pagaruyung.
Di saat lewat pada penjagaan pos Belanda di benteng Fot van der Cappelen. Sentot Prawirodirjo yang dipanggil masyarakat Minangkabau dengan Sentot Alibasya mwenegur mereka dengan sindiran, Bagagarsyah dan semua penghulu di Pagaruyung berjanji di bawah sumpah setia (bai’at) pada Sentot bahwa mereka akan mempertahankan agama dan negeri dari serangan Belanda.
Elout sebagai Residen Sumatra’s West kust melapor kepada atasannya Gubernur Jendral di Batavia, bahwa Minangkabau telah aman dan siap untuk melakukan tanaman paksa kopi.
Ternyata seluruh Minangkabau melakukan serangan serentak, sehingga Elout, Residen Belanda, merasa dikhianati oleh Sentot. Belanda menangkap para penghulu dan pejuang di Guguk Sigandang. Kemudian Sentot Ali Basyah dan membuangnya ke Benghulu, Bagagarsyah Yang Dipertuan Kerajaan Pagaruyung dibuang ke Betawi dan meninggal dunia pada tahun 18… dan dikuburkan di Mangga Dua.
Tuanku Nan Cadiak dari Naras dikirim ke Batavia kemudian disekap dalam penjara di bawah tanah di Taman Fatahilah. Kemudian dibuang ke Cerebon dan meninggal dunia pada tahun 1851.
Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956)
Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo.
Syekh Taher Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al Minangkabawy, karena ibunya adik beradik. Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898), dan kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900.
Beliau sangat ahli di bidang ilmu falak, dan tempat berguru Syekh Muhammad Djamil Djambek. Mulai tahun 1900 itu, Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya, pernah diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher Djalaluddin dengan perguruan tinggi Al-Azhar di Kairo, dia tambahkan al-Azhari di belakang namanya.
Syekh Taher Djalaluddin merupakan seorang tertua sebagai pelopor dari ajaran Ahmad Khatib di Minangkabau dan tanah Melayu. Bahkan ia juga dianggap sebagai guru oleh kalangan pembaru di Minangkabau. Pengaruh Syekh Taher Djalaluddin tersebar pada murid-muridnya melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah ini bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, yang menjadi model Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908.
Majalah Bulanan Al-Imam memuat artikel tentang pengetahuan popular, komentar kejadian penting di dunia, terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan mendorong umat Islam betapa pentingnya memiliki sebuah Negara yang merdeka dan tidak dijajah.
Majalah ini mendorong agar umat Islam mencapai kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering mengutip pendapat dari Mohammad Abduh yang dikemukakan majalah Al-Mannar di Mesir. Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau tulisan Jawi, dan disebarkan di Indonesia meliputi tanah Jawa (Betawi, Jakarta, Cianjur, Semarang, dan Surabaya), Kalimantan (di Pontianak dan Sambas), Sulawesi (di Makassar).
Di Padang, Haji Abdullah Ahmad mencontoh bentuk dan moto Al-Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang bernama Al-Munir. Banyak masalah yang dibicarakan pada Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir.
Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan tahun 1927, namun ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda selama enam bulan, dituduh memfitnah dan menentang penjajahan melalui artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman itu. Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan tidak pernah kembali lagi ke daerah asalnya. Syekh Taher Djalaluddin meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.
Gerakan pembaruaan di awal abad ini dapat disebut sebagai gerakan pembaruan para ulama zuama, yang sesungguhnya telah diwarisi sambung bersambung dalam rantai sejarah yang berkelanjutan semenjak dari dua gerakan Paderi sebelumnya. Dapat pula dinyatakan bahwa gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad 20 di Minangkabau menjadi mata rantai dari gerakan Paderi periode ketiga.
Gerakan Paderi periode pertama, di awal abad kedelapan belas, dimulai pulangnya tiga serangkai ulama Minang (1802), terdiri dari Haji Miskin di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di Minangkabau.
Gerakan Paderi perode kedua dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan terhadap penjajahan Belanda (1821-1837), dan lahirnya piagam Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di ranah Minangkabau.
Gerakan Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan Tuanku Nan Tuo, yang kemudian berlanjut kepada Gerakan Padri di bawah pimpinan Tuanku Nan Renceh, yang kemudian sambung bersambung di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, sesungguhnya tidak menentang hukum waris berdasarkan garis ibu.
Gerakan pembaharuan yang dilaksanakan sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yang dimaksud adalah pusaka tinggi itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum, dan oleh karena itu, harta pusaka dimaksud diturunkan kepada kemenakan, dan ditempatkan pada pengawasan garis perempuan. Namun mengenai harta pencaharian, kedua gerakan itu sependapat harus diwariskan kepada anak.
Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah utusan anak kemenakannya mempelajari hukum Islam ke tanah Mekah, menyatakan pembagian tugas yang nyata antara adat dan syarak atau agama. Bahwa masalah adat dikembalikan kepada Basa dan Penghulu, sedangkan masalah agama diserahkan kepada Tuanku atau malin.
Inilah doktrin ajaran adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di ranah Minangkabau ini, berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Makkah el Mukarramah, yang umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawiy, telah ikut memberikan sumbangan bagi pencerahan pemahaman dan pengamalan syari’at Islam, dan mendorong bagi munculnya perdebatan-perdebatan umum yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut pula membukakan kesempatan bagi lahirnya berbagai jenis perkumpulan yang bertujuan memperdalam ilmu agama dan adat istiadat, serta mendorong tumbuhnya pendidikan Islam, madrasah-madrasah samapai ke nagari-nagari, dan berdiri pula berjenis organisasi pergerakan, seperti Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan meluas sampai ke semenanjung Malaya, dibawa oleh Syekh Taher Jalaluddin yang lebih banyak melaksanakan dakwahnya di tanah semenjanjung itu.
Tak kurang penting timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa tempat, biasanya membayangkan dinamika masyarakat adat dan agama di dalam membangun masyarakat di Minangkabau yang sedang mengalami perubahan, menumbuhkan keinginan baru untuk melakukan proses pemeriksaan kembali terhadap nilai-nilai kultur yang dipunyai. Ketika arah pembangunan dan perobahan sosial sedang terjadi, menuju suasana merebut kemerdekaan dan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon, maka merebut kemerdekaan menjadi wajib.
Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, sejak empat puluh tahun sebelumnya juga telah digerakkan oleh para ulama zuama dengan basis ilmu pengetahuan agama dan adat istiadat, serta bahasan-bahasan perkembangan politik di Mesir dan Turki masa itu, ikut mendorong kepada pencarian model yang sesuai dengan yang haq, dan menuntut sikap beragama yang rasional, serta menumbuh kembangkan semangat kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara.
Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu.
Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasah atau pun kerajinan desa, mulai bermunculan. Kaum pembaru pemikiran Islam berusaha mengembalikan ajaran dasar agama Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut Islam dari jumud, kebekuan dalam masalah dunia.
Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang sesungguhnya, yang menurut keyakinannya menjadi cahaya yang dapat menyinari alam ini.
Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka; mereka menolak taqlid. Ijtihad membawa kaum pembaru untuk lebih memperhatikan pendapat. Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang ideal menghadapkan Minangkabau pada pilihan-pilihan yang kadang-kadang saling bertentangan.
Model barat mungkin baik, tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-dasar agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks, memang merupakan pemecahan.
Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan, apa pula contoh yang bisa diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias menutup jalan ke dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada masalah dosa dan tidak berdosa, soal batil dan haq.
Syekh Muhammad Djamil Djambek
(1860 – 1947)
Syekh Muhammad Djamil Djambek adalah ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal abad ke-20, dilahirkan pada tahun 1860 di Bukittinggi, terkenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek lebih dikenal dengan sebutan Inyik Syekh Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak sumber yang menceritakan. Namun, yang jelas Muhammad Djamil mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru (Kweekschool).
Sampai umur 22 tahun ia berada dalam kehidupan parewa, satu golongan orang muda-muda yang tidak mau mengganggu kehidupan keluarga, pergaulan luas di antara kaum parewa berlainan kampung dan saling harga menghargai, walau ketika itu kehidupan parewa masih senang berjudi, menyabung ayam, namun mereka ahli dalam pencak dan silat.
Semenjak berumur 22 tahun, Mohammad Djamil mulai tertarik pada pelajaran agama dan bahasa Arab. Ia belajar pada surau di Koto Mambang, Pariaman dan di Batipuh Baruh.
Ayahnya membawanya ke Mekah pada tahun 1896 dan bermukim di sana selama 9 tahun lamanya mempelajari soal-soal agama. Guru-gurunya di Mekah, antara lain,adalah Taher Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak dan Syekh Ahmad Khatib. Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula Muhammad Djamil tertarik untuk mempelajari ilmu sihir kepada seorang guru dari Maroko, tapi dia disadarkan oleh gurunya.
Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal abu Qubais.
Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Djamil menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Djamil Djambek dihormati sebagai Syekh Tarekat.
Dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak, dan belajar dengan Syekh Taher Djalaluddin.
Di akhir masa studinya di Makkah, beliau sempat mengajarkan ilmu falak, yang menjadi bidang spesialisasi beliau, kepada masyarakat Sumatera dan Jawi yang bermukim di Mekah. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Sekembalinya dari Mekah, Mohammad Djamil mulai memberikan pelajaran agama secara tradisional Karena beliau memelihara dengan rapi dan teratur jambang dan jenggotnya, maka muridnya mulai menyebutnya dengan Syekh Muhammad Djamil Djambek, atau Inyik Djambek.
Murid-muridnya kebanyakan terdiri dari para kalipah tarekat. Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Djambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang.
Kemudian ia meninggalkan Bukittinggi dan kembali menjalani kehidupan parewa di Kamang, sebuah nagari pusat pembaruan Islam di bawah Tuanku nan Renceh pada abad ke-19. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau, yakni Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang. Keduanya dikenal sebagai Surau tempat mengaji dengan Inyik Djambek.
Di Kamang pula ia mulai menyebarkan pengetahuan agama untuk meningkatkan iman.
Akhirnya, ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian besar anak nagari tidak melaksanakan ajaran agama dengan sempurna bukan karena kurang keimanan dan ketaqwaannya, tetapi karena pengetahuan mereka kurang tentang ajaran Islam itu sendiri.
Ia mengecam masyarakat yang masih gandrung pada ajaran tarekat. Ia mendekati ninik mamak dan membicarakan berbagai masalah masyarakat. Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan.
Islam juga berarti kemajuan, agama Islam tidak menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan, perkembangan kehidupan dunia, dan menghormati kedudukan perempuan.
Islam adalah agama universal, yang dasar ajarannya telah diungkapkan oleh para nabi, yang diutus kepada semua bangsa (QS. 10;47;2: 164; 35:24; 40:78). Tugas mereka diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw, rasul utusan terakhir untuk seluruh umat manusia.
Cita-cita pikiran untuk memajukan umat dengan agama Islam yang demikian, hanya dapat dicapai melalui pengamalan syariat, yang terbagi kepada tauhid dan ibadat. Dalam ibadah, semuanya terlarang, kecuali yang disuruh. Jadi cara-cara beribadah telah diperintahkan. Di tradisi-tradisi baru yang tidak ada perintahnya, maka tidak dapat diterima sebagai ibadah, dan disebut bid’ah.
Di dalam kegiatan pemurnian agama, kaum pembaru menentang berbagai bid’ah yang dibedakan atas dua jenis, yaitu bid’ah menurut hukum (syar’iyah) dan dalam pemakaian bahasa (lughawiyah).
Bid’ah syar’iyah tidak dapat dibiarkan berlaku, karena itu perlu diteliti dalam segala hal, apakah yang lazim dilakukan sehari-hari di bidang agama, dengan menggunakan akal dan berpegang kepada salah satu tiang hukum (Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas). Di samping itu ada pula bid’ah dalam soal kepercayaan (bid’ah pada I’tikad), sebagaimana ada pula bid’ah pada amalan, seperti mengucapkan niyah.
Di dalam bid’ah lughawiyah dimasukkan, misalnya, mempelajari tatabahasa, mendirikan sekolah-sekolah agama, pembangunan-pembangunan menara, karena semuanya dipandang sebagai alat bantu yang disesuaikan dengan zaman untuk memenuhui perintah nabi, seperti ‘carilah ilmu’.
Islam pada masa kemajuan tidak harus berkembang sejajar dengan perkembangan inteletual, sebab ada hal yang dilarang dan disuruh, dalam batas halal dan haram, serta amat ma’ruf dan nahyun ‘anil munkar, sebagai sifat asli dari agama Islam. Agama juga mengatur hal yang bersangkutan dengan dunia. Masalah ini ada yang mengandung ciri ‘ubudiyah, dalam arti berdasarkan perintah dan bagian dari din Allah, sedangkan cara mengamalkannya bersifat duniawi. Umpamanya perintah memelihara anak yatim, menghormati orang tua, membersihkan gigi, yang pelaksanaannya sebagian besar terletak pada pilihan individu.
Kemudian sampai pula kepada persoalan yang lebih sensitif- sampai dimanakah kebebasan yang dimiliki memilih alternatif? Persoalan politik dan kemudian menyebarkan nasionalisme anti kolonial menuju Indonesia Raya tidak terlepas dari pergolakan intelektual ini.
Tidak saja masalah fikh, tetapi juga masalah tauhid harus dihadapi dengan pikiran yang terbuka. Perbedaan yang fundamental antara inovasi yang menyalahi hukum hakiki, yang bersumber Quran dan Hadits, dan pembaruan sebagai akibat dari peralihan zaman, harus dibedakan dengan tegas.
Para pelopor pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau berasal dari segala bidang profesi, di antaranya kalangan ulama (Haji Rasul), kalangan pedagang (H. Abdullah Ahmad), dan pada umumnya berhasil melepas dirinya dari tradisi yang ada, seperti Syekh Djamil Djambek, Haji Rasul, Haji Abdullah Ahmad dan Ibrahim Musa Parabek, di masa hidupnya dipandang sebagai ulama besar, tempat memulangkan segala persoalan agama dan kemasyarakatan pada umumnya.
Gerakan pembaruan pemikiran di bidang agama yang paling banyak terdengar di Sumatra Barat. Adakalanya mereka dinamakan kaum modernist atau disebut juga kaum muda.
Salah seorang di antara kaum pembaru itu adalah H.Abdullah Ahmad berkali-kali berkata, bahwa di setiap bidang boleh mempergunakan akal, yang sebenarnya adalah kurnia Tuhan, kecuali bidang agama.
Jika kepercayaan tetap merupakan penerimaan saja atas wibawa guru- atau taqlid, maka kepercayaan itu tidak ada gunanya.
Orang berakal harus pujaannya Allah dan untuk itu dipelajarinya akar-akar hukum (ushul al-fiqh). Untuk mengenalkan semua inti ajaran agama Islam ini kepada masyarakat luas diperlukan gerakan penyampaian berbentuk tabligh.
Inyik Djambek memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat, dan mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji dengan cara bertabligh, di Surau Tangah Sawah Bukittinggi, dan menjadi Surau Inyik Djambek, sampai sekarang.
Syekh Muhammad Djamil Djambek berkesimpulan bahwa ajaran agama Islam itu sebaiknya disampaikan melalui tabligh dan ceramah-ceramah (wirid-wirid) yang dihadiri oleh masyarakat banyak.
Perhatiannya ditujukan untuk meningkatkan iman seseorang. Ia mendapat simpati dari tokoh-tokoh ninik mamak dan kalangan guru Kweekschool. Bahkan ia mengadakan dialog dengan orang non Islam dan orang Cina.
Sifatnya yang populer ialah ia bersahabat dengan orang yang tidak menyetujui fahamnya, sehingga pada tahun 1908 ia mendirikan pusat kegiatan keagamaan untuk mempelajari agama yang dikenal dengan nama Surau inyiak Djambek di Tengah Sawah, Bukttinggi. Suraunya merupakan tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam.
Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatra Barat. Mengutip Ensiklopedi Islam, Syekh Muhammad Djambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu. Demikian pula kebiasaan membaca riwayat Isra Mi’raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab, digantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari, dalam satu tradisi ilmu.
Semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah, yang kemudian diikuti oleh para pembaru lainnya di ranah Minangkabau.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah, dan Syekh Muhammad Djambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia “berhadapan” dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
Syekh Mohammad Djamil Djambek kemudian menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India.
Syekh Muhammad Djambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.
Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Djambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat.
Djamil Djambek tidak banyak menulis dalam majalah Al-Munir. Djamil Djambek mempunyai pengetahuan tentang ilmu falak, yang memungkinkannya menyusun jadwal waktu sembahyang serta untuk keperluan berpuasa di dalam bulan Ramadhan. Jadwal ini diterbitkan tiap tahun atas namanya mulai tahun 1911, dan karena Inyik Djambek dikenal sebagai Bapak Ilmu Falak, beliau menerbitkan Natijah Durriyyah untuk masa 100 tahun. Walaupun masalah ini sangat dipertikaikan dengan kaum tradisionalis.
Di samping kegiatan Inyik Djambek mengajar dan menulis, beliaupun aktif dalam kegiatan organisasi masyarakat. Pada tahun 1913, ia mendirikan organisasi bersifat sosial di Bukittinggi yang bernama Tsamaratul Ichwan yang menerbitkan buku-buku kecil dan brosur tentang pelajaran agama tanpa mencari keuntungan. Beberapa tahun ia bergerak di dalam organisasi ini sampai menjadi perusahaan yang bersifat komersial. Ketika itu, ia tidak turut lagi dalam perusahaan itu.
Syekh Djamil Djambek secara formal tidak mengikat dirinya pada suatu organisasi tertentu, seperti Muhammadiyah dan Thawalib. Tetapi ia memberikan dorongan pada pembaruan pemikiran Islam dengan membantu organisasi-organisi tersebut.
Beliau tercatat sebagai pendiri dari Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), yang didirikan pada 1919 di Padang, Sumbar.
Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Djambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.
Pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H), Inyik Djambek wafat, meninggalkan pusaka besar, wirid tsulasa (setiap hari Selasa), yang tetap hidup sampai sekarang.
Beliau di makamkan di samping Surau Inyik Djambek di Tengah Sawah Bukittinggi, dalam usia 87 tahun.
Beberapa bulan setelah itu, 26 Januari 1948 (14 Rabi’ul awal 1366 H), teman akrab Inyik Djambek dalam berdakwah, yakni Inyik Syekh Daud Rasyidy (terkenal dengan sebutan Inyik Daud, ayah Buya Datuk Palimo Kayo), meninggal dunia pula di Surau Inyik Djambek di Tangah Sawah ini, ketika mengimami shalat maghrib, dan besoknya dikuburkan di samping makamnya Inyik Djambek. Itulah sebabnya sampai sekarang ini, kita dapati makam kembar di samping surau Inyik Djambek ini.
SURAU INYIK DJAMBEK WARISAN GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM MATA RANTAI GERAKAN PADERI DI MINANGKABAU
Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh pergolakan sosial dan intelektual. Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesuI panduan syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan.
Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855).
Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim golongan Padri yang “benar-benar” anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai.
Limbak Urai adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.
Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek Koto dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya.
Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir.
Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya.
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.
Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua.
Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu.
Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama.
Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan.
Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya.
Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing.
Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam agama.
Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam. Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme.
Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid. Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah.
Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu.
Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947) , Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) , dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933) .
Haji Abdul Karim Amarullah .
Haji Abdul Karim Amarullah lebih dikenal dengan nama Haji Rasul. Haji Rasul dilahirkan di Sungai Batang Maninjau pada tahun 1879, anak seorang ulama bernama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Ia mendapat pendidikan pada beberapa tempat di Minangkabau. Pada tahun 1894, ia pergi ke Mekah untuk belajar selama 7 tahun. Sekembalinya dari Mekah, ia diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo, sebagai pengakuan atas ilmunya. Kemudian ia kembali ke Mekah untuk beberapa tahun sampai tahun 1906. Selama bermukim kedua di Mekah ini, ia mulai memberi pelajaran. Murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, Bukittinggi yang kemudian menjadi salah seorang pendukung yang terpenting dari pembaruan pemikiran Islam, di Minangkabau. Ia meninggal di jakarta pada 2 Juni 1945
Haji Rasul mulai mengajar di kampungnya, Sugai Batang Maninjau, kemudian mengunjungi Padang Panjang, Matur dan Padang. Tablighnya bersifat keras, yang ditandai dengan serangan terhadap perbuatan yang tidak disetujuinya sampai soal-soal kecil sekali pun, seperti ia mengecam baju kebaya dan terbukanya rambut seorang perempuan di hadapan bukan muhrimnya. Ketika ayahnya meninggal pada tahun 1907, ia melarang diadakan kenduri yang menyebabkan kekecewaan pada anggota keluarganya. Sikapnya bermusuhan terhadap adat dan kepada ninik mamak yang membedakannya dari sahabatnya kaum pembaru lainnya seperti Syekh Djamil Djambek dan Haji Abdullah Ahmad yang ibu mereka berasal dari luar Minangakabau.
Haji Rasul mengadakan perjalanan ke luar daerah Minangkabau. Pada tahun 1915, ia bepergian ke Malaya dan ke Jawa. Di Malaya, Haji Rasul tidak disenangi oleh Sultan-Sultan serta guru agama di Malaya, karena keterikatan guru-guru agama dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional. Di Jawa, ia berhubungan dengan pemimpin-pemimpin Sarekat Islam dan Muhamma-diyah.
Haji Rasul sangat aktif dalam gerakan pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Dialah yang memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau pada tahun 1925. Suraunya di Padang Panjang tumbuh menjadi Sumatra Thawalib yang kemudian melahirkan Persatuan Muslimin Indonesia, suatu partai politik pada permulaaan tahun 1930. Ia menjadi penasehat Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) pada tahun 1920, dan memberikan bantuan mendirikan Sekolah Normal Islam di Padang pada tahun 1931.
Ia menentang ajaran komunis dengan sangat gigih pada tahun 1920-an dan menyerang ‘’Ordonansi Guru” pada tahun 1928 serta ‘’Ordonansi Sekolah Liar ‘ tahun 1932.
Dari tahun 1929 sampai tahun 1939, ia sering bepergian ke seluruh daerah di Sumatra untuk menyampaikan buah pikiran dan ajaran-ajarannya. Pada tahun 1941, ia ditahan Pemerintah Belanda dan dibuang ke Sukabumi dengan alasan bahwa kewibawaan dan kekuasaan pemerintah serta peraturan adat tidak berfunghsi selama ia bertempat tinggal di daerahnya. Haji Rasul meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 2 Juni 1945.
Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933)
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878 sebagai anak dari Haji Ahmad yang dikenal sebagai ulama dan juga seorang pedagang kecil. Ibunya berasal dari Bengkulu. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah, dan mendapat pendidikan agama di rumah dengan ayahnya. Pada tahun 1895, Abdullah Ahmad pergi ke Mekah dan kembali ke Indonesia pada tahun 1899.
Sekembalinya dari Mekah, ia segera mengajar di kota Padang Panjang. Tindakannya yang pertama dilakukannya adalah memberantas bid’ah dan tarekat. Ia tertarik pula untuk menyebarkan pemikiran pembaruan melalui publikasi dengan jalan menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan, seperti Al-Imam di Singapuran dan Al-Ittihad dari Cairo.
Pada tahun 1906 Haji Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menggantikan pamannya yang meninggal dunia sebagai guru. Dio Padang, ia mengadakan tabligh-tabligh dan pertemuan-pertemuan tentang masalah agama dan mendirikan Jamaah Adabiyah beberapa tahun kemudian. Pada mulanya jamaah ini hanaya delapan orang yang menghadiri cermahnya. Di samping itu ia memberikan ceramah-ceraman pada orang dewasa. Pengajiannya dilakukan dua kali seminggu secara bergantian dari rumah ke rumah.
Kenyataannya tidak semua anak-anak pedagang di Padang mendapat pendidikan yang sistematis. Hal ini menyebabkan Haji Abdullah Ahmad membuka Sekolah Adabiyah pada tahun 1909, dengan bantuan para pedagang ini setelah ia mengunjungi sekolah Iqbal di Singapura.
Haji Abdullah Ahmad sangat aktif menulis, malahan ia menjadi ketua persatuan wartawan di Padang pada tahun 1914. Ia mempunyai hubungan yang erat dengan pelajar-pelajar sekolah menengah di Padang dan Sekolah Dokter di Jakarta dan memberikan bantuan dalam kegiatan Jong Sumatranen Bond. Ia menjadi pendiri majalah Al-Munir yang terbit di Padang tahunn 1911 sampai tahun 1916, majalah berita Al-Akhbar tahun 1913, dan menjadi redaktur dalam bidang agama dari majalah Al-Islam tahun 1916 yang diterbitkan Sarekat Islam di Surabaya. Majalah A l-Islam yang dicetak dengan tulisan Arab Melayu (Jawi). Pananggungjawab Al-Islam adalah Oemar Said Cokroaminoto.
Pengetahuannya tentang agama sangat mendalam, yang diakui ulama-ulama Timur Tengah pada suatu konperensi khilafat di Kairo pada tahun 1926. Pengakuan itu dibuktikan dengan pemberian gelar kehormatan dalam bidang agama sebagai doktor fid- din. Haji Abdullah Ahmad meninggal dunia di Padang pada tahun 1933.
Syekh Ibrahim Musa (1882 – 19.. )
Dua orang di antara murid bekas ulama-ulama tersebut kemudian menjadi pelopor pembaruan pemikiran Islam pula. Di antaranya Syekh Ibrahim Musa dan Zainuddin Labai al-Yunusi. Mereka menyebarkan peranannya dalam mendirikan lembaga pendidikan Islam yang bersifat modern.
Setelah belajar pada beberapa perguruan, pada umur 18 tahun ia berangkat ke Mekah dan belajar di negeri itu selama 8 tahun. Ia kembali ke Minangkabau pada tahun 1909 dan mulai mengajar pada tahun 1912. kemudian ia berangkat lagi ke Mekah pada tahun berikutnya dan kembali pada tahun 1915. Saat itu ia telah mendapat gelar Syekh Ibrahim Musa atau Inyiak Parabek sebagai pengakuan tentang agama.
Syekh Ibrahim Musa tetap diterima oleh golongan tradisi, walaupun ia membantu gerakan pembaruan. Ia menjadi anggota dua organisasi Kaum Muda dan kaum Tua, yaitu Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) dan Ittihadul Ulama.
Zainuddin Labai al-Yunusi (1890- 1934).
Zainuddin Labai adalah seorang auto-didact, yang mempelajari ilmu dan agama dengan tenaga sendiri. Ia tidak pernah menamatkan pelajaran pada sekolah formal. Pengetahuannya banyak diperolehnya dengan membaca sendiri dan kemampuannya dalam bahasa-bahasa Ingegeri, Belanda dan Arab sangat membantunya. Koleksi bukunya meliputi buku-buku bermacam bidang seperti aljabar, ilmu bumi, kimia dan agama.
Enam tahun lamanya ia membantu Syekh Haji Abbas, seorang ulama di Padang Japang, Payakumbuh dalam bidang kegiatan praktis. Dalam tahun 1913, Zainuddin memilih Padang Panjang sebagai tempat tinggalnya. Ia memulai mengajar di Surau Jembatan Besi, bersama Rasul dan Haji Abdullah Ahmad.
Zainuddin Labai banyak menulis artikel dalam majalah Al-Munir. Ia lebih tertarik pada kehidupan dan kegiatan tokoh kebangsaan seperti Mustafa Kamil, pendiri partai Hizb al Wathan di Mesir, Muhammad Abduh dan Rashid Redha yang lebih banyak memperhatikan sal-soal agama. Zainuddin Labai termasuk seorang yang mula-mula mempergunakan sistem kelas dengan kurikulum teratur yang mencakup pengetahun umum seperti bahasa, matematika, sejarah, ilmu bumi di samping pelajaran agama. Ia pun mengorganisir sebuah klub musik untuk murid-muridnya, yang pada saat itu kurang diminati oleh kalangan kaum agama. Ia seorang yang produktif dalam menulis buku teks tentang fikh dan tatabahasa Arab untuk sekolahnya. Terjemahan Autobiografi Mustafa Kamil diterbitkannya dalam bentuk serial artikel pada majalah Al-Munir di Padang Panjang. Zainuddin Labai adalah seorang termuda di antara tokoh pembaru pemikiran Islam di Minangkabau dan mempunyai harapan besar untuk perkembangan selanjutnya. Ia termasuk seorang anggota pengurus Thawalib dan mendirikan pula perkumpulan Diniyah pada tahun 1922 dengan tujuan bersama-sama membina kemajuan sekolah itu.
Rupanya Allah cepat memanggilnya,. Ia meninggal pada tahun 1934 dan kegiatannya dilanjutkan oleh adiknya yang bernama Rahmah al Yunusiyah, sebagai salah seorang pendidik kaum wanita di Minangkabau.
Lembaga dan organisasi kaum pembaru
Tanggal 19 Agustus 1928, dihadiri lebih kurang 800 orang ulama dan wakil 115 organisasi. Rapat ini terjadi karena mereka risau benar-benar, bahwa kemerdekaan beragama yang telah tertanam dalam hati nuraninya akan terganggu oleh peraturan Pemerintah Belanda. Aapalagi mereka berhadapan dengan wakil pemerintah yang mempunyai jabatan tinggi.
Pada umumnya para pembicara mengemukakan pendapat disertai kata-kata kasar terhadap maksud pemerintah Belanda untuk memberlakukan peraturan di daerah mereka
Syekh Adam BB (1889 1953)
Pandeka yang Jadi Ulama
Syekh Adam BB, atas izin Allah, menghirup udara dunia 1889 di Nagari Balai balai Padangpanjang. Tanggal dan bulan kelahirannya persis sama dengan kelahiran Wihelmina, ratu Negeri Belanda yang tiap ulang tahunnya dirayakan dengan pesta rakyat di tanah jaja¬han Hindia Belanda.
Selesai sekolah desa, Adam masuk Gouvernement dan lulus dengan angka angka tinggi. Bagi Adam muda, itu saja cukuplah. Anak ke¬luarga terpandang ini kemudian memilih mendalami silat. Dasar dasar ilmu bela diri tradisional itu memang sangat diminatinya sejak kecil ketika di surau, di mana dulu ia tidur, belajar membaca al Quran dan ilmu agama.
Adam sebenarnya memperoleh kesempatan pendidikan lebih tinggi daripada kebanyakan bumiputera. Karena dialah putra Sami’un Datuk Bagindo, penghulu pucuk yang disegani dan pemutus kata pada tiap perundingan ninik mamak. Tapi Adam menampik masuk Sekolah Raja Bukittinggi. Tidak jelas benar alasannya. Yang terucap pada ayahnya hanyalah: “Saya takkan masuk Sekolah Raja, saya tak suka pakai pentalon.”
Sepanjang sepuluh tahun masa belianya, hingga usia menjelang 25 tahun, Adam berguru pada puluhan pandeka kenamaan dari berbagai aliran dan sasaran silat. Itulah pilihan jiwa muda dan jati dirinya. Dan puncaknya, Adam mematahkan perlawanan harimau dalam suatu perkelahian mencekam di tepi bukit kawasan Agam.
Sejak itu tampillah Adam yang bertubuh tinggi kekar sebagai parewa gadang. Tempramennnya tinggi. Wataknya keras dan pantang kelangkahan. Pemuda yang sehari hari berbaju gunting cina “cap kelapa” serta sarung melilit bahu ini mencuat sebagai rajo cakak. Kegemarannya main sepakbola dan musik.
Mandor Orang Rantai
Setelah merasa dewasa, ia pergi mencari untung ke Sawahlunto. Di sana ia langsung diterima bekerja di Tambang Batubara sebagai mandor “orang rantai” sebutan untuk buruh tambang yang ditang¬kap kembali setelah melarikan diri. Beberapa bulan bekerja di tambang, Adam pulang membawa segepok uang untuk diserahkan pada ibunda tercinta. “Bukan ini yang kuharapkan darimu!,” sergah sang ibu sambil mencampakkan uang pemberian anaknya.
Inilah anti klimaks keparewaan seorang Adam. Sebuah kenyataan yang memaksanya mengartikan kembali perjalanan hidupnya. Bahwa menjadi orang bagak dan bapitih bukanlah segalanya; tidak suatu kebanggaan bagi ibu, orangtua dan masyarakat pribumi yang menger¬ti pahitnya hidup dijajah.
Kesadaran ini mencuat kembali dalam diri Adam. Masa kecil di surau; mengaji dan belajar silat agar menjadi orang pandai dan berilmu adalah untuk melawan kemungkaran, membela kebenaran, orang lemah dan tertindas. Ini merupakan kesadaran kolektif masyarakat di mana Adam hidup dan dibesarkan. Kesadaran itulah yang membuat hardikan ibunya menjadi cambuk yang menyebabkan Adam luluh.
Kembali ke Surau
Tapi perasaannya tak menentu. Ia pergi meninggalkan Padangpan¬jang. Semula ia tetap bermaksud ke Sawahlunto untuk bekerja lagi. Hatinya berontak, tapi hardikan ibunya terngiang ngiang mengirin¬gi langkah gontainya menyusuri danau Singkarak. Penat berjalan, Adam terduduk di surau kecil tepi danau di kam¬pung Sumpur. Di surau itu seorang anak surau sedang membaca kitab. “Kenapa tulisan Arab tak berbaris itu bisa kau baca?, Adam ber¬tanya. “Itulah gunanya mengaji,” jawab anak itu lugas.
Adam tercenung. Lalu berlari, kembali ke Padangpanjang. Ia ingin mengaji lagi, di Surau Jembatan Besi, surau yang merupakan basis ulama Minangkabau awal abad ke 20. Adam diterima menjadi murid Syekh Abdul Karim Amrullah.
Murid tertua dan bertubuh paling gedang ini sering jadi bahan cemooh teman temannya. Inyiak Rasul, panggilan populer Syekh Abdul Karim Amrullah, juga tak kasih ampun. Bila Adam tak cepat menangkap kaji ia didamprat: “Segaek ini lambat juga mengerti….” Adam terlecut. ‘Jangan panggil aku Adam kalau tak dapat kaji,’ tekadnya. Dan memang, lepas mengaji di Surau Jemba¬tan Besi, Adam berguru pada Inyiak Daud. Syekh Daud Rasjidi baru saja pulang dari Mekah dan membuka surau di kampungnya, Balingka.
Tapi tabiat parewa Adam masih sering terlongsong walau telah mengaji dan tinggal di Balingka. Salah salah banyak orang kena kakinya. Menghadapi perangai muridnya, Inyiak Daud yang juga pandeka tahu persis. Di depan orang banyak guru yang arif itu justru membela Adam walaupun bersalah. Beberapa kali peristiwa pembelaan serupa itu membuat Adam malu dan ragu. Akhirnya ia menghadap gurunya. Ia akui bahwa dialah yang menyebabkan cakak.
Pakk! Inyiak Daud menampar muridnya. “Tahu bersalah kok tak mengaku sejak awal,” katanya berang.
Pendekatan yang diambil Inyiak Daud dalam mendidik muridnya menimbulkan hubungan guru murid yang akrab, dan kecintaan murid yang dalam terhadap gurun¬ya.
Surau Pasar Baru
Tahun 1914 Adam diantar Inyiak Daud kembali ke Padangpanjang untuk belajar ke Surau Inyiak Jaho, karena musibah galodo mempor¬ak porandakan surau Balingka hingga semua murid pulang ke kampung masing masing. Adamlah yang tetap setia menemani gurunya.
Tidak sampai setahun belajar pada Syekh Muhammad Jamil Jaho, Adam mulai merasa cukup mantap untuk membuka surau sendiri. Tahun 1916 Adam mulai merintis sebuah halaqah sederhana di Kampung Pasar Baru Padangpanjang. Di bawah pengawasan Syekh Daud Rasjidi, 1920 halaqah itu kemudian diresmikan menjadi sebuah surau, populer disebut SPB singkatan: Surau Pasar Baru. SPB tidak lain dari obsesi keulamaan dan dan kependekaran Adam. Orientasi Pendidi¬kannya ditekankan pada penanaman aqidah yang didukung dengan ilmu ilmu agama, pembinaan fisik dan mental melalui latihan silat, dilengkapi pula dengan pelajaran kesenian dan ketrampilan. Lulusan ideal surau yang diinginkan Syekh Adam BB ialah kombinasi ulama, pandeka dan jiwa seni yang mandiri dan terampil, seperti¬tergambar pada profil dirinya.
Tahun 1929 setelah masuknya sistem pendidikan moderen, SPB dikembangkan menjadi sistem klasikal, yang kemudian dinamakan Madrasah Irsyadin Naas (MIN). MIN, yang hingga kini tetap eksis, pada paruh awal abad ke 20 merupakan satu dari empat madrasah terkemuka di Padangpanjang. Berdampingan dengan perguruan Diniyah Puteri, Thawalib dan perguruan Muhammadiyah.
Dakwah Ulama yang Pandeka
Semangat anti penjajah yang tertanam kuat dalam diri Syekh Adam BB mempengaruhi perjalanan madrasah yang dipimpinnya. Ketika pemberlakuan Wilde Scholen Ordonantie oleh Kolonial, guru MIN diintimidasi dan sebagian ditangkap. Sewaktu Jepang masuk, Syekh Adam BB langsung masuk daftar hitam. Beliau dikejar kejar tentara Jepang, hingga beliau terpaksa tinggal di sebuah bukit kawasan Agam. Ketika Agresi Belanda, Syekh Adam BB menjadikan gedung MIN sebagai dapur umum dan markas perlawanan. Di sana diatur taktik untuk menghancurkan konvoi musuh.
Cara yang ditempuh Syekh Adam BB mengajak orang ke jalan Islam menggambarkan sifatnya yang konsisten, keras tapi lugas dan sederhana. Suatu kali beliau menegur seorang pemuda bagak. “Kenapa tidak shalat?,” tanyanya tajam.
“Tidak punya kain sarung, Mak Adam,” jawab sang pemuda.
“Ini sarung, shalatlah!,” tukas Syekh Adam BB sembari menyerahkan sarung yang melilit bahunya.
Suatu kali beliau diberitahu Bung Hatta, proklamator RI, bahwa banyak anak anak dhuafa di Mentawai yang dipengaruhi Missionaris. Syekh Adam BB langsung berangkat ke kepulauan masyarakat terbela¬kang itu, mengambil dan membawa 18 orang anak ke Padangpanjang untuk dijadikan anak asuh. Mereka bergabung dengan anak anak yatim dan miskin yang telah beliau tampung sebelumnya. “Anak anak itu diberi makan oleh Allah,” tukas Syekh Adam BB, setiap kali orang bertanya bagaimana ia memelihara anak anak itu. Syekh Adam BB memperlakukan anak anak asuhnya sebagaimana anak kandung sendiri. Sama makan, tempat tinggal, jatah pakaian dan keperluan lainnya.
Pada kali lain, merebak perjudian di Padangpanjang. Syekh Adam BB minta bertemu gubernur. “Tuan seorang gubernur, kenapa orang berjudi saja Tuan tak bisa melarang?!” tanyanya. Besoknya segala bentuk perjudian di Padangpanjang digrebek atas perintah guber¬nur.
Pribadi yang Mandiri
Sebagai seorang ototidak, di samping terus menambah wawasan pengetahuan, Syek Adam BB rajin mempelajari dan memratekkan macam macam kerajinan industri kecil. Itu adalah di antara cara hidup mandiri yang telah mempribadi pada dirinya. Malah sampai usia lanjut, beliau tetap produktif; berusaha tidak meminta pada orang lain untuk menghidupi diri, anak dan istri, serta anak anak asuh yang ditampungnya, bahkan untuk mengayuh jalannnya madrasah.
Sampai akhir hayatnya, keberadaan Syek Adam BB begitu berarti bagi masyarakat Padangpanjang khususnya, dan Minangkabau umumnya. Jiwa pendekarnya selaku ulama ternyata sangat diperlukan dalam masyarakat zamannya. Pada zaman penjajahan dan awal kemerdekaan, di mana banyak orang melarat sebanyak orang menindas, sebanyak perjuangan menegakkan kebenaran sebanyak itu pula kemungkaran.
Jejak jejak Syekh Adam BB hingga kini masih membekas jelas di Padangpanjang.
HMD DT.PALIMO KAYO (1905 – 1985)
Buya Datuk, Profil Tokoh Ulama dan Adat
Dalam kesejukan pagi, pada tanggal 17 Shafar 1321 H, bertepatan dengan tanggal 10 Maret 1905 di Pahambatan, Balingka, Kecamatan IV Koto (Kabupaten Agam) lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Mansur. Orang tua berbahagia yang menyambut kelahir¬an putranya kala itu adalah Syekh Daud Rasyidi dan Siti Rajab. Sebagai kepala keluarga, Syekh Daud Rasyidi sudah mengarahkan anaknya supaya taat beragama. Selain itu Syekh senantiasa beru¬paya agar semua anak anaknya antara lain; Anah, Mansur, Miramah, Sa’diah, Makmur dan Afifah agar giat belajar.
Salah seorang putranya yaitu: Mansur Daud kemudian tumbuh dalam kerangka kemungkinan yang diberikan oleh latar belakang budaya serta lingkungan keluarga di sekitarnya.
Cikal Bakal Seorang Pemimpin Muslim
Pembentuk pribadi muslim yang pengaruhnya langsung terhadap Mansur Daud sudah diberikan oleh ayahnya, yang pekerjaannya memang memberikan pengajian dan ceramah ceramah agama. Besarnya perhatian dalam keluarga terhadap pendidikan ini memacu semangat Mansur Daud untuk terus menekuni Islam.
Walaupun waktunya juga dibagi untuk kegiatan keseharian yang lainnya, tetapi, cikal bakal dirinya sebagai seorang pemimpin Muslim sudah mulai terlihat.
Usia tujuh tahun memasuki sekolah Desa di Balingka pada tahun 1912. Pendidikan ini hanya diikuti selama satu tahun. Selanjutn¬ya, beliau pindah ke Lubuk Sikaping dan melanjutkan ke Gouvern¬ment School sampai tahun 1915.
Mansur Daud meninggalkan Lubuk Sikaping, kemudian mempelajari agama Islam secara khusus di perguruan Sumatera Thawalib pada tahun 1917. Beliau langsung mendapat pendidikan dari ulama besar Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), sementara tetap mempelajari mata pelajaran agama pada Perguruan Islam Madrasah Diniyah di bawah asuhan Zainuddin Labay El Yunusi. Hampir seluruh waktunya diisi dengan mempelajari pendidikan agama Islam.
Ke Mekah dan Mengembara Semasa Muda
Usia Mansur Daud masih begitu muda ketika naik haji pada tahun 1923. Dalam usia yang belum cukup dua puluh tahun, beliau sudah menginjak kota suci Mekah serta langsung belajar agama Islam dengan Syekh Abdul Kadir Al Mandily. Salah seorang Imam Masjidil Haram itulah yang mendidik Mansur Daud selama lebih kurang satu tahun. Tetapi, lantaran adanya perang saudara di Mekah kala itu, Mansur Daud terpaksa kembali pulang ke Indonesia.
Kepulangan itu mengantarkannya kembali menuntut ilmu di perguruan Islam Sumatera Thawalib, Parabek Bukittinggi.
Selama tahun 1924, Mansur Daud mendalami agama di perguruan Islam yang diasuh oleh Ibrahim Musa Parabek. Suasana politik yang tak menentu, yakni menyebarnya pengaruh komunis ke dalam perguruan Sumatera Thawalib, membuat Mansur Daud memutuskan untuk menghin¬darinya.
Tahun 1925, Mansur Daud berangkat ke mancanegara, menuju India. Langkah ini ditempuhnya guna menghindari pengaruh komunis kala itu. Di Negeri itu Mansur Daud kembali pada dunia yang dihadapin¬ya selama ini. Beliau belajar agama di Perguruan Islam Tinggi (Jamiah Islamiyah), Locknow, India. Abdul Kalam Azad sebagai Pemimpin perguruan tersebut langsung jadi pengasuh sekaligus pengajarnya.
Selanjutnya, H. Mansur Daud melanjutkan belajar agama pada Isla¬mic College di Heydrabad, India. Dua bersaudara yang memimpin perguruan itu; Maulana Syaukat Ali dan Maulana Muhammad Ali cukup dikenal, sehingga mereka dijuluki Two Brother oleh masyara¬kat. Serupa namanya, perguruan tinggi agama Islam yang mereka pimpin juga cukup dikenal oleh masyarakat, terbukti banyak murid yang datang dari luar India. H. Mansur Daud adalah salah seorang diantaranya.
Selama lebih kurang 5 (lima) tahun, H. Mansur Daud mengembara, menuntut ilmu di India. Pengembaraanya buat sementara ke mancane¬gara usai. Beliau pulang dan sempat singgah di Malaysia. Beliau langsung ke pulau Jawa.
Periode Aktifitas Organisasi
Setiba di Jawa Haji Mansur Daud bertemu dengan sejumlah tokoh pimpinan organisasi dan politik antara lain: H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Fakhruddin. Sejak bergabung dengan beberapa tokoh itu, beliau terpacu untuk berki¬prah dalam organisasi.
Aktifitas organisasi yang telah dimulainya sekembali dari India sejak tahun 1930 diwujudkan dalam suatu kongres di Sumatera Thawalib, Bukittinggi.
Kongres di Sumatera Thawalib itu mewujudkan Persatuan Muslim Indonesia (PMI). Peranan H. Mansur Daud dapat dikatakan penting. Terbukti dari Jabatan Sekretaris umum yang dipegangnya pada PMI sejak didirikan tahun 1930. H. Mansur Daud kemudian berperan dalam membentuk partai politik Indonesia yaitu Persatuan Muslim Indonesia (PERMI).
Periode penjajahan Jepang memperlihatkan kemajuan aktifitas H. Mansur Daud. Salah satu upayanya adalah membentuk badan koordi¬nasi alim ulama Minangkabau. Badan itu, Majlis Islam Tinggi (MIT), diketuai pertama kali oleh Sykeh Sulaiman Ar Rasuli, yang lebih dikenal dengan Inyiak Canduang.
Penjajahan Jepang membuat rakyat begitu menderita. MIT seolah menjadi tempat mengadu bagi rakyat.
Jepang yang berupaya menghapus organisasi seperti Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, seolah luput mewaspadai Majlis Tinggi Islam. Tokoh ulama yang duduk dalam MIT sangat berpengar¬uh dalam sepak terjang pejuang ketika berhadapan dengan pihak Jepang kala itu.
Kiprah dalam Agama dan Adat
Sejalan dengan kekalahan tentara Jepang, dan keberhasilan Bangsa Indonesia merebut kemerdekaan membuat segenap warga ingin menda¬rmabaktikan perjuangannya. H.Mansur Daud menggiatkan kiprahnya di bidang agama lewat dakwah dan ceramah di mesjid mesjid. Muncul sebagai mubalig dan seorang tokoh Islam yang memperjuangkan hak hak rakyat kecil.
H. Mansur Daud, tetap eksis,terutama sejak M.I.T difusikan ke Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) di Yogyakarta pada bulan Februari 1946.
H.Mansur Daud cukup didengar dan dihargai pendapatnya. Didahulu¬kan selangkah, ditinggikan seranting oleh anak kemenakan. Disera¬hi posisi penting dalam adat sebagai seorang ninik mamak. Gelar adat yang kemudian dipangkunya adalah Datuk Palimo Kayo.
Posisinya dalam raad (Dewan) Nagari dimanfaatkannya untuk memu¬syawarahkan soal harta pusaka bersama ninik mamak pada 2 4 Mei 1953 di Gedung Nasional Bukittinggi. Beliau juga melakukan akti¬fitas lain dalam usaha meningkatkan dan mensejahterakan masyara¬kat khususnya di Minangkabau. Upaya yang dilakukannya meliputi; pembangunan masjid, mushalla maupun sekolah agama.
Hal terpenting, beliau sangat memperhatikan soal persatuan khu¬susnya sesama alim ulama.
Semangat dan Pengabdian
Kegiatan di bidang politik semakin membawa HMD Datuk Palimo Kayo menjadi tokoh teras melalui semangat dan pengabdian yang ia curahkan. Terbukti ketika dirinya dipercaya sebagai Ketua umum Masyumi wilayah Sumatera Tengah.
Salah satunya karyanya adalah membentuk markas Perjuangan Hizbul¬lah guna mewaspadai kembalinya penjajah, meskipun Bangsa Indone¬sia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945. Saat Masyumi mendapat tempat dengan keikutsertaan pada pemilihan umum pertama pada tahun 1955, HMD Datuk Palimo Kayo duduk di parlemen selama setahun sampai tahun 1956.
Karir politik HMD Datuk Palimo Kayo di tataran negara semakin melesat ketika pemerintah menunjuknya sebagai Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia (RI) untuk negara Irak sampai tahun 1960.
Sekembali dari Irak, mengakhiri tugas sebagai duta besar, ia menyaksikan partai politik Islam Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Antara tahun 1961 1967 HMD Datuk Palimo Kayo aktif berdakwah dan menekankan peningkatan kemakmuran umat. Dewan Dakwah Islamiyah yang diketuai Mohammad Natsir juga turut dirancang Buya Datuk sejak didirikan pada tahun 1968.
Tanggal 3 Januari 1968, beliau turut mendirikan Yayasan Rumah Sakit Islam (YARSI). Upaya yang dilakukan melalui wadah sosial serupa itu kemudian semakin melengkapi pengabdian HMD Datuk Palimo Kayo dalam memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Bidang pendidikan turut jadi perhatian beliau. Bersama sama guru agama Islam beliau melangsungkan rapat pada 17 Desember 1978. Persatuan Guru guru Agama Islam (PGAI) berupaya mengembangkan dunia pendidikan yang selama ini dipandang sangat strategis melahirkan tokoh tokoh besar.
Riwayat hidup HMD Datuk Palimo Kayo yang begitu sarat dengan segala bentuk aktifitas memang layak mendapat perhatian secara ilmiah. Sejumlah kalangan yang dekat, baik dari keluarga maupun sesama ulama sangat menghargai keberadannya. Kalangan akademik kemudian menjadikan sosoknya sebagai sumber tulisan ilmiah seka¬ligus mencermati kiprahnya sepanjang hayatnya. Pihak pihak lain yang memberikan semacam kerangka penilaian tentang eksistensinya. Mengutip Sastrawan sekaligus Budayawan AA Navis dalam tulisan Marthias D. Pandoe tentang Buya HMD Datuk Palimo Kayo, “sebagai seorang ulama yang konsekuen dengan pendiriannya walau apapun dihadangnya. Imannya kuat, tidak dapat dibeli dengan kedudukan maupun uang. Mungkin riwayat hidupnya yang penuh pengalaman itu menjadikannya tangguh”, (Kompas, 26 Juli 1981).
Kelangkaan akan keberadaan ulama sekaliber HMD Datuk Palimo Kayo kiranya jadi titik tolak untuk mengenang tokoh ulama ini. Sungguh layak riwayat hidup beliau ditulis di tingkat perguruan tinggi seperti yang telah ada berupa “Biografi”, yang disusun Linda Fauzia dalam tugas akhirnya untuk meraih sarjana, dengan anali¬sisnya; “Buya Haji Daud Datuk Palimo Kayo: Profil Seorang Ulama dan Penghulu di Minangkabau.” (Fakultas Sastra Universitas Anda¬las Padang, 1993).
Hingga akhir hayatnya, Buya HMD Datuk Palimo Kayo senantiasa teguh dalam sikap telitinya, meskipun terhadap hal sekecil seka¬lipun. Kenyataan tersebut diungkapkan oleh seorang mubalig yang giat mensyiarkan Islam H. Mas’oed Abidin. Tokoh ulama besar ini telah meninggalkan kita buat selama lamanya pada tahun 1988. Namun selama hayatnya beliau tetap memacu semangat dan militansi Islam yang tak kunjung padam.
Syekh Haji Zainuddin Hamidy (1907 1957)
Ulama Diplomat Anti Kekerasan
Syekh Haji Zainuddin Hamidy lahir pada 8 Februari 1907 di Koto Nan Ampek, Payakumbuh. Ayahnya adalah Abdul Hamid yang dikenal sebagai “orang bagak,” yakni julukan yang diberikan kepada pemuda Minangkabau yang disegani karena keberanian dan ilmu beladirinya.
Kecintaan pada Ilmu Pengetahuan
Setelah menamatkan Gouvernement di Payakumbuh, Zainuddin melan¬jutkan pendidikannya ke Madarasah Thawalib Darul Funun el Abbas¬siyah di Padang Japang. Kecintaan Zainuddin muda kepada ilmu pengetahuan tampak pada kegiatannya untuk senantiasa menuntut ilmu kapan dan di mana saja. Jika pulang kampung dalam masa libur di darul Funun, misalnya, Zainuddin mendatangi Tuangku Karuang di Batang Tabik untuk mengaji. Di Batang Tabik ini Zainuddin berke¬nalan dengan H Fachruddin HS, yang kemudian menjadi kawan yang akarab dalam perjuangannya.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Darul Funun, Zainuddin lang¬sung diminta Syekh Abbas Abdullah mengajar di madrasah itu. Namun tak lama kemudian, karena merasa ilmunya belum cukup, Zainuddin memilih melanjutkan pendidikan ke Mekah. Tahun 1927 Zainuddin berangkat ke Mekah dan belajar di Ma’had Islamy. Di perguruan yang terkenal itu Zainuddin belajar selama lima tahun.
Kembali ke Tanah Air pada 1932, Zainuddin diminta mengajar di Diniyah School. Pada masa itu Diniyah School adalah perguruan Islam terkemuka di Payakumbuh yang didirikan Engku Mudo Hamzah dan Engku Mudo Muhammad.
Kiprah di Dunia Pendidikan
Karena prestasi dan kepercayaan para pendiri Diniyah School pada Syekh Zainuddin, kepemimpinan perguruan itu kemudian diamanahkan kepadanya. Sejalan dengan idealisme keilmuan yang dituntutnya di Ma’had Islamy Mekah, nama perguruan Diniyah School diganti dengan Ma’had Islamy Payakumbuh.
Di bawah kepemimpinan Syekh Zainuddin Hamidy, Ma’had Islamy Payakumbuh berkembang dengan sangat pesat. Pada 1936 jumlah pelajar Ma’had lebih 700 orang. Melihat perkembangan murid yang menggembirakan itu, Zainuddin mengambil inisiatif untuk membangun gedung belajar yang lebih besar. Di atas tanah wakaf keluarga Dt Rajo Basa dan pembelian Zainuddin sendiri, di Koto Nan Ampek Payakumbuh, dibangunlah gedung Ma’had Islamy yang tergolong megah untuk saat itu. Malang tak dapat ditolak, begitu gedung hampir rampung, angin topan yang sangat kencang merobohkan gedung itu.
“Asa Rabbuna an yubdilana khairan minha,” ucap Syekh Zainuddin Hamidy dengan ikhlas, semoga Allah memberi gantinya dengan yang lebih baik.
Meski gedung porak poranda namun pendidikan jalan terus. Dalam masa yang sulit itu tekanan dari pihak kolonial datang pula. Belanda memasukkan coro (kakitangan) dengan menyamar menjadi murid di Ma’had Islamy untuk memata matai guru guru yang berbi¬cara menentang kolonial.
Semua cobaan itu dihadapi Zainuddin Hamidy dengan sabar dan tawa¬kal. Beliau mencoba terus berbuat. Bersama Nashruddin Thaha dan kawan lainnya, Zainuddin ikut mempelopori berdirinya Training College Payakumbuh.
Bidang pendidikan memang telah menjadi fokus perhatian utama Syekh Zainuddin Hamidy dalam perjuangannya. Selain mengajar dan memimpin Ma’had Islamy, Syekh Zainuddin juga mengajar di SMI, PGA dan SGHA Bukittinggi. Beliau juga ikut mengasuh Training College.
Untuk meningkatkan pengetahuan agama murid muridnya, Syekh Zai¬nuddin Hamidy membuka pengajian halakah. Pengajian secara berkala itu diikuti guru guru dan murid murid kelas terakhir Ma’had Islamy. Pengajian ini terutama berorientasi pada rangsangan dan gairah berpikir.
Syekh Zainuddin Hamidy dikenal luas sebagai ahli agama, hafidz, ahli hadits, pengarang di samping sebagai tokoh pendidikan. Sering pula beliau disebut sebagai politikus, organisator, pemi¬kir yang berpandangan jauh ke depan dan berpikir jernih. Beliau orang yang konsekuen, tegas dan ramah. Sebagai pengarang beliau menerjemahkan dan menulis beberapa buku, antara lain, terjemahan Al Quran Kariem, terjemahan Shahih Bukhari, terjemahan Hadits Arbain, Musthalah Hadits dan Kitab At Tauhid.
Lima Sekawan
Pada tahun 1930 an di Payakumbuh muncul Kelompok Lima Serangkai. Kelompok ini terdiri dari tokoh tokoh terkemuka yang secara rutin bertemu dan berdiskusi tentang masalah masalah umat dan langkah langkah perjuangan. Kelompok lima itu tediri dari Syekh Zainuddin Hamidy, Fachruddin HS Dt Majo Indo, Arisun St Alamsyah, H Nasrud¬din Thaha dan H Darwis Taram Dt Tumanggung. Lima sekawan inilah kekuatan yang mengerjakan perlawanan terhadap kaum penjajah. Dari lima orang tokoh itu Syekh Zainuddin Hamidy lebih dituakan dalam memutuskan masalah masalah yang pelik, karena ilmu beliau lebih dalam.
Bersama teman temannya, Syekh Zainuddin Hamidy mendirikan PERMI di daerah 50 Kota. PERMI kemudian berubah menjadi MIT, dan ak¬hirnya menjadi MASYUMI hingga wafat beliau.
Pada masa penjajahan Jepang, Syekh Zainuddin menjadi Gyu Gun Ko En Bu. Di zaman awal kemerdekaan Syekh Zainuddin menjadi ketua Komite Nasional Indonesia Kab. 50 Kota, di samping aktif dalam Panitia Dana Emas Perjuangan. Dalam perjuangan fisik, Syekh Zainuddin Hamidy juga mengambil peranan penting. Beliau mengge¬lorakan semangat jihad para lasykar pejuang yang dikirim ke fron pertempuran. Ketika Agresi Belanda II Syekh Zainuddin Hamidy ikut perang gerilya. Saat itu Ma’had Islamy ditutup.
Diutus Menghadap Soekarno
Pada tahun 1950, Syekh Zainuddin Hamidy kembali membuka Ma’had Islamy. Ketika itu terjadi ketegangan dan konflik antara pemerin¬tah daerah dengan Pemerintah Pusat. Dalam hal ini Syekh Zainuddin berperan dalam upaya penyelesaian. Di sini tampaklah bahwa bahwa beliau orang yang moderat dan anti kekerasan.
Tahun 1957 Syekh Zainuddin Hamidy diutus Pemerintah Daerah untuk berunding dengan Presiden Soekarno di Istana Negara, Jakarta. Kembali dari perundingan itu, suatu kali beliau berkata pada isterinya:
“Usul awak kurang dapat perhatian Presiden Soekarno, barangkali akan terjadi perang saudara. Tapi awak jangan melihat hendaknya.”
Pagi hari Jumat tanggal 29 Maret 1957, Syekh Haji Zainuddin Hamidy meninggal dunia, berpulang ke Rahmatullah. Kepergian beliau begitu tiba tiba, tanpa menderita sakit. Bahkan pada malamnya beliau masih menghadiri pertemuan bersama Kol M Simbolon dan tokoh tokoh lain di Gedung Pertemuan Payakumbuh.
Masyarakat kehilangan seorang ulama modern, pembaharu, serta seorang idealis yang hidup sederhana. Hamka bertutur:”…Ustadz Syekh Haji Zainuddin Hamidy adalah seorang yang sederhana. Perca¬kapan dari mulutnya hanya satu satu, tidak banyak. Bila orang bercakap tentang yang tidak berfaedah, ia hanya diam. Jika orang bertanya, dijawabnya dengan senyum. Senyum yang mengandung seribu satu arti…”
Hamka
Biografi amka
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Daftar Karya Buya Hamka
1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.
2. Si Sabariah. (1928)
3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.
4. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).
5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).
6. Kepentingan melakukan tabligh (1929).
7. Hikmat Isra’ dan Mikraj.
8. Arkanul Islam (1932) di Makassar.
9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.
10. Majallah ‘Tentera’ (4 nomor) 1932, di Makassar.
11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.
12. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.
13. Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.
14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
15. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
16. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.
17. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.
18. Tuan Direktur 1939.
19. Dijemput mamaknya,1939.
20. Keadilan Ilahy 1939.
21. Tashawwuf Modern 1939.
22. Falsafah Hidup 1939.
23. Lembaga Hidup 1940.
24. Lembaga Budi 1940.
25. Majallah ‘SEMANGAT ISLAM’ (Zaman Jepun 1943).
26. Majallah ‘MENARA’ (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.
27. Negara Islam (1946).
28. Islam dan Demokrasi,1946.
29. Revolusi Pikiran,1946.
30. Revolusi Agama,1946.
31. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.
32. Dibantingkan ombak masyarakat,1946.
33. Didalam Lembah cita-cita,1946.
34. Sesudah naskah Renville,1947.
35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.
36. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.
37. Ayahku,1950 di Jakarta.
38. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.
39. Mengembara Dilembah Nyl. 1950.
40. Ditepi Sungai Dajlah. 1950.
41. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.
42. Kenangan-kenangan hidup 2.
43. Kenangan-kenangan hidup 3.
44. Kenangan-kenangan hidup 4.
45. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
46. Sejarah Ummat Islam Jilid 2.
47. Sejarah Ummat Islam Jilid 3.
48. Sejarah Ummat Islam Jilid 4.
49. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.
50. Pribadi,1950.
51. Agama dan perempuan,1939.
52. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.
53. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).
54. Pelajaran Agama Islam,1956.
55. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.
56. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.
57. Empat bulan di Amerika Jilid 2.
58. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.
59. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.
60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
61. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
62. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.
63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.
64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.
65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.
66. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.
67. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).
68. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).
69. Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.
70. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.
71. Himpunan Khutbah-khutbah.
72. Urat Tunggang Pancasila.
73. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.
74. Sejarah Islam di Sumatera.
75. Bohong di Dunia.
76. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).
77. Pandangan Hidup Muslim,1960.
78. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.
79. [Tafsir Al-Azhar][1] Juzu’ 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Sukarno.
Aktivitas lainnya
Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, 1936-1942
Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956
Memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), 1950-1953
Tafsir Al-Azhar Online
Rujukan
Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka, terbitan Yayasan Nurul Islam, cetakan kedua 1979.
Pranala luar
(id) Ceramah Buya Hamka
(id) Info lain tentang Hamka
(id) Tafsir Hamka Online
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat,
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Meninjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia HAMKA mencecah 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA telah mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Kerjaya HAMKA bermula sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai pensyarah di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau dilantik sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustapo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau dilantik sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jawatan apabila Sukarno memberi kata dua sama ada menjadi pegawai kerajaan atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslim Indonesia (Masyumi).
HAMKA lebih banyak belajar sendiri dan melakukan penyelidikan meliputi pelbagai bidang ilmu pengetahuan seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik, sama ada Islam ataupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-’Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggeris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Freud, Toynbee, Jean Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. HAMKA juga rajin membaca dan bertukar-tukar fikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Chokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fakrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang pemidato yang handal.
HAMKA juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau menyertai pertubuhan itu mulai tahu 1925 bagi menentang khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cawangan Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, HAMKAmendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makasar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Jogjakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Julai 1957, Menteri Agama Indonesia iaitu Mukti Ali melantik HAMKA sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 kerana nasihatnya diketepikan oleh kerajaan Indonesia.
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia.
Karena dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
HAMKA pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormat Doktor Honoris Causa, Universiti al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universiti Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada kerajaan Indonesia.
HAMKA telah pulang ke rahmatullah pada 24 Julai 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Dr. H. Mohammad Natsir (1908 – 199).
Bumi Minangkabau, tepatnya Kampung Jambatan Baukia Alahan Pan¬jang, negeri dingin di balik Gunung Talang Solok menjadi saksi kelahiran Pembawa Hati Nurani Ummat, tokoh yang kemudian mendu¬nia, pemikir dan pemimpin politik , Mohammad Natsir, pada 17 Juli 1908. Putra Sutan Sari Pado dan Khadijah yang kemudian menjadi tokoh nasional bahkan aset internasional dari berbagai segi: agama, politik, sosial budaya, ilmu pengetahuan, ketelada¬nan, pemikiran, bahkan menjadi mata air kajian ilmiah dalam berbagai seminar, simposium, untuk skripsi, thesis serta diserta¬si para doktor berbagai disiplin ilmu.
Masa kanak kanak beliau lalui di tengah pergolakan pemikiran para tokoh besar pembaharu dari Ranah Minang. Belajar di pendidikan dasar Sekolah Belanda, Natsir kecil dengan tekun mengikuti gebra¬kan para tokoh besar di negerinya. Dari usia delapan tahun (1916) sampai 15 tahun (1923) Natsir remaja menggali kekayaan para ulama itu di HIS Adabiyah Padang dan Madrasah Diniyah Solok.
Natsir aktif dalam Jong Islamiten Bond Padang sewaktu melanjutkan pendidikan ke MULO Padang tahun 1923. Masih dalam jalur pendidi¬kan Belanda, beliau melanjutkan pendidikan ke AMS (A2) di Ban¬dung. Kesempatan tersebut membawa beliau berkenalan dengan ustaz A. Hassan, tokoh PERSIS (Persatuan Islam) garis keras, yang membimbing beliau melakukan studi tentang Islam. Dengan ustaz ini beliau mengelola majalah “Pembela Islam” sampai tahun 1932.
Natsir secara formal mengikuti pendidikan barat di sekolah sekolah Belanda. Beliau selesaikan pendidikan Al Gemene Middel School di Bandung dalam kajian Kesusastraan Barat Klasik.
Sebenarnya beliau punya kesempatan memperoleh besiswa untuk melanjutkan sekolahnya ke Leiden pada pendidikan yang lebih ting¬gi. Namun beliau memilih mendalami kajian keagamaan melalui ustaz A. Hassan yang dikenal dengan ulama yang berpaham radikal dan jadi sesepuh organisasi sosial keagamaan. Beliaupun menolak tawaran bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda dan lebih tertarik menekuni dunia pendidikan. Obsesi itu membuat ia mendirikan Yayasan Pendidikan Islam di Bandung sekaligus menjabat Direktur dari tahun 1932 1942.
Keluasan wawasannya mencuat kepermukaan setelah dapat menguasai beberapa bahasa asing sebagai alat untuk menggali buku buku tokoh kelas dunia. M. Natsir mulai berkecimpung dalam dunia politik setelah beliau menjadi anggota PII (Partai Islam Indonesia) pada awal tahun 40 an, memimpin organisasi yang terkenal radikal untuk bumi pancasila. Majelis Al Islam A’la Indunisiya (MIAI) semakin berkiprah setelah kepemimpinannya. Bahkan dalam masa penjajahan Jepang ( 1942 1945) sesepuh dari berbagai kalangan ini masih sempat jadi kepala bagian kodya Bandung sekaligus merangkap sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta. Di samping itu dalam masa Pemerintah Jepang terbentuklah Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) di bawah kepemimpinannya. Kiprah politiknya semakin menanjak semenjak beliau tampil jadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tahun 1945 1946 dan menjabat anggota DPR sementara di tahun 1948 menjabat sebagai Menteri Penerangan. Karier politiknya sampai ke puncak ketika ia dilantik menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia. Peranan beliau amat menentukan dalam penyelamatan Republik Prok¬lamasi di tahun 50 an. Mosi Integrasinya adalah manuver politik yang mengantarkan dia menjadi Perdana Menteri pada usia 42 tahun.
Ibarat roda, kariernya sebagai politikus mengalami pasang surut setelah bergesekan dengan dinding kekuasaan yang waktu itu bera¬tribut Demokrasi Terpimpin yang menjadikan angin segar bagi Komunis untuk menyibakkan sayapnya di persada ini. Di tengah gelombang politik yang semakin mengempas ia terdampar di pantai oposan yang digerakkan oleh para Panglima militer di berbagai daerah dengan wujud PRRI ( Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Dengan hadirnya beliau di barisan oposisi ini, kom¬plik semakin merebak hingga agresi fisik dan bentrokan senjata tidak bisa dihindari.
Dengan tuduhan subversif, Natsir terpaksa meringkuk di belakang terali besi selama 7 tahun, tanpa proses peradilan. Setelah mengalami karantina politik di Batu Malang Jawa Timur, dengan perpanjangan tahanan politik berakhir tahun 1966 di Rumah Tahanan Militer (RTM), Jakarta. Natsir menghirup udara kebebasan setelah Presiden Soekarno jatuh dari kursi kepresidenannya.
Sebagai seorang da’i, panutan umat ini tampil meyuarakan nurani umat kendatipun kadang kadang dengan mempergunakan nama samaran.
A. Moechlis adalah nama samaran yang sangat produktif di majalah “Pembela Islam” awal tahun 1930 an. Ia tampil meneriakkan berba¬gai masalah umat dalam berbagai forum yang berkaitan dengan hubungan inter dan antara umat beragam, politik, kebudayaan, ekonomi dan berbagai dilema yang tersentuh oleh realitas yang kadang kadang sempat menyentuh hal hal sensitif sehingga ia harus berhadapan dengan pemegang kekuasaan.
Di samping sebagai Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) sejak tahun 1967 sampai akhir hayatnya, kepiawaiannya sebagai seorang pemikir dan aktivis dakwah tidak hanya di negeri tercinta ini akan tetapi cendikiawan kawakan ini juga mempunyai reputasi dalam harokah (pergerakan) Islam International. Aktif sebagai anggota Muslim League Makkah (1969 1993), berkiprah di Majlis A’la Al Alamy li Masjid di Makkah kemudian menjabat wakil presi¬den World Moeslim Congress (Muktamar Alam Islami) Karachi di Pakistan (1967 1993). Iapun ikut membidani The International Islam Charitable Foundation, Kuwait dan Oxford Center For Islamic Studies di Inggris.
Menyoroti pola pikirya yang multi dimensi menyebabkan ia harus dilihat dari perspektif yang setaraf dengan beberapa pemikir Islam terkemuka di abad ini seperti Hasan Al Banna, Said Hawa, Said Quth Al Maududi dan tokoh reformis lainnya.
Sebelum melambaikan tangan selamat tinggal pada 6 Februari 1993 di Jakarta, tokoh kawakan ini masih sempat meninggalkan jejak perjuangan berupa khazanah intlektual dan buku buku yang bernuan¬sa dakwah seperti Fiqhud Dakwah, Islam dan Akal Merdeka, Fungsi Dakwah Perjuangan, Tugas Ulama, Kapita Selecta dan masih banyak lainnya.
Di Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) beliau juga meninggalkan aset kekayaan ilmiah dan ruhiyah yaitu dengan hadirnya majalah Serial Media Dakwah, Suara Mesjid, Serial Khutbah Jum’at, majalah “Sahabat” untuk anak anak serta Bulletin Dakwah sebagai penyiram hati umat yang gersang dengan siraman rohani.
Tokoh yang tidak pernah absen dalam sejarah ini telah memberi warna tersendiri dalam dunia perpolitikan di negara iklim tropis ini sehingga ia jadi tempat bertanya dari berbagai kalangan. Pak Natsir memang punya peran khusus yang tidak bisa dilupakan oleh sejarah, umat Islam, bangsa dan negara. Selamat jalan Pak Natsir semoga sepak terjangmu mampu membangkitkan ghirah pemuda negeri ini hingga mampu berdiri menantang dan menyuarakan suara kebenar¬an. Di sini telah menunggu para natsir natsir muda untuk melan¬jutkan perjuanganmu yang harum semerbak.
Pesan Terakhir Mohd. Natsir Untuk Masyarakat Sumatera Barat.
MENINGKATKAN TARAF HIDUP MEMULAI DARI BAWAH
Tanggal 19 September 1992 di Simpang Empat Pasaman di resmikan pemakaian gedung RSI Ibnu Sina dan Masjid Assyifa’. Bapak M. Natsir selaku Ketua Dewan Dakwah Pusat memberikan kata sambutan yang tidak bisa disampaikan beliau secara langsung karena beliau tengah dirawat di RSCM Jakarta. Dan pidato tersebut dibacakan oleh: Bapak H. Buchari Tamam Sekjend DDII Pusat. Mengingat sangat relevannya pidato dimaksud dalam menghadapi kesiapan generasi muda untuk menatap masa depan yang penuh tantangan dan persain¬gan di Era Globalisasi, redaksi mengganggap penting mengetengah¬kan kembali pokok pokok pikiran Pak Natsir yang selengkapnya sebagai berikut (Redaksi):
Tadinya saya berharap akan dapat turut hadir dalam pertemuan yang berbahagia ini, tetapi kesehatan saya jualah yang menghalan¬ginya.Tiga setengah dasawarsa yang lalu, saya mendapat kesempatan menjelajahi daerah Pasaman ini dari timur sampai ke barat, dari selatan ke utara, memasuki desa desa.
Saya sempat melihat secara langsung bagaimana potensialnya daerah ini. Tanahnya yang subur, lautnya yang kaya ikan dan padang rumputnya yang luas untuk peternakan. Begitu juga perut buminya yang kabarnya juga mengandung bahan bahan tambang berharga.
Dalam pembicaraan waktu itu demngan pemuka pemuka masyarakatnya yang ramah tamah, saya mendapat kesan, bahwa mereka walaupun mengetahui kekayaan alamnya yang demikian, belum melihat bagaima¬na jalan memanfaatkannya untuk meningkatkan taraf hidup mereka dari kehidupan yang masih serba tradisional selama ini, yang pada hakikatnya masih dalam taraf dibawah garis kemiskinan.
Hal ini terbayang dalam ungkapan rasa hati mereka yang dirangkum dalam seuntai pantum populer yang pernah saya dengar di daerah ini. Kalau saya tak salah, berbunyi: “Simpang Ampek kampuang sabalah sasimpang jalan ka Kinali Buah labek tangkoinyo lamah dijambo ta’ sampai jari”. Memang begitulah.
Buah lambek tangkainyo lamah, gambaran dari kekayaan alam Pasa¬man. Sedangkan di jambo ta’ sampai jari, usaha dan upaya untuk meraih kekayaan itu, bukan tidak ada tapi kesanggupan dan alatnya belum mencukupi.
Upaya ini sebenarnya sudah terjawab.
Dari awal Dewan Dakwah sudah berkeinginan untuk ikut membekali masyarakat Pasaman dengan manusia yang berkualitas fisik dan mental, lahir dan batinnya.
Demikianlah, pada awal 1975, berangkatlah serombongan Dewan Dakwah Sumbar atas anjuran Dewan Dakwah Pusat, diantaranya almar¬hum Mazni Salam dan kawan kawan. Lalu merundingkan dengan yang Mulia Syekh Haji Mohammad Yunus Tuanku Sasak (almarhum), juga dengan pemuka pemuka masyarakat dan pemerintah setempat yang kesemuanya memberikan sambutan positif.
Waktu itu lah Inyiek Sasak beserta Ummi, mewakafkan langsung sebidang tanah beliau di Kampar yang terletak di samping sekolah PGA dan surau beliau sendiri, di tempat mana telah didirikan sebuah poliklinik Ibnu Sina. Dan sesudah itu menyusul pula didir¬ikan poliklinik Ibnu Sina di Panti. Seiring dengan pembangunan poliklinik poliklinik itu, beberapa masjid sebagai laboratorium dakwah telah pula dibangun di daerah daerah transmigrasi dan perkampungan penduduk asli seperti di Kinali, Rambah. Sungai Baramas dan lain lain.
Sekarang ini tujuh belas tahun pula telah berlalu pengalaman pengalaman yang di dapat dari perkembangan masyarakat selama ini, biar yang terjadi di daerah akibat pembauran penduduk asli dengan pendatang pendatang, atau pelajaran dan pengalaman yang didapat di luar daerah; agaknya telah lebih mematangkan kita untuk menya¬but era pembangunan bagi meningkatkan taraf hidup kita, terutama di desa desa.
Kita garap dari bawah. Pertama, mempersiapkan rakyat yang sehat fisik mentalnya, sebagai disabdakan Rasulullah yang artinya: Orang mukmin yang kuat, lebih baik dari pada orang mukmin yang lemah. (Hadist Riwayat Ibnu Majah). Kedua, membekali masyarakat, terutama generasi mudanya dengan ilmu dan keterampilan, sains dan teknologi, kata orang sekarang yang belajar dari bawah.
Selanjutnya, membangun masjid daan rumah sakit untuk pembinaan rohani dan fisik masyarakat dan merintiskan pendidikan keterampi¬lan bagi generasi muda.
Ini adalah kelanjutan dari rintisan rintisan sebelum ini sebagai¬mana dikatakan tadi.
Satu hal yang perlu kita ingat pula, bahwa setiap usaha usaha kemasyarakatan seperti yang kita lakukan ini, akan berjalan lancar dan berhasil baik dan merata kalau didukung seluruh rakyat bersama sama pemerintah di bawah bimbingan pemuka pemuka masyar¬akat yang di daerah ini disebut Tungku Tigo Sajarangan: ninik mamak, alim ulama dan cadiek pandai.
Kalaulah hal yang demikian dapat kita wujudkan, apa yang kita cita citakan berupa kemakmuran lahir bathin yang merata di daerah kita ini, akan cepat menjadi kenyataan.
Insya Allah.
Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Jakarta, 19 September 1992
Wassalam
ttd
Mohammad Natsir
Ket.
DR. Mohammad Natsir, putra Sumatera Barat, yang lahir di Alahan Panjang Jembatan Berukir, beliau adalah seorang pemikir, negara¬wan, ulama besar, dan tokoh Islam yang punya reputasi dunia, tokoh yang pernah memainkan peranan yang sangat penting dalam panggung politik Indonesia, berpulang kerahmatullah pada hari Sabtu 6 Februari 1993 pukul 12.10 Wib di RS Cipto Mangunkusumo, Jakar¬ta dalam usia 85 tahun.
Riwayat Hidup Ringkas
Dr Mohammad Natsir
17 Juli 1908, lahir di kampung Jambatan Baukia, Alahan Panjang, Sumatera Barat.
Pendidikan:
1916 1923 Holland Inlandsche School di Solok/Padang, Madrasah Di¬niyah di Solok
1923 1927 melanjutkan ke Mulo Padang
1927 1930 Algemene Middelbare School, Westers Klasieke Afdeling (AMS A2) Bandung
1927 1932 Meneruskan studi tentang Islam pada Persatuan Islam Bandung
1931 1932 Kursus guru diploma LO
Kemasyarakatan dan Pemerintahan:
1928 1932 Ketua Jong Islamiten Bond Bandung
1932 1942 Direktur Pendidikan Islam Bandung
1940 1942 Anggota Dewan Kabupaten Bandung
1942 1945 Kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung (Bandung Syia¬kusyo)
1945 1946 Anggota KNIP
1946 1949 Menteri Penerangan RI
1949 1958 Ketua Umum Partai Masyumi, Selaku Ketua Fraksi Masyumi dalam DPR RIS. Pada waktu itu mengajukan mosi untuk kembali ke Negara Kesatuan RI yang kemudian dikenal dengan mosi Integral Natsir dan kawan kawan, yang diterima secara aklamasi oleh DPR RIS
1950 1951 Perdana Menteri RI
1950 1958 Anggota Parlemen RI
1956 1958 Anggota Konstituante RI
1958 1960 Anggota PRRI
1960 1962 Dikarantina di Batu (Jawa Timur)
1962 1966 Ditahan di RTM/Keagungan Jakarta
1967 Vice President World Muslim Congress (Markas di Kar¬achi)
1969 Ketua Yayasan Dewan Da’wah Islamiyah, Jakarta
1969 Anggota Muslim World League (Rabithah Alam Islamy) Mekkah
1976 Anggota Majlis A’la Al Alamy lil Masajid (Dewan Mesjid Sedunia) bermarkas di Mekkah
1980 Menerima Penghargaan di bidang pengkhidmatan kepada Islam dari “King Feisal Foundation”, Riyadh
5 5 1980 Menandatangani Petisi 50
1985 Anggota Dewan Pendiri The International Islamic Kharit¬able Foundation, Kuwait
1986 Anggota Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London, Inggris, Anggota Majelis Umana’ International Islamic University Islamabad, Pakistan
17 8 1989 Bersama K H Masykur mendirikan Forum Ukhuwah Islamiyah
PEMIMPIN DUNIA TERKEJUT
erita wafatnya Bapak DR. Mohamad Natsir cukup mengejutkan. Tidak hanya dirasakan oleh para da’i di lapangan dakwah, juga oleh para politisi dan para pemimpin dunia. Takeo Fukuda, Mantan Perdana Menteri Jepang, beralamat di 4 – 4 – 3 Shimbashi Minato Ku Tokyo, mengirimkan ucapan belasungkawa dari Tokyo bertanggal 8 Pebruari 1993 sebagai berikut,
Kepada
Yang Mulia
Keluarga besar Dr. Muhamad Natsir
di Jakarta,
Kata Belasungkawa,
Dengan sedih kami menerima berita kehilangan besar dengan meninggal dunianya DR. MOHAMAD NATSIR.
Ketika menerima berita duka tersebut terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima, karena kita kehilangan pemimpin dunia, dan pemimpin besar dunia Islam.
Peranan beliau masih sangat diperlukan dalam mengkordinasikan dunia yang stabil.
Saya banyak belajar dari beliau ketika beliau berkunjung ke Jepang disaat saya menjabat Menteri Keuangan. Beliaulah yang meyakinkan kami di Jepang tentang perjuangan masa depan pemerintahan orde baru di Indonesia yang bersih dan sejahtera, bersamaan dengan cita-cita beliau untuk menciptakan dunia Islam yang stabil, adil sejahtera dengan kerjasama Jepang.
Kini beliau sudah tiada. Walaupun keberadaan beliau masih sangat kita perlukan, tetapi Tuhan telah mengambil kembali beliau untuk beristirahat.
Dengan penuh kesedihan izinkan saya atas nama kawan-kawan beliau di Jepang menyampaikan Kata Belasungkawa atas kepergian teman kami pemimpin dunia yang disegani, Doktor Muhamad Natsir.
Kami yakin kepergian beliau dengan ketenangan karena telah banyak murid-murid beliau yang setia diharapkan meneruskan perjuangan suci beliau.
Kami yang berduka cita,
Takeo Fukuda.
Bersama-sama tokoh ummat yang secita-cita Mohamad Natsir mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Pebruari 1967. Pengabdian di bidang dakwah ini bukan semata dalam makna simbol tetapi secara substantif dan komprehensif baik lisan, tulisan dan amaliah sosial bil hal dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Mohamad Natsir ditengah-tengah Ibu Badan Penyantun Rumah Sakit Ibnu Sina Yarsi Sumbar di Padang, ketika kunjungan ke Sumbar. Mohamad Natsir menyempatkan melihat perkembangan Rumah Yatim Budi Mulia di Ranah Padang. Beliau memang menjadi pemimpin tempat bertanya dari berbagai kalangan.
Memang Dewan Da’wah banyak menghidupkan dakwah Islam pada masyarakat suku terasing dan daerah terisolir serta di pemukiman transmigrasi. Untuk keperluan pergerakan dakwah ini, Mohamad Natsir tidak pernah lelah untuk menggembeleng kader-kader Islam dengan sangat ikhlas, agar selalu berjuang untuk kemulian dan ketinggian Islam.
Mohamad Natsir mengganggap kader pemimpim tak bisa dicetak hanya dalam satu malam.
Pemimpin tidak bisa dicetak oleh kursus, tidak ada universitas pemimpin, dan tidak pula ada ijazah pemimpin. Pemimpin tidak bisa di SK kan. Pemimpin tumbuh di lapangan, setelah berinteraksi dengan tantangan di dalam masyarakat. Pemimpin harus lahir dari kandungan ummat itu sendiri. Lahir dari lapangan. Mohamad Natsir percaya bahwa kader ummat dalam jumlah yang terbatas tetap ada. Para pemimpin umat lebih banyak hadir tanpa dibesar-besarkan dan gembar gembor. Pemimpin itu harus berakar ke bawah dan berpucuk ke atas. Inilah pemimpin yang diidamkan masyarakat. Proses itu lahir sendiri dalam suatu perjalanan sejarah.
Mohamad Natsir dengan para du’at yang melanjutkan gerakan dakwah di bidang kesehatan dan pendidikan di Sumbar dan Riau
Calon-calon pemimpin diuji oleh keadaan dan tantangan dalam masyarakatnya. Ujian itu ada yang baik dan ada yang buruk. Ujian atas kebaikan misalnya mendapat kesenangan harta dan pangkat. Bila seorang pemimpin lulus dari berbagai ujian kehidupan akan punya berlipat kekuatan dan berdampak poisitif yang tinggi. Sebaliknya bila gagal, maka yang menanggung derita adalah diri, keluarga dan masyarakat. Inilah arti sebuah ujian, bertalian keistiqahaman seorang pemimpin atau pendakwah di medan dakwah.
Sebaliknya, ketika ada ujian terhadap keburukan misalnya penderitaan atau kekurangan harta, mesti harus dapat dihadapi dengan keteguhan hati dan tidak pernah sesaatpun lepas dari naungan dan ma’unah dari Allah SWT.
Maka, yang akan beruntung adalah diri sendiri, disamping itu keluarga dan juga umat ikut berbahagia. Bila seorang pemimpin gagal menghadapi segala penderitaan, dan sempat menggadaikan diri demi secuil kesenangan, maka yang akan menderita pertama sekali adalah diri yang akan ditinggalkan umatnya dan tidak terlalu mengganggu keluarga dan lingkungan. Hal itu disampaikannya pada acara syukuran 80 tahun Natsir yang dilaksanakan rekan dan sahabat pada 17 Juli 1988.
Mohamad Natsir yang pernah diberi gelar penghormatan Doktor Kehormatan oleh salah satu Univeristas di Malaysia tak pernah sepi dari perjuangan kepentingan bangsa Indonesia dan izzul Islam wal Muslimuun diseluruh dunia. Beliau mendapat julukan dari umat sebagai, «hati nurani dan pemandu ummat».
Sepanjang hanyatnya Mohamad Natsir telah menghasilkan karya tulis di dalam berbagai aspek pemikiran. Karya tulisnya yang sudah diterbitkan sebanyak 60 buah, diantaranya ;
1. Fiqhud Dakwah, (Jakarta: DDII, t.t.) Cet. IV.
2. Surat-surat Mohamad Natsir dari tanggal 17 Juli-15 Agustus 1958. (T.T. : T.P., t.t.)
3. Bahaya Takut, Jakarta : Media Dakwah, 1991.
4. Capita Selecta I, dihimpunkan oleh D.P. Sati Alimin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Cet. III.
5. Capita Selecta II, dihimpunkan oleh D.P. Sati Alimin, (Jakarta: Pustaka Pendis, 1957).
6. Capita Selecta III, (Naskah Belum Diterbitkan).
7. Fiqhud Dakwah, Djedjak Risalah dan Dasar-Dasar Dakwah, Malaysia : Polygraphic Press, 1981.
8. Selamatkan Demokrasi Berdasarkan Jiwa Proklamasi dan UUD 1945, (T.T.: Forum Silaturrahmi 45, 1984).
9. Islam dan Akal Merdeka, (Jakarta: Media Dakwah, 1988), Cet. III.
10. Azaz Keyakinan Kami. (T.T.).
11. Islam sebagai Dasar Negara, (T.T. : Pimpinan Fraksi Masyumi dalam Konstituante, 1957).
12. Revolusi Indonesia, (Bandung: Pustaka Jihad, T.T.). 13. Demokrasi di Bawah Hukum, (Jakarta: Media Dakwah, 1407/1987), Cet. I.
13. Pendidikan, Pengorbanan Kepemimpinan, Primordialisme, dan Nostalgia, (Jakarta: Media Dakwah, 1987), Cet. I.
14. Normalisasi Konstitusional, (Jakarta: Yayasan Kesadaran Berkonstitusi, 1990).
15. Islam di Persimpangan Jalan, T.T.
16. Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusioanl, T.T.
17. Mempersatukan Umat, (Jakarta: CV Samudra, 1983), Cet. III.
18. Dunia Islam dari Masa ke Masa, (Jakrta: Panji Masyara¬kat, 1982).
19. Islam sebagai Ideologi, (Jakarta: Penyiaran Ilmu, T.T.).
20. Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pusaka, 1988).
21. Percakapan antara Generasi, Pesanan Perjuangan Seorang Bapak, (Malaysia: Dewan Pustaka Islam, 1991).
22. Agama dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam, (Medan:T. P, 1951).
23. Some Observations Concerning the Role of Islam in National and International Affairs, (Ithaca New York : Departement of Far Eastern Studies, Cornell University, 1954), Penerbitan XVI.
24. The Role of Islam in the Promotion of National Resil¬ience, (Jakarta: T.P., 1976).
25. Membangun di Antara Tumpukan Puing dan Pertumbuhan, (Djakarta : Kementerian Penerangan RI, 1951).
26. Marilah Shalat, Jakarta : Media Dakwah, 1981.
27. Mencari Modus Vivendi antara Umat Beragama di Indonesia, (Jarta: Media Dakwah, 1983).
28. Asas Keyakinan Agama Kami,(Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah, 1984).
29. Bahaya Takut, (Jakarta: Media Dakwah, 1991).
30. Kumpulan Khutbah Idul Fithri/Adhha, (Jakarta: Media Dakwah,1978).
31. Kumpulan Khutbah Hari Raya, (Jakarta : Media Dakwah, 1975).
32. The New Morality, (Surabaya: Perwakilan DDII, 1969).
33. Tinjauan Hidup, Widjaja, Djakarta, 1957.
34. Kom Tot Het Gebed (Marilah Shalat), (Jakarta: Media Dakwah, 1981).
35. Keragaman Hidup Antar Agama, Djakarta : Hudaya, 1970.
36. Hidupkan Kembali Idealisme dan Semangat Pengorbanan, Djakarta : Bulan Bintang, 1970.
37. Gubahlah Dunia dengan Amalmu, Sinarilah Zaman dengan Imanmu, Djakarta : Hudaya, 1970.
38. Kubu Pertahanan Mental dari Abad ke Abad,(Surabaya: T.P., 1969).
39. Tauhid untuk Persaudaraan Universal, (Jakarta: Suara Masjid, 1991).
40. Hendak ke mana Anak-anak Kita Dibawa oleh PMP,(Jakarta: Panji Masyarakat, 1402 H.).
41. Islam dan Akal Merdeka,(Tasikmalaja: Persatoen Islam bg. Penjiaran, 1947).
42. Islam Mempunyai Sifat-sifat yang Sempurna untuk Dasar Nega ra, (Jakarta: T.P., 1957).
43. Pandai-pandailah Bersyukur Nikmat, (Jakarta: Bulan bintang, 1980).
44. Dakwah dan Pembangunan,(Bangil: Al-Muslimun, 1974).
45. Tolong Dengarkan Pula Suara Kami,(Jakarta: Panji Ma¬syarakat, 1982).
46. Buku PMP dan Mutiara yang Hilang,(Jakrta: Panji Masyar¬akat, 1982).
47. Di Bawah Naungan Risalah, (Jakarta: Sinar Hudaya, 1971).
48. Ikhtaru Ihdas Sabilain, Addinu wa la al-Dinu, (Jeddah: Al-dar al-Saudiyah, 1392 H.).
49. Islam sebagai Ideologi, ( Jakarta : Penyiaran Ilmu, t.t.).
50. Islam dan Kristen di Indonesia, (Bandung: Pelajar Bulan Sabit, 1969).
51. Pancasila akan Hidup Subur Sekali dalam Pangkuan Islam, (Bangil: T.P., 1982).
52. Cultur Islam, (Bandung: T.P., 1936).
53. Dari Masa ke Masa,(Jakarta: Yayasan Fajar Shadiq, 1975).
54. Pandai-pandailah Bersyukur Nikmat,(Jakarta: Bulan Bintang, 1980).
55. Bersama H.A.M.K. Amarullah, Islam Sumbergia Bahagia, (Bandung: Jajasan Djaja, 1953).
56. Dengan nama samaran A. Moechlis, Dengan Islam ke Indonesia Moelia, (Bandung: Persatuan Islam, Madjlis Penjiaran, 1940).
57. Agama dan Negara dalam Persfektif Islam (Kumpulan Karangan), Penyunting, H. Endang Saifuddin Anshari dan LIPPM (Jakarta: 1409-1989, belum diterbitkan /masih monograph).
58. Asas Keyakinan Agama Kami, (Jakarta: DDII, 1982).
59. Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusional, (Jakarta: TP, 1985).
60. World of Islam Festival dalam Persepektif sejarah (Jakarta : Yayasan Idayu, 1976).
Bertimbang terima dengan generasi yang akan menerima tongkat patah tumbuh hilang berganti, untuk melanjutkan usaha pembangunan Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Yarsi Sumbar dalam Musyawarah di Padang.
Di Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Mohamad Natsir juga meninggalkan asset kekayaan ilmiah dengan hadirnya majalah Serial Media Dakwah, Suara Mesjid, Serial Khutbah Jum’at, majalah Sahabat untuk anak-anak serta Bulletin Dakwah sebagai penyiram hati umat yang sedang gersang rohani.
Pemikiran beliau masih tetap hidup ditengah umat, dibaca dan ditelaah oleh setiap generasi secara sambung bersambung. Bapak Mohamad Natsir telah meninggalkan pesan-pesan dakwah yang tidak akan kering menyirami setiap insan pendakwah di medan dakwah sepanjang masa. Berpuluh khazanah intelektual dan ratusan artikel yang bernuansa dakwah telah ditulis beliau. Belum sempat diterbitkan. Sungguhpun kini beliau telah dipanggil kehadirat Allah, namun pemikiran beliau masih tetap hidup ditengah umat, dibaca dan ditela’ah oleh setiap generasi secara sambung bersambung “Harimau mati meninggalkan belang, manusia pergi meninggalkan amal yang baik juga”.
Sebagai insan beliau telah dipanggil kehadirat Allah, pada hari Sabtu tanggal 6 Pebruari 1993 pukul 12.10 WIB bertepatan dengan 14 Sya’ban 1413 H di Ruang ICCU RSCM Jakarta. Dimakamkan di TPU Karet 7 Pebruari 1993 siang, dibawah deraian air mata dan siraman air hujan.
GSelamat jalan Bapak Mohamad Natsir. Dibelakang bapak telah menunggu Natsir muda melanjutkan perjuanganmu yang harum semerbak. “Harimau mati meninggalkan belang, manusia pergi meninggalkan amal yang baik juga”.
Beberapa Rangkuman
Bila kita mengamati dari perkembangan budaya di Minangkabau, sesungguhnya gerakan pembaruan pemikiran syarak dan adat di ranah Minang, terlihat bahwa peredaran masa sejarah social budaya Minangkabau, selalu mengalami perubahan dalam kurun waktu 50 hingga 100 tahun, dengan orientasi membangun nagari, dan ranah.
1. Setiap muncul perubahan atau gerakan reformasi, sering sekali berakibat kepada makin berkurangnya peran penghulu adat, dan melemahnya pagar-pagar adat, termasuk ulama zuama, alim ulama cerdik pandai suluh bendang di nagari.
2. Sampai akhir penjajah Belanda, masyarakat adat tampaknya berorientasi pada tiga pola sosial budaya. Tradisional adat, Islam dan barat. Namun traidisi adat kian menciut sehubungan golongan Islam modernis lebih menyesuaikan diri pada pola budaya barat seperti yang telah berlaku pada beberapa daerah belahan dunia, seperti di Mesir dan Timur Tengah saat ini.
3. Mulai pendudukan Jepang golongan orientasi barat mulai kehilangan arah ketika mereka melihat bahwa bangsa timur ternyata tidak kalah hebat dari barat. Sebagai bangsa mereka kembali menoleh ke pusaka nenek moyangnya, adat kebiasaan dan kekuatan nilai-nilai luhur yang ditinggalkan.
4. Pada awal kemerdekaan, dan bahkan pada masa reformasi kini, ada kecenderungan untuk tugas dan kewajiban penjagaan dan pengamalan syarak (agama Islam) kepada umumnya dikembalikan kepada pemerintahan negara melalui penerbitan perda-perda tentang adat, sehingga kelihatan bahwa masyarakat adat kehilangan kearifan dan kewenangan di dalam menetapkan tindakan sesuai dengan hak konstutusional adat mereka. Dengan demikian berakibat pada peran elit golongan ulama dan pemuka adat yang selama ini sangat penting mengangkat harkat bangsa mulai mengendor.
5. Reaksi terhadap kebijaksaan pemerintah pusat yang sentralistik, sungguh telah menyadarkan seluruh komponen elit politik Minangkabau di kampung dan di rantau untuk menampilkan identis dirinya yang Minangkabau, dengan melahirkan pemikiran-pemikiran baru, pentingnya kompilasi adat dan syarak di Minangkabau, di masa ini dan masa datang.
Padang, 5 Pebruari 2008 M/ 27 Muharram 1429 H
DAFTAR BACAAN DAN SUMBER INFORMASI
1. AA Navis. “Bukit Marapalam”. Padang: Universitas Andalas, 1991.
2. Andi Asoka. “Sumpah Satie Bukit Marapalam, Antara Mitos dan Realitas” (merupakan bab IV dari laporan Penelitian “Sejarah Perpaduan Antara Adat dan Syarak di Sumatera Barat, kerjasama Fakultas Sastra Unand dengan Pemda Tingkat I Sumatera Barat, 1991).
3. Andi Asoka, Zulqaiyim, Sabar. “Stratifikasi Sosial Minangkabau Pra Kolonial”. Padang: Pusat Penelitian Universitas Andalas, 1991/1992.
4. Azwar Datuk Mangiang. “Piagam sumpah satie Bukik Marapalam”. Makalah Seminar. Arsip pribadi tertanggal 16 Juli 1991.
5. Christine Dobbin. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847. Jakarta: INIS, 1992.
6. Damsar. “Implementasi Kritis Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah di Tengah Masyarakat Majemuk di Sumatera Barat: Suatu Tinjauan Sosiologis”.
7. Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
8. H.B.M. Letter. “Proses Bersenyawanya Adat dan Syarak di Minangkabau”. Padang, Universitas Andalas, 1991.
9. Mochtar Naim. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984.
10. Muhammad Radjab. Sistem Kekerabatan di Minangkabau. Padang: Center for Minangkabau Studies Press, 1969.
11. Ratno Lukito. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS, 1998.
12. Syafnir Abu Nain. “Sumpah Satie di Bukit Marapalam, Perpaduan Antara Adat dengan Syarak”. Padang: Universitas Andalas, 1991.
13. Syaifullah SA.”Implementasi Kritis Adat Basandi Syara`, Syara` Basandi Kitabullah di Tengah Masyarakat Majemuk di Sumatera Barat (Tinjauan Sosial Budaya)”.
14. Makalah Seminar dan Lokakarya Agama dan Civil Society oleh PUSAKA Padang tanggal 21 Juni 2003.
15. Zaiyardam Zubir. “Sumpah Satie Bukit Marapalam: Tinjauan Terhadap Pengetahuan Sejarah Masyarakat”, Makalah pada Seminar Sehari Sumpah Satie Bukit Marapalam dan Perpaduan Adat dengan Agama di Minangkabau. Padang: Universitas Andalas, 31 Juli 1991.
DI MANA TERSIMPANNYA ASLI NASKAH TIB
Oleh, Suryadi
Raba’a, 04 Oktober 2006 / Al-Arba’a, 11 Ramadan 1427 H
Sampai sekarang sudah banyak publikasi ilmiah mengenai Perang Paderi, misalnya studi Muhammad Radjab (1958), Christine Dobbin (1983), dan Rusli Amran (1981, 1985), belum lagi puluhan artikel yang terbit di berbagai jurnal ilmiah terbitan dalam dan luar negeri. Studi-studi tersebut banyak merujuk kepada sumber-sumber primer yang kebanyakan ditulis oleh pemimpin-pemimpin militer, komandan-komandan lapangan, dan juga pegawai swasta kolonial Belanda yang, langsung atau tidak, pernah terlibat dalam Perang Paderi. Ini dapat dikesan, misalnya, dalam publikasi terbaru mengenai Perang Paderi oleh sejarawan militer G. Teitler dalam bukunya Het Einde van de Padrie-oorlog Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837; Een Bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi sumber] (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 2004) yang mengungkapkan 4 sumber primer mengenai perang tersebut, yaitu: “De Luitenant Generaal, Kommissaris Generaal van Nederlandsche-Indië J. van den Bosch aan den Luitentant Kolonel Adjudant J.H.C. Bauer bij aankomst te Padang, den 13 October 1833, no.354″ (hlm.23-25); “Over het attaqueren van versterkte linien en kampongs” (hlm.27-39); “Rapport omtrent den staat van zaken ter Westkust van Sumatra in Januari 1836 ingediend door de 1e Luitenant Adjudant Steinmetz, hem opgedragen bij besluit van den kommandant van het leger, 13 november 1835 no.4″ (hlm.41-56), dan; “Journaal van de expeditie naar Padang onder de Generaal-Majoor Cochius in 1837 Gehouden door de Majoor Sous-Chief van den Generaal-Staf Jonkher C.P.A. de Salis” (hlm.59-183).
Minggu, 24 Juni 2007
Tuanku Imam Bonjol
Nama aslinya adalah Muhammad Sahab yang dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Ia lahir di Tanjung Bunga Sumatera Barat di tahun 1772.
Ia banyak belajar soal agama dari orang-orang ulama di Sumatera Barat dan akhirnya ia menjadi seorang guru agama di Bonjol. Sebagai tokoh ia cukup disegani. Disini ia menyebarkan paham Paderi.
Di tahun 1821 Belanda dengan bala bantuannya menyerang kaum Paderi untuk menguasa daerah Sumatera Barat. Tuanku Imam Bonjol memimpin pertarungan ini dan akhirnya Belanda kewalahan dan terpaksa mengadakan perjanjian Masang tahun 1824 yang mengakui bahwa Tuanku Imam Bonjol sebagai penguasa daerah Alahan Panjang. Namun perjanjian ini dilanggar oleh Belanda dan peperangan kembali berkobar.
Sebagian demi bagian daerah tersebut jatuh ke tangan Belanda. Daeran Tuanku Imam Bonjol bertambah sempit dan terkurung oleh daerah-daerah Belanda. Tahun 1832 Bonjol berhasil diduduki oleh Belanda, tetapi beberapa bulan kemudian Paderi direbut kembali. Belanda menyerang Tuanku Imam Bonjol berkali-kali tapi selalu gagal. Lalu Belanda mengadakan perdamaian namun Tuanku Imam Bonjol mencurigainya.
Kurang lebih tiga tahun kemudian Belanda mengepung dan Bonjol kembali direbut tangan Belanda. Tanggal 16 Agustus 1837. Tuanku Imam Bonjol berhasil meloloskan diri dan berjuang ditempat lain.
Tahun 1837 Tuanku Imam Bonjol diundang untuk perundingan, namun taktik licik Belanda ini berhasil menangkap Tuanku Imam Bonjol dan dibuang ke Cianjur Jawa Barat, lalu ke Ambon dan berakhir di Lotan dekat Manado. Ditempat inilah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 Nopember 1864 dan dimakamkan disana. (jag)
TUANKU TAMBUSAI PEJUANG MELAYU RIAU
NAMA beliau turut disentuh dalam kertas kerja saya pada seminar oleh keluarga Rao atau Rawa di Raub, Pahang dan artikel Syeikh Muhammad Murid Rawa, disiarkan Utusan Malaysia, bertarikh 19 Mac 2007.
Tidak ramai memahami bahawa ulama dan pahlawan ini telah menyemaikan benih anti penjajah. Beliau ikut dalam peperangan Imam Bonjol di Sumatera Barat. Akhirnya terpaksa hijrah ke Negeri Sembilan dan meninggal dunia di situ. Wujud persamaan dengan Raja Haji berperang melawan Belanda bermula di Riau melalui Linggi, Rembau dan lain-lain di beberapa tempat dalam Negeri Sembilan akhirnya tewas di Melaka sebagai seorang syahid fi sabilillah. Oleh kerana Tuanku Tambusai meninggal dunia di Negeri Sembilan sedikit sebanyak tentu beliau telah menyemaikan benih berjuang kepada bangsa Melayu di Negeri Sembilan khususnya dan Semenanjung umumnya yang dijajah oleh Inggeris pada zaman itu.
Sejarah adalah penting perlu kita kaji dan perkenalkan kepada masyarakat luas. Ketika saya menghadiri seminar yang diadakan oleh keluarga Rao atau Rawa di Raub, Pahang, Ahad, 18 Mac 2007 M/28 Safar 1428 H yang lalu, di luar acara rasmi Tuan Mohd. Said bin Haji Mohd. Razi, Pengerusi dan Ketua Projek, Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Selangor menghadiahkan kepada saya sebuah buku berjudul, Sejarah Negeri Selangor, Dari Zaman Prasejarah Hingga Kemerdekaan, diterbitkan tahun 2005.
Manakala saya baca Perutusan Menteri Besar Selangor dan Kata Pengantar Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Selangor, saya simpulkan bahawa Kerajaan Negeri Selangor telah mengeluarkan dana yang besar untuk melakukan penyelidikan. Termasuk beberapa orang panel penulis ke tempat-tempat di Indonesia yang ada hubungan dengan Selangor. Saya berkesimpulan bahawa hampir semua tokoh, sama ada di Malaysia atau sebaliknya Indonesia termasuk Tuanku Tambusai, dan lain-lain mempunyai hubungan yang sangat erat.
Bahkan sejak lama serumpun Melayu sejagat selalu bekerjasama dalam gerakan dakwah Islam, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Jadi tidak hairanlah Tuanku Tambusai berkemungkinan sebab-sebab tertentu terpaksa berpindah dari Sumatera (beliau beroperasi di Minangkabau dan Riau) ke Negeri Sembilan.
PENDIDIKAN
Bermacam-macam ramalan sewaktu anaknya yang dinamakan Muhammad Shalih dilahirkan kerana pada waktu itu terjadi hujan ribut disambut kilat, guruh-petir sabung-menyabung. Tetapi kerana Imam Maulana Qadhi seorang alim yang terpelajar, yang faham akidah Islam beliau tolak sekalian ramalan yang bercorak khurafat secara bijaksana.
Bayi tersebut dipersembahkan kepada Duli Yang Dipertuan Besar Raja, Permaisuri Duli Yang Dipertuan Besar Raja berkata, “Kita doakan apabila dia alim nanti menjadi suluh dalam negeri. Kalau dia seorang berani menjadi pahlawan. Sekiranya dia kaya menjadi penutup malu. Sekiranya dia menjadi cerdik bijaksana adalah penyambung lidah untuk kebenaran dan keadilan.” (Rokan Tuanku Tambusai Berjuang, H. Mahidin Said, cetakan kedua, hlm. 30).
Oleh sebab ayahnya seorang Imam Tambusai dan seorang alim sudah pasti Muhammad Shalih mendapat pendidikan awal dan asas daripada ayahnya sendiri. Sungguhpun ketika Muhammad Shalih meningkat dewasa beliau dihantar keRao yang lokasinya berdekatan dengan Tambusai. Setelah mendapat pendidikan Islam di Rao dan Bonjol beliau lebih dikenali dengan nama “Faqih Shalih”.
Menurut tradisi di daerah, apabila seseorang itu menguasai ilmu fikah maka dia digelar dengan “Faqih”. Ini bererti Muhammad Shalih sejak muda lagi telah diakui oleh masyarakat sebagai seorang yang alim dalam bidang ilmu fikah. Sudah menjadi lumrah dalam dunia dari dulu hingga kini ada saja raja atau umara (pemerintah) yang sepakat dengan ulama. Yang inilah yang dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w. Ada pula antara umara yang tidak sepakat dengan ulama. Ulama yang masih muda bernama Faqih Shalih yang tersebut diriwayat memang bertentang dengan raja yang memerintah ketika itu.
Walau bagaimanapun Faqih Shalih meminta nasihat kepada dua orang ulama. Yang pertama ialah Tuanku Imam Bonjol (nama yang sebenarnya ialah Peto Syarif). Yang kedua ialah Tuanku Rao (nama yang sebenarnya dipertikai pendapat). Kedua-duanya menasihatkan supaya Faqih Shalih pergi haji ke Mekah. Sewaktu di Mekah, Faqih Shalih sempat memdalami ilmu di sana. Di antara ulama yang sedaerah dengannya (yang saya maksudkan berasal dari persekitaran Minangkabau, Tapanuli dan Riau) di antaranya ialah Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi an-Naqsyabandi dan lain-lain. Beliau ini termasuk murid Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dipercayai Faqih Shalih selama berada di Mekah sempat belajar kepada ulama yang berasal dari Patani itu.
Sebagaimana tulisan saya dalam kertas kerja seminar di Raub, Pahang bahawa sukar menjejaki yang bernama Muhammad Shalih itu, dalam zaman yang sama ada Muhammad Shalih bin Muhammad Murid Rawa dan ada pula Faqih Shalih sedang Tuanku Rao tidak diketahui nama sebenarnya. Ada pendapat bahawa Tuanku Rao seorang guru pada Faqih Shalih. Ada kemungkinan Tuanku Rao adalah orang tua (ayah Faqih Shalih).
Setelah kembali dari Mekah, Faqih Shalih lebih dikenali “Haji Muhammad Shalih”. Dan selanjutnya dalam Perang Imam Bonjol atau Perang Paderi, beliau lebih dikenali sebagai “Tuanku Tambusai” selanjutnya digunakan nama ini. Sudah menjadi sejarah perkembangan dunia bahawa sama ada disukai atau pun tidak, peperangan bila-bila masa boleh terjadi. Agama Islam bukanlah agama yang menganjurkan peperangan tetapi jika ada usaha-usaha agama selainnya menodai Islam maka konsep jihad memang sudah menjiwai hampir seluruh individu Muslim. Hal ini adalah hampir sama dengan jiwa kebangsaan individu sesuatu negara atau sesuatu bangsa bahawa hampir setiap individu dalam sesuatu negara adalah tidak suka negaranya dijajah.
Memperjuangkan sesuatu negara atau bangsa telah menjiwai setiap penduduk dunia sama ada yang beragama Islam dan agama-agama lainnya termasuk orang yang tidak beragama sekalipun. Oleh sebab Belanda telah menjajah Minangkabau, Sumatera Barat, maka adalah wajar rakyat bertindak melawan penjajah itu apatah lagi yang datang menjajah itu tidak seagama pula.
Tuanku Tambusai dan kawan-kawan bersamanya bergabung dalam satu wadah yang dinamakan “Kaum Paderi” yang dipimpin oleh Peto Syarif yang kemudian terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Menurut buku, 101 Pahlawan Nasional, Departemen Sosial Republik Indonesia bahawa “Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai bekerjasama dalam perjuangan tetapi tidak bererti yang satu membawahi yang lain kerana mereka merupakan tokoh-tokoh yang otonom.” (hlm. 517).
PERANG PADERI
Bunga api Perang Paderi mulai bertaburan pada tahun 1803 yang dihidupkan oleh Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Tiga Belas Koto dan Haji Piobang dari Tanah Datar. Kemunculan Tuanku Tambusai dengan pasukannya di bahagian utara terutama sekitar daerah Hulu Sungai Rokan menyebabkan Tuanku Imam Bonjol dapat bertahan dari serangan Belanda lebih lama kerana pasukan Tuanku Imam Bonjol posisinya di bahagian tengah. Taktik dan strategi perang diatur dua bahagian oleh Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai. Tuanku Rao melalui Padangsidempana dan Tuanku Tambusai melalui Padanglawas, Gunung Tua, bilah Panai berhimpun di Sipiruk. Pada mulanya Belanda telah menguasai Bonjol pada bulan September 1832 akhirnya terpaksa keluar pada Januari 1833 akibat serangan Kaum Paderi yang diperanani oleh Tuanku Tambusai.
Dalam perang melawan penjajah Belanda itu di antara jasa besar Tuanku Tambusai, beliau dapat menyatupadukan tiga etnik iaitu Minangkabau/Rao, Melayu dan Mandailing. Bahawa mereka bersatu tekad dan semangat bumi pusaka bukan milik bangsa penjajah. Bumi ini adalah kepunyaan bangsa kita yang beragama Islam. Membela agama Islam dan tanahair adalah wajib. Menang dalam peperangan bererti mencapai kemerdekaan. Jika mati dalam perjuangan adalah mati syahid. Menang bererti beruntung. Jika mati pun beruntung juga. Orang yang tidak mengenal bangsa, tanahair dan Islam agamanya, yang tiada perjuangan itulah yang sebenar-benar rugi pada hakikatnya. Apabila kita menoleh zaman lampau etnik yang tersebut mendiami daerah yang sangat luas, yang pada masa ini terbahagi dalam tiga daerah iaitu; daerah Sumatera Barat majoriti penduduknya ialah Minangkabau, daerah Riau Daratan majoriti penduduknya ialah Melayu dan daerah Sumatera Utara majoriti penduduknya ialah Batak dan yang beragama Islam mempunyai nama tersendiri iaitu Mandailing.
Daripada rakaman ini kita dapat membayangkan bahawa Tuanku Tambusai mempunyai kehebatan atau kekuatan yang tersendiri sehingga beliau dapat menyatupadukan etnik dalam bumi yang demikian luas itu. Setelah banyak mengapai kemenangan dan keberhasilan perjuangan, Tuanku Tambusai menjadikan pusat perjuangan, pentadbiran dan pertahanan di Dalu-Dalu (sekarang dalam daerah Riau Daratan). Bertahan sampai tahun 1838 Tuanku Tambusai masih tetap bertahan sehingga Belanda tidak dapat masuk ke Inderagiri Hulu (Riau Daratan). Tuanku Tambusai adalah seorang ulama dan pahlawan yang berpendirian keras tidak mahu berunding dengan pihak penjajah Belanda. Beliau faham benar bahawa berunding dengan pihak penjajah Belanda bererti menyerah diri atau terperangkap dengan umpan lazat yang disediakan pemburu.
Sudah banyak contoh yang beliau bandingkan seumpama Tuanku Imam Bonjol sendiri terkorban bukan sebagai syahid di medan peperangan tetapi adalah tertipu kelicikan pihak penjajah Belanda. Tuanku Tambusai berpendirian terus berjuang sekiranya tidak berhasil hijrah ke Negeri Sembilan beliau memilih jalan terakhir iaitu mati sebagi syahid lebih utama daripada berunding apatah lagi menyerah kepada pihak musuh.
Pendirian keras Tuanku Tambusai seperti tersebut itu ada orang yang tidak menyetujui dan ramai pula yang menyetujuinya. Jika kita teliti sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia secara keseluruhan pendirian Tuanku Tambusai itu ada benarnya. Kerana hampir semua pemimpin yang mahu berunding dengan penjajah Belanda adalah merugikan pemimpin pejuang. Yang untung adalah pihak Belanda sendiri. Semua pemimpin yang menerima perundingan ditangkap akhirnya dibuang keluar dari negeri asalnya. Peristiwa Tuanku Tambusai dapat kita bandingkan dengan peristiwa dunia antarabangsa sekarang ini, ada negara yang tidak menerima perundingan dengan Amerika seperti Iran tentang isu nuklear. Ada negara menerima perundingan tetapi tidak mudah menerima tipu helah Amerika seperti Korea Utara. Iraq akhirnya menerima perundingan. Apa jadinya? Hanyalah merugikan Iraq sendiri menjadi negara yang dijajah oleh Amerika dan sekutu-sekutunya.
Pengorbanan tenaga, harta dan pemikiran Tuanku Tambusai adalah besar, kecuali jiwa dan raganya saja dapat berhijrah ke Negeri Sembilan. Peristiwa beliau hampir serupa dengan gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam perang Patani melawan pencerobohan Siam bahawa beliau hijrah ke Pulau Duyung Kecil, Terengganu. Hijrah seseorang tokoh atau ulama bukan bererti lari tetapi bertujuan menyusun taktik dan strategi untuk mencapai kemenangan yang diredai Allah di dunia dan akhirat.
Dengan tidak menafikan perjuangan Tuanku Tambusai beliau telah diberi gelaran, ‘Pahlawan Nasional Republik Indonesia’ dengan SK. No. 071/TK/Tahun 1995, Tanggal 7 Ogos 1995.
اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِنُوْرِ قُدْسِكَ وَ عَظَمَةِ طَهَارَتِكَ وَ بَرَكَةِ جَلاَلِكَ مِنْ كُلِّ عَافَةٍ وَ عَاهَةٍ وَ مِنْ طَوَارِقِ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ إِلاَّ طَارِقًا يَطْرُقَ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَانُ
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan cahaya kesucian-Mu dan keagungan-Mu dari segala kebencian dan gangguan serta dari segala kejahatan yang datang baik di waktu malam maupun di waktu siang, kecuali yang datang dengan kebaikan wahai Yang Maha Pengasih.
أَنْتَ غِيَاثِي فَبِكَ أَغُوْثُ وَ أَنْتَ مَلاَذِي فَبِكَ أَلـُـوْذُ وَ أَنـْتَ عِيَاذِي فَبِكَ أَعُوْذُ.
Engkau Maha Penolong, maka kepada-Mu lah aku memohon pertolongan, Engkau tempat berlindung, maka kepada-Mu lah aku berlindung, Engkau lah yang menemani, maka dengan Mu lah aku berteman.
يَا مَنْ ذَلـَّتْ لَهُ رِقَابُ الْجَبَابِرَةِ وَ خَضَعَتْ لَهُ أَعْنَاقُ الفَرَاعِنَةِ، أَعُوْذُبِكَ مِنْ خِزْيِكَ وَ كَشْفِ سَتْرِكَ وَ اْلإِنْصِرَافِ عَنْ شُكْرِكَ.
Wahai Yang Maha Kuasa, yang telah menghinakan hamba yang sombong, dan yang telah menaklukkan hamba yang angkuh, aku berlindung kepada-Mu dari menghinakan-Mu, dan membuka-buka rahasia-Mu serta berpaling dari mensyukuri nikmat-Mu.
أَنَا فيِ حِرْزِكَ لَيْلَي وَ نَهَارِي وَ نَوْمِي وَ قَرَارِي وَ ظَعْنِي وَ أَشْفَارِي.
Aku dalam tempat-Mu yang kokoh pada waktu malam-Ku, siang-Ku, pada waktu tidur-Ku, waktu diam-Ku, waktu pagi-Ku dan perjalanan-Ku.
ذِكْرُكَ شِعَاِري وَثَنَائِكَ دِثَارِي
Mengingat-Mu adalah pakaianku dan menyanjung-Mu adalah selimut-Ku.
لاَإِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، تَعْظِيْمًا لِوَجْهِكَ، وَ تَكْرِيْمًا لِسُبْحَانِكَ، أَجِرْنِى مِنْ خِزْيِكَ وَ مِنْ شَرِّ عِبَادِكَ، وَاضْرِبْ عَلَيَّ سُرَاِدقَاتِ حِفْظِكَ، وَ أَدْخِلْنِى بِرَحْمَتِكَ فيِ حِفْظِ عِنَايَتِكَ، وَ عُدْليِ بِخَيْرٍ يَاأَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ.
Tiada Tuhan selain engkau, karena mengagungkan wajah-Mu dan memuliakan kesucian-Mu, jauhkanlah aku dari kehinaan dan menjadi hamba-Mu yang buruk. Berikanlah kepadaku naungan dan perlindungan-Mu, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu dalam lindungan-Mu, dan berikanlah kepadaku sebaik-baik kebaikan, wahai zat Yang Maha Pengasih lagi penyayang.
رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَ اِسْرَافَنَا فِى أَمْرِنَا وَ ثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَ انْصُرْنَا عَلَى القَوْمِ الكَافَرْيْن.
“Ya Allah, Ampunilah dosa kami, ampunilah keteledoran kami, dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami menghadapi kaum kafir”.
اللَّهُمَّ لاَ تُمْكِنُ الأَعْدَاءَ فِيْنَا وَلاَ تُسَلِّطْهُمْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ َيَخافُكَ وَلاَ يَرْحَمُنَا
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau beri kemungkinan musuh berkuasa terhadap kami janganlah Engkau berikan kemungkinan mereka memerintah kami, walaupun kami mempunyai dosa. Janganlah Engkau jadikan yang memerintah kami, orang yang tidak takut kepada-Mu, dan tidak mempunyai kasih sayang terhadap kami”.
اللهُمَّ أَهْلِكِ الكَفَرَةَ الَّذِي يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ وَ يَكْذِبُوْنَ رَسُلَكَ وَ يُقَاتِلُوْنَ أَوْلِيَائَكَ
“Wahai Tuhan kami, hancurkanlah orang-orang yang selalu menutup jalan Engkau, yang tidak memberikan kebebasan kepada agama-Mu, dan mereka-mereka yang mendustakan Rasul-Rasul Engkau,dan mereka yang memerangi orang-orang yang Engkau kasihi”.
اللهُمَّ فَرِّقْ جَمْعَهُمْ وَ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَ أَنْزِلْ بِهِمْ بَأْسَكَ الَّذِي لا َتَرُوْدَهُ عَنِ القَوْمِ الُمجْرِمِْينَ.
“Wahai Tuhan kami, hancurkanlah kesatuan mereka, dan pecah belah barisan mereka. Turunkan kepada mereka ‘azab sengsara-Mu, yang selalu Engkau timpakan kepada golongan-golongan yang selalu berbuat dosa”.
اللهُمَّ أَعِزِّ الإِسْلاَمِ وَ المُسْلِمِيْنَ وَ اخْذُلِ الكَفَرَةَ وَ المُشْرِكِيْنَ
“Wahai Tuhan kami, berilah kemuliaan kepada Islam dan kaum Muslimin, rendahkanlah orang-orang yang kafir dan orang musyrik”.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ المُؤْمِنَاتِ وَ المُسْلِمِيْنَ وَ اْلمُسْلِمَاتِ، اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَ اْلأَمْوَاتِ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ يَوْمَنَا خَيْرًا ِمنْ أَمْسِنَا، وَ اجْعَلْ غَدَنَا خَيْرًا ِمْن يَوْمِنَا، وَ احْسِنْ عَاقِبَتَنَا فيِ الأُمُوْرِ كُلِّهَا، وَ أَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَ عَذَابِ الآخِرَةِ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ اْلعَفْوَ وَ العَافِيَةَ فيِ دِيْنِنَا وَ دُنْيَاناَ وَ أَهْلِيْنَا وَ أَمْوَالِنَا، رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ العَلِيْمِ وَ تبُ ْعَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلاَمُ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ اْلحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.
Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984)
L.C. Westenenk dalam Opstellen over Minangkabau
J.C. van Vanleur dalam bukunya Indonesian Trade & Socety (1955) menyatakan bahwa pada permulaan tahun 674 AD Pantai Barat Sumatera telah dihuni koloni Arab, dan ketika itu Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang telah menyebarkan agama Hindu ke Nusantara dari abad ke-7 hingga ke-13 M.
Sumber: Drs. Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh dalam tahun 1520-1675, Penerbit Monora, Medan 1972
Syekh Abdur Rauf adalah seorang ulama dan mubaligh besar di Aceh abad ke-17 pada masa pemerintahan Sulthanat Syafiatuddin (1641 – 1675). Nama lengkapnya adalah Syekh Abdur Rauf bin Ali al Jawi al Singkli. Lahir pada tahun 1620 di Singkil Aceh Selatan. Pada tahun 1642 beliau berangkat ke Mekah melanjutkan studinya di bidang agama Islam. Selama 19 tahun di tanah Arab menuntut ilmu kepada Molla Ibrahim, pengikut Syekh Ahmad Kosasi, seorang ulama yang terkenal di dunia Islam waktu itu dan pemimpin tharekat Syattariah.
Sebagai kenang-kenangan untuknya, Universitas di Aceh mengambil namanya sebagai nama, yaitu Universitas Syiah Kuala, disingkat Unsyiah.
Kebesaran Syekh Abdurauf telah menjadi studi para sarjana, seperti D.A.Rinkers yang menulis Syekh Abdurauf van Singkel; P.Voorhove dalam majallah TBG tahun 1952 No.87 membahas karyanya yang berjudul Bayan Tajalli. Beberapa pokok pendiriannya yang dikutib dari berbagai karyanya telah disusunnya dalam Encyclopaedia of Islam, volume I tahun 1960. S. Kayser, Snouck Horgronye, Winstedt, Archer telah menulis tentang pribadinya.
Faham wihdatulwujud mengatakan bahwa alam adalah ciptaan dari bahagian ketuhanan sendiri, laksana buih pada puncak ombak. Alam zahir ini, bahagian dari pada ketuhanan besar. Teori ini merupakan monisma (serba esa) atau pantheisme (serba dewa). Menurut ahli tasauf ini, dunia ini hanyalah emanasi atau pancaran intisari tidak tercipta. Penganut faham wihdatulwujud yang terkenal ialah Ibnu Arabi dan Al Halaj. Di zaman Iskandar Muda adalah Hamzah Fansuri yang ditantang oleh Abdurrauf.
Semasa Sulthan Iskandar Tsani memberantas ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani yang dianggap sebagai ajaran sesat. Buku-buku Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani dibakar dan dimusnahkan dan rakyat Aceh dilarang ajaran kedua ulama itu sebagai ajaran sesat.
Sumber; Sjafnir Aboe nain, drs, Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam (1784-1832), Penerbit Esa,Padang, 1988
Sjafnir Aboe Nain, drs, Naskah Tuanku Imam Bonjol-Naali Sutan Caniago, alih tulis, revisi 2003
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980, hal.38
Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1860 , anak dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi. Syekh Djamil Djambek meninggal tahun 1947 di Bukittinggi.
Haji Rasul lahir di Sungai Batang, Maninjau, tahun 1879, anak seorang ulama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Pada 1894, pergi ke Mekah, belajar selama 7 tahun. Sekembali dari Mekah, diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo. Kemudian kembali bermukim di Mekah sampai tahun 1906, memberi pelajaran di Mekah, di antara murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, yang menjadi seorang pendukung terpenting dari pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Haji Rasul meninggal di jakarta 2 Juni 1945
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878, anak dari Haji Ahmad, seorang ulama dan pedagang. Ibunya berasal dari Bengkulu, masih trah dari pengikut pejuang Sentot Ali Basyah.
Syekh Ibrahim Musa dilahirkan di Parabek, Bukittinggi pada tahun 1882.
Zainuddin Labai al-Yunusi lahir di Bukit Surungan Padang Panjang pada tahun 1890. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Yunus.
Diperoleh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah” Kategori: Kelahiran 1908 | Kematian 1981 | Sastrawan Indonesia | Tokoh Islam Indonesia | Pahlawan nasional Indonesia
Tulisan ini, misalnya, sangat terbantu dengan adanya skripsi sarjana IAIN, Wirda Yati, SAg: Dinamika Dakwah Islam di Indonesia, Telaah Terhadap Pemikir¬an Mohammad Natsir.
Dalam bagian pada wawancara dengan Panji Masyarakat Juli 1988 itu, Natsir mengibaratkan kader pempimpin itu adalah seperti harapan Nabi Zakaria yang mendambakanm keturuan yang akhairnya Allah mmemberikan keturuan Nabi Yahya. Natsir optimis lahirnya Yahya-Yahaya baru. Terutama menurutnya adalah dari Kampus dan dari LSM serta kelompok-kelompok pengajian dan pesantren. Yang penting menutut Natsir pada akhir 80-an itu, tercipta situasi yang kondusip yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan beribicara.
(Sumber : milis dokument buya HMA)
sumber murni : http://www.cimbuak.net/content/view/1829/